Rabu, 13 April 2011

"WILLEM VAN ORANJE"

AKULTURASI BARAT-TIMUR WAYANG "WILLEM VAN ORANJE"

Oleh Zeynita Gibbons

London, 13/4 (ANTARA) - Pertunjukan wayang kulit kontemporer "Willem van Oranje" yang dibawakan Ki Ledjar Soebroto asal Yogyakarta didampingi cucunya Ananto Wicaksono di Museum Nusantara, Delft, Belanda, pekan silam merupakan akulturasi budaya barat dan timur dalam seni budaya wayang.

Pada awalnya pegawai Museum Nusantara, di kota Delft, Belanda, Rinus van Huyksloot (52) tertarik saat menyaksikan sosok wayang Jendral Jan Pieterszoon Coen (JP Coen) yang terpampang di stand Festival Tong-Tong yang diadakan tahun 2008.

Rinus van Huyksloot sangat kagum melihat tokoh wayang gubernur jendral VOC di Indonesia pada masa penjajahan kompeni hasil karya Ki Ledjar Subroto, seniman seni rupa wayang dan juga dalang wayang Kancil.

Wayang JP Coen dibuat pada tahun 1987 atas pesanan Museum Westfries di kota Hoorn-Belanda, wayang tersebut dipamerkan pertama kalinya untuk peringatan 200 tahun VOC di museum tersebut.

Dibantu guru besar dari fakultas Arkeologi dan sejarah Asia Tenggara di Universitas Leiden, Prof.Dr.Hedi Hinzler (68) yang membantu Ki Ledjar selama di Belanda, mereka berdiskusi mengenai kebudayaan antara Indonesia dan Eropa khususnya Belanda.

"Akhirnya tercetuslah ide baru membuat akulturasi budaya dalam seni wayang Indonesia dan seni rupa Eropa," ujar Ananto Wicaksono (26), cucu Ki Ledjar yang mendampingi sang kakek selama di Belanda kepada koresponden ANTARA London.

Dikatakan, ketiganya sepakat membuat peradaban baru di Eropa yakni membuat tokoh wayang kulit mengambil cerita sejarah berdirinya Kerajaan Belanda dengan mengkisahkan Pangeran Willem van Oranje yang dikenal sebagai Bapak bangsa rakyat Belanda, diangkat menjadi cerita wayang.

Menurut Nanang, demikian Ananto Wicaksono, biasa disapa sang kakek, konon cerita wayang yang sampai saat ini masih mengakar di Indonesia khususnya di Jawa mengangkat seri cerita Mahabarata dan Ramayana dari India.

Seni rupa wayang yang bercerita tentang Mahabarata dan Ramayana di Indonesia oleh masyarakat Jawa dianggap sebagai khasanah kebudayaan tradisi yang Adiluhung dan juga sebagai simbol kehidupan masyarakat Jawa.

Bila dicermati apakah cerita tersebut asli berasal dari Jawa, walaupun ada berbagai cerita diadaptasi masyarakat Jawa dikaitkan dengan cerita-cerita lokal dan penambahan tokoh yang tidak ada di cerita Mahabarata dan Ramayana asli India.

"Namun telah berabad-abad cerita tersebut masih tetap digemari oleh masyarakat di Jawa khususnya," ujar Nanang yang juga membuat animasi wayang Willem van Oranje itu.

Cerita kepahlawanan Pangeran Willem mungkin dapat dijadikan sebagai sarana propaganda bagi masyarakat di Belanda untuk mengenal secara lebih baik sejarah berdirinya kerajaan Belanda.

Hal ini juga tentunya sangat efektif sebagai model edukasi untuk anak-anak agar mengenal lebih dekat sosok Pangeran Willem sebagai pahlawan bagi bangsa di Belanda.


Sarana dakwah
Sejarah seni rupa wayang sebagai sarana syiar agama sejak Hindu-Budha bahkan sampai para Wali Sanga pun memakai wayang sebagai sarana dakwah agama Islam di Jawa.

Mungkin atas dasar pemikiran perkembangan seni rupa wayang yang membuat kurator museum Nusantara, Emy Wassing (36) merumuskan sebuah konsep baru untuk memperkaya koleksi museum tersebut yang koleksinya juga banyak menyimpan koleksi benda-benda kebudayaan Indonesia.

Adapun yang menjadi kendala membuat wayang Willem ini adalah di bentuk wajah dan pakaian wayang yang menurut Director Museum, E. de Groot (45), harus sesuai dengan lukisan yang ada di museum Prinsenhof yang satu kompleks dengan Museum Nusantara.

Adapun lukisan yang bergambar wajah-wajah tokoh yang akan dibuat dalam seri cerita Pangeran Willem paling banyak hanya terlihat setengah dan proporsi lukisan wajah tampak depan.

Padahal dalam perspektif seni rupa wayang kulit pada umumnya tampak dari samping, hal inilah yang membuat Ki Ledjar sangat kerepotan untuk membuat desain gambar semua tokoh wayangnya.

Selain aksesori pakaian yang sangat rumit dan pewarnaan juga yang sangat berbeda dengan wayang kulit tradisi.

Setelah dipelajari secara detail oleh Ki Ledjar tentang bentuk ornamen pakaian ternyata banyak yang hampir mirip dengan motif tatahan pada wayang, hanya pola gambar saja yang berbeda.

Misalnya tokoh wayang Raja Spanyol, Fillips II memakai celana model Eropa pada jaman tahun itu tetapi motif pernik-pernik didalam pakaian diterapkan memakai pola tatahan wayang tradisi yang telah digubah Ki Ledjar tidak berbeda jauh dengan lukisan aslinya.

Juga pewarnaan dengan ciri khas sunggingan Ki Ledjar yang mencampur gaya wayang dengan lukisan.

Hal ini yang menarik apabila dilihat dari segi seni rupa yang mengkawinkan antara seni rupa barat (Eropa) dan seni rupa timur (Asia).

Selain itu juga dibahas mengenai penggarapan lakon cerita wayang yang disesuaikan dengan alur cerita wayang.

Kendala utama dalam penggarapan cerita wayang karena banyak sekali tokoh yang tidak ada lukisannya.

Namun dengan penyajian pertunjukan wayang Willem ini dibuat dengan konsep penggarapan wayang pakeliran padat maka adegan yang dinilai penting dalam lakon kisah Perjuangan Pangeran Willem.

Kecermatan pemilihan adegan dan juga intelektualitas dalang sangat diutamakan dalam garap sanggit lakon agar tidak melenceng dengan konteks cerita versi sejarah yang ada.

Tidak hanya bercerita namun di dalam pertunjukan wayang Willem Nanang yang menjadi dalang dituntut menjelaskan secara detail dan jelas kepada penonton jalan cerita baik.

Baik itu dari segi sastra melalui penuturan dialog per-tokoh wayang maupun gerak sabet yang diolah sesuai dengan karakter tokoh wayang yang dibuat realis.

Penggarapan musik iringan pun disesuaikan dengan suasana cerita agar mendukung setiap adegan yang memakai konsep iringan ilustratif.

Tidak lain halnya dalam membuat sebuah latarbelakang musik dalam film, pada pertunjukan wayang Willem komponis musik yakni Boedhi Pramono (33) beserta Ananto merumuskan konsep iringan musik yang berbeda dengan iringan wayang kulit tradisi yang hanya memakai gamelan.

Namun menggabungkan antara musik pentatonic (gamelan) dan musik diatonis (orkestra) yang diolah dengan menggunakan musik digital untuk membuat semua komposisi iringan musiknya.

Hal ini sebagai contoh langkah awal ke depan untuk melestarikan dan mengembangkan dunia seni wayang tidak hanya berkutat sebatas wayang kulit purwa saja, wayang Willem sebagai contohnya yang notabene wayang kulit Jawa namun telah berakulturasi dengan budaya Eropa.

Seorang seniman khususnya yang bergerak di bidang wayang, terutama dalang sebagai tokoh yang sangat penting bagi kehidupan wayang, harus dapat menyesuaikan dirinya agar tidak ketinggalan dengan perkembangan zaman yang membawa perubahan tradisi kehidupan dan yang pasti akan berimbas pada pergeseran kebudayaan.

pabila kebudayaan mengalami pergeseran, maka dinamika kehidupan seni akan terpengaruhi, karena seni adalah unsur bagian dalam sebuah kebudayaan dan kebudayaan selalu berkembang sesuai dengan tuntutan jamannya.

***6***

(T.H-ZG/B/A025/A025) 13-04-2011 17:29:35

Tidak ada komentar: