Rabu, 07 Maret 2012

AMNESTY

AMNESTY INTERNASIONAL DESAK RI REVISI KUHP London, 4/3 (ANTARA) - Amnesty International mendesak pemerintah Indonesia untuk merevisi dan mengesahkan Kitab Undang Undang Hukum Pidana baru sesuai hukum dan standar HAM internasional, termasuk ketentuan eksplisit melarang dan menghukum tindakan penyiksaan. Menurut hukum kebiasaan internasional (customary international law) hak untuk tidak disiksa atau diperlakukan buruk adalah absolut dan tidak bisa dicabut, kata Campaigner - Indonesia & Timor - Leste , Amnesty International Secretariat, Josef Roy Benedict kepada ANTARA London, Minggu. "Apalagi Indonesia adalah negara pihak pada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Konvensi PBB yang menentang Penyiksaan dan Tindakan atau Hukuman lainnya yang kejam, tidak Manusiawi dan merendahkan, serta tindakan penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya dalam segala situasi," katanya. Pemerintah juga harus meratifikasi Protokol Opsional Konvensi PBB menentang Penyiksaan dan Tindakan atau Hukuman Lainnya yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan, yang akan membentuk sistem kunjungan rutin dan independen ke semua tempat penahanan oleh badan-badan nasional dan internasional. Selain itu, hak untuk mencari dan menikmati suaka di negara lain, bebas dari penganiayaan, diabadikan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) dan sebagai aturan hukum kebiasaan internasional, mengikat semua negara, termasuk Indonesia. Ia menegaskan, pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa kasus pencari suaka diproses dengan cara yang adil dan perlindungan disediakan bagi mereka yang membutuhkannya. Pemerintah Indonesia harus memastikan bahwa penyelidikan mereka terkait kematian akibat penyiksaan seorang pencari suaka Afghanistan di pusat tahanan imigrasi di Kalimantan Barat adalah independen, tidak memihak dan efisien. "Mereka diduga terlibat, termasuk pihak relevan yang bertanggung jawab komando, harus dibawa ke pengadilan dan keluarga korban harus diberikan reparasi," katanya. Pada 28 Februari seorang lelaki 28 tahun itu diambil dari Rumah Detensi Imigrasi Pontianak ke rumah sakit Soedarso dan ia dinyatakan telah meninggal pada saat kedatangan. Menurut polisi Indonesia, temuan pemeriksaan medis menunjukkan ia meninggal karena trauma benda tumpul. Tubuhnya dilaporkan memar akibat pemukulan dan dia mengalami luka bakar rokok di pergelangan tangannya. Namun, hingga saat ini polisi Indonesia belum menetapkan tersangka. Lelaki itu dan lima warga Afghanistan lainnya melarikan diri dari pusat penahanan imigrasi Pontianak pada 26 Februari lalu. Ketika polisi menangkap dan mengembalikan mereka ke pusat penahanan, mereka dilaporkan dalam keadaan sehat. Lelaki itu telah memohon untuk status pengungsi dengan Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), tetapi telah berada dalam tahanan setidaknya sejak awal November tahun lalu karena melanggar pembatasan perjalanan kepada para pencari suaka itu. Amnesty International menyambut baik fakta bahwa pemerintah memulai penyelidikan terhadap kematian lelaki itu dengan segera. Pihak berwenang di Indonesia harus memastikan bahwa penyelidikan yang dijalankan tidak memihak, independen dan efisien. Mereka yang bertanggung jawab harus dibawa ke pengadilan dalam proses yang memenuhi standar keadilan internasional. Keadaan yang lebih luas dari kasus ini juga harus diselidiki, termasuk prosedur, mekanisme pengawasan dan pelatihan staf, untuk memastikan peristiwa mengerikan seperti itu tidak terjadi di masa depan. Penggunaan penyiksaan dan perlakuan buruk oleh petugas penegak hukum dalam tahanan masih tersebar luas di Indonesia. Kurangnya akuntabilitas dan kegagalan mengkriminalisasi tindakan penyiksaan dalam KUHP berkontribusi terhadap budaya impunitas, demikian Amnesty Internasional. ***3*** (ZG) (T.H-ZG/B/E008/E008) 04-03-2012 06:54:59

Tidak ada komentar: