Kamis, 22 Oktober 2015

BOOKFAIR

PENGALAMAN LEILA S.CHUDORI DUDUK DI SOFA BIRU

     Oleh Zeynita Gibbons dan Zita Meirina

          Frankfurt, 18/10 (Antara) - Bagi seorang wartawan diwawancarai mungkin hal yang tidak biasa, karena justru wartawan yang harus mewawancarai nara sumbernya.

              Tidak demikian bagi wartawan Tempo yang juga pengarang buku yang berjudul "Pulang"  yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia yang sudah memasuki cetakan ke-5, dan diterjemahkan ke bahasa Jerman.

             Dalam rangkaian Frankfurt Book Fair dimana Indonesia menjadi guest of honour, Leila, putri wartawan LKBN Antara, M Chudori ditemui di sela-sela kesibukannya di pameran buku tertua di Frankfurt, Minggu mengaku senang mendapat kehormatan untuk duduk di sofa biru atau yang disebut dengan das blaue sofa.

            Di sofa biru, Leila S. Chudori menjadi tamu kenormatan dan diwawancarai seputar buku yang berjudul Pulang yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman Heimkehr nach Jakarta dengan Moderator Susanne Biedenkopf.

            "Saya tidak tahu tentang sofa biru," ujar Leila S Chudori.

              Duduk di sofa biru untuk diskusi dan diwawancarai oleh media televisi Jerman merupakan forum yang sangat prestesius dalam sejarah penyelenggaraan Frankfurt book Fair.

              Leila S Chudori mengakui dalam acara diskusi di sofa biru itu hanya membahas mengenai buku nya yang berjudul Pulang yang bercerita tentang kisah mantan pelajar yang dikirim oleh Soekarno untuk belajar keluar negeri.

              Dalam cerita yang tertuang pada novel Pulang, penulis menarik garis linier antara tiga peristiwa bersejarah: G 30 S PKI tahun 1965 di Indonesia, revolusi mahasiswa di Paris, Prancis pada Mei 1968, dan tragedi kerusuhan Mei 1998 yang menandai runtuhnya rezim Orde Baru di Indonesia.

            Pulang adalah kisah suka duka para eksil politik yang melarikan diri ke luar negeri karena sudah diharamkan menginjak tanah air sendiri. Empat pria yang menyebut diri mereka Empat Pilar Tanah Air: Nugroho, Tjai, Risjaf, dan Dimas Suryo melarikan diri dari Indonesia dan luntang-lantung di Kuba, Cina, dan Benua Eropa sampai akhirnya memutuskan untuk menetap di Paris.

   
Melalui surat-menyurat dan telegram, mereka terus memantau teman-teman di Indonesia yang harus menderita karena dikejar dan diinterogasi aparat. Kabar bahwa salah satu rekan karib mereka, Hananto Prawiro, ditangkap setelah bersembuyi beberapa waktu membuat mereka bersedih hati.

            Leila yang sejak tahun 1989 hingga kini bekerja sebagai wartawan majalah berita Tempo terpilih mewakili Indonesia mendapat beasiswa menempuh pendidikan di "Lester B. Pearson College of the Pacific (United World Colleges)" di Victoria, Kanada.

            Lulus sarjana Political Science dan Comparative Development Studies dari Universitas Trent, Kanada. Leila dipercayakan meliput masalah internasional¿terutama Filipina dan berhasil mewawancarai Presiden Cory Aquino di Istana Malacanang; Fang Lizhi seorang ahli Fisika dan salah satu pemimpin gerakan Tiannamen, Cina, WWC di Cambrige University pada tahun 1992,
       Leila pun pernah mewawancarai Presiden Fidel Ramos di Manila , Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad di Jakarta, Pemimpin PLO Yasser Arafat, Nelson Mandela dan Pemimpin Mozambique Robert Mugabe .        Kini Leila adalah Redaktur Senior Majalah Tempo, bertanggung-jawab pada rubrik Bahasa dan masih rutin menulis resensi film di majalah tersebut.

    ***4***
(T.Z003/B/Z. Meirina/Z. Meirina) 18-10-2015 20:52:13

Tidak ada komentar: