Senin, 10 Februari 2014

PARIS

PENGAMAT: POLITIK INDUSTRI PENTING BAGI INDONESIA

Oleh Zeynita Gibbons
London 7/2 (Antara) - Keputusan pemerintah untuk melarang ekspor mineral mentah dan mewajibkan pengusaha tambang untuk membangun "smelter" patut untuk mendapatkan apresiasi, kata Fachru Nofrian, pemerhati ekonomi dan industri di Paris.

"Kebijakan tersebut pada dasarnya dapat menciptakan nilai tambah terhadap ekonomi Indonesia," kata Dr. Fachru kepada Antara London, Sabtu, sehubungan dengan keputusan pemerintah melarang ekspor mineral mentah sesuai dengan UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara mulai Januari 2014.

Namun, kata doktor ilmu ekonomi dari Université Paris 1 Panthéon-Sorbonne, yang penting adalah tetap mencermati bagaimana dampaknya terhadap proses industrialisasi di Indonesia.

Ia mengatakan, "Kita harus melihat apakah kebijakan ini merupakan sebuah politik industri atau bukan, apakah hal tersebut mengedepankan aspek penciptaan nilai tambah berorientasi pada industrisalisasi."
Jika Indonesia berhasil menciptakan nilai tambah, menurut dia, secara internasional Indonesia menjadi lebih berperan dan mungkin dapat lebih diperhitungkan.

Akan tetapi, lanjut dia, penciptaan nilai tambah itu tidak membuahkan proses industrialisasi maka sama saja dengan kebijakan yang pernah diambil sebelumnya.

Menurutnya, proses industrialisasi merupakan proses yang riil yang melibatkan banyak variabel bukan sekadar transformasi masyarakat, pembangunan pabrik, atau produktivitas tenaga kerja.

Berdasarkan penelitian, produktivitas tenaga kerja Indonesia makin mengalami peningkatan dari 1971 hingga 2005. "Akan tetapi, tetap saja Indonesia belum mengalami proses industrialisasi," ungkap staf pengajar di Universitas Indonesia ini.

Ia menekankan, "Indonesia telah melalui berbagai periode pembangunan. Pada zaman Bung Karno, politik industri lebih kuat sehingga menciptakan proses industrialisasi mulai dari pembangunan pabrik, reaktor nuklir, pesawat dengan kandungan lokal 100 persen, hingga pembangunan sektor secara simultan."
Pada zaman Presiden Soeharto, melalui repelita mencoba menggabungkan politik industri dan politik pertumbuhan secara bertahap. "Akan tetapi, hasil akhirnya tetap melahirkan kesenjangan antara rencana pembangunan dan realisasi," paparnya.

Setelah reformasi, Indonesia sepertinya tidak memiliki lagi politik industri, yang ada hanyalah politik pertumbuhan atau dengan kata lain politik industri sudah direduksi pada pertumbuhan sehingga Indonesia mengalami kebanjiran barang impor, ujar jebolan S-1 Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti dan S-1 Fakultas Filsafat Universitas Indonesia.

Salah satu isu penting dalam proses industrialisasi adalah kesederhanaan bentuk produksi yang menurut dia kesederhanaan itu meliputi kesederhanaan hubungan antara industri primer, sekunder, dan tersier.

"Saat ini, bentuk produksi sektoral masih terlalu kompleks sehingga dari 1970 hingga sekarang tidak ada konektivitas antara sektor mineral dan manufaktur atau primer dan sekunder," ujar Fachru.

Pada tahun 1971, hanya ada konektivitas antara sektor bijih timah dan sektor metal dasar. Akan tetapi, itu pun kemudian menghilang.

"Memang industrinya ada, tetapi konektivitasnya tidak ada sehingga apabila orientasi pemerintah hanya politik pertumbuhan. Maka, besar kemungkinan konektivitas tidak akan terbentuk lagi," ucapnya.

Dengan demikian, lanjut Fachru, jika ditanya apakah Indonesia memiliki pilihan untuk melakukan politik industri atau politik pertumbuhan? Sebagai negara yang terbesar di ASEAN, katanya, bukan tidak tidak ada pilihan.

Pelajaran dari negara lain, kata dia, seperti Cina dan India, menunjukkan bahwa meskipun sekarang ini rezim internasional sangat dominan, pilihan-pilihan yang menuju kepada proses industrisalisasi masih ada, tinggal masalahnya adalah bagaimana strategi penerapannya.

***2***
D.Dj. Kliwantoro
(T.H-ZG/B/D. Kliwantoro/D. Kliwantoro) 08-02-2014 06:50:57

Tidak ada komentar: