Selasa, 25 November 2014

GALIH

EMPAT MAHASISWA INDONESIA DAPAT PENGALAMAN DI INGGRIS
     Oleh Zeynita Gibbons

    London, 24/11 (Antara) - Empat remaja Indonesia dari tiga perguruan tinggi di Malang, Jawa Timur, mendapat berbagai pengalaman menarik usai mengikuti program Encompass di Plas Gwynant Center di Snowdonia, daerah pegunungan tertinggi di Wales, Inggris.

         "Kami mendapatkan berbagai pengalaman yang luar biasa," ujar Panggalih Seno Pamungkas (19), mahasiswa Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang, satu dari empat remaja Indonesia peserta program Encompass itu kepada Antara London, Minggu.

         Galih, sapaan Panggalih Seno Pamungkas, yang berasal dari Blitar, Jawa Timur, bersama tiga rekannya usai mengikuti program Encompass di Wales selama sepekan, kemudian kembali ke London, berkunjung ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) setempat.

         Tiga mahasiswa Indonesia lainnya adalah Destarizky Tidoputri Pratama mahasiswi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Negeri Malang asal Jatiroto Lumajang, Lilis Nur Hidayati asal Magetan, juga dari UM Prodi Sastra Inggris, dan Muhammad Munawwir Tipu Mass Mattaro Prodi Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang asal Makassar, Sulawesi Selatan.

         Program Encompass lahir dari peristiwa bom Bali tahun 2002, yang meninggalkan kesan mendalam bagi pasangan Alex dan Mandy Braden asal Inggris, karena putra mereka, Daniel, menjadi salah satu korban tewas. Setahun sejak saat itu mereka memperkenalkan program Encompass sebagai upaya saling pengertian di antara para remaja di dunia.

         Setiap tahun berbagai remaja di dunia mengikuti program yang ditangani oleh Yayasan Encompass Trust. Tahun ini empat remaja Indonesia tersebut bergabung dengan masing-masing empat remaja dari Israel, Palestina, Amerika Serikat serta delapan orang dari Inggris. Mereka melakukan kegiatan bersama selama sepekan di Plas Gwynant Centre, di Snowdonia, daerah pegunungan yang tertinggi di Wales, Inggris.

         Puluhan peserta Encompass tersebut mengikuti program yang digagas pasangan Alex dan Mandy Braden yang ingin menggalang persahabatan dan saling pengertian di antara para remaja dari seluruh dunia.

         Menurut Galih, kegiatan Encompass yang diikutinya tidak hanya di dalam ruangan melainkan serangkaian kegiatan dilakukan di alam terbuka. "Kami belajar dari sebuah perjalanan, petualangan, saling menolong, tidak peduli agama, negara, ras ataupun warna kulitnya apa," ujar Galih mahasiswa semerter tiga Universitas Brawijaya.

         Diakuinya ikut Encompass mendapatkan banyak pengalaman yang luar biasa dan sangat berharga. "Pengalaman yang sulit didapatkan bisa bertemu rekan-rekan dari negara adikuasa, negara yang mengalami konflik," ujar Galih yang berharap apa yang didapatkannya juga bisa dilakukan di tanah air.

         Sementara Alex dan Mandy Braden berharap dengan dibentuknya Encompass, akan tercipta saling pengertian di antara para remaja yang ikut dalam program tersebut. Memahami satu sama lain, menghilangkan prasangka dan dapat menjalin persahabatan yang melampaui perbedaan politik dan agama.

         Dalam program yang disebut dengan Encompass Journey of Understanding (JOU) itu sebanyak 24 peserta berusia antara 18 sampai 25 tahun selama seminggu ditampung dalam satu centre di wilayah perbukitan di Snowdon, yang merupakan pegunungan tertinggi di Wales.

         Para remaja dari Indonesia, Palestina, Israel, Amerika Serikat dan Inggris hidup bersama, melakukan kegiatan di luar ruangan, berdiskusi dan makan bersama jauh dari keramaian dan bahkan terisolasi dari dunia luar karena tanpa fasilitas internet dan juga tidak ada signal telepon seluler.

         "Saya mendapat banyak hal dari program 'Journey of Understanding', mulai dari teman, pengetahuan, dan pemahaman tentang negara lain," ujar Lilis Nur Hidayati saat kemudian berkunjung ke KBRI London.

         Menurut Lilis dari Universitas Malang, awalnya ia berpikir biaya setelah lolos mengikuti program Encompass secara gratis itu cukup mahal, khususnya untuk mengurus paspor, visa, dan uang saku. Tetapi dengan pengalaman yang didapat, Lilis sadar bahwa pengalaman tidak bisa dibeli dengan uang.

         "Dari sini saya juga belajar bahwa suatu 'event' besar tidak harus dijalankan oleh banyak orang, melainkan sedikit tapi berkualitas dan punya totalitas yamg tinggi," ujar Lilis juga mengajar Bahasa Inggris.

         Lilis mengatakan dirinya banyak belajar tentang membuat suatu keputusan tidak seharusnya menyimpulkan sesuatu sebelum mengetahui dan mengenalnya.

         Setelah bergaul bersama remaja dari berbagai negara, Lilis menyadari bahwa tidak ada negara yang budayanya sekaya Indonesia, makanan seenak Indonesia, dan musim sebersahabat di Indonesia. "Saya cinta Indonesia, tetapi secara keseluruhan program ini sangat keren," ujar Lilis yang selama di Inggris sempat jalan-jalan ke berbagai objek wisata di London.

         Lain lagi dengan Galih yang punya pengalaman menarik bersama rekannya dari Israel dan Palestina. "Bisa lebih mengerti terkait apa yang terjadi di antara dua negara yang selalu konflik. Konflik itu ulah sebagian orang saja.

         Dikatakannya pemuda Israel dan Palestina yang ikut kegiatan ini sebenarnya tidak menginginkan peperangan itu terjadi. Salah satu partisipan dari Israel menginginkan agar Israel dan Palestina bersatu, sehingga tidak ada lagi konflik.

         Padahal sebelumnya dua remaja putra dari Palestina tidak ingin dipisah kamar, karena setiap peserta ditempatkan dalam satu kamar dengan remaja dari negara lain seperti remaja Palestina dengan  Israel dalam satu kamar.

         Sekretaris Satu Pensosbud KBRI London, Heni Hamidah mengatakan bahwa remaja Indonesia yang mengikuti program Encompass merupakan duta budaya karena mereka berintegrasi langsung dengan remaja dari berbagai negara. Apa yang didapat oleh empat remaja Indonesia selama mengikuti program Encompass itu diharapkan juga bisa diterapkan di tanah air. ***3***
re-write
(T.H-ZG/B/T. Susilo/T. Susilo) 24-11-2014 10:49

Tidak ada komentar: