Senin, 29 November 2010

ALFONSA KE INGGRIS

ALFONSA MENGAJAR TENUN HINGGA KE INGGRIS

Oleh Zeynita Gibbons

Alfonsa merasa bangga, alat tenun tradisional yang dibawanya dari Tanah Air, akhirnya dibeli Hornima Museum, dan menjadi salah satu koleksi museum ternama di London itu.

Alfonsa, yang turut dalam misi kesenian Citra Nusantara, binaan Letjen TNI (Purn) Agum Gumelar dari Swiss sampai ke London, semula hanya didaulat untuk melakukan demo menenun.

Namun, karena demo tenun Alfonsa memikat hati petinggi Hornima Museum, semua peralatan tenun ikat Flores itu diborong.

"Peralatan tenun kami diborong oleh Museum Hornima London," ujar Alfonsa Horeng, Direktur Sentra Tenun Ikat Lepo Lorun Nita, Flores yang ikut memeriahkan pavilion Indonesia pada Bursa Pariwisata Dunia (World Turism Market-WTM) London yang berlangsung di gedung Excel baru-baru ini.

Alfonsa datang ke London, tidak hanya memperkenalkan kain tenun tetapi juga wisata Flores serta pulau Komodo. Ia sangat bersemangat mempromosikan Flores di pavilion Indonesia pada ke Bursa Pariwisata Dunia (World Turism Market-WTM), bursa pariwisata terbesar kedua setelah ITB Berlin.

Alfonsa Horeng dalam bincang bincang dengan koresponden ANTARA London, mengatakan bahwa ia tidak saja mempromosikan kain tenun tetapi juga melestarikan salah satu warisan budaya Indonesia berupa cara bertenun.

Alfonso sebelumnya juga tampil melakukan demo menenun pada acara "The Heritage of Indonesia" di Swiss.

Selain ke Inggris dan Swiss, Alfonsa juga telah mempromosikan tenun ikat Sikka ke delapan kota di Australia pada tahun lalu, dari Februari hingga Mei.

Perhelatan yang diadakan KBRI London dan Masyarakat Pecinta Seni Budaya Cinta Nusantara (Citra) itu juga menampilkan kelompok angklung Daeng Udjo. Angklung Udjo tampil pula di gedung Conway Hall, Red Lion Square, di pusat Kota London.

Selain berpromosi, Alfonsa Horeng juga mengajarkan pembuatan kain tenun ikat Sikka kepada mahasiswa di The Australian National University dan Canbera Instutute of Technology.

Sementara di London, Alfonsa mengajarkan masyarakat Inggris bertenun, dan bahkan alat tenun yang menyertainya sejak dari Jakarta pun menjadi koleksi Museum Hornima, yang akan digunakan sebagai alat promosi.

"Saya ingin melestarikan kain tenun ikat," ujar Alfonsa yang mengakui bahwa ia tidak ingin hanya sekedar memberikan demo bagaimana caranya menenun tetapi juga memberikan pengetahuan dan melestarikan warisan budaya tenun yang hanya dimiliki oleh Indonesia.

Alfonsa, yang lulusan jurusan nutrisi pada Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, berjanji akan terus gigih melestarikan kain tenun ikat asal Flores, kampung halamannya.

Di usianya yang masih belia, ia telah menghimpun ratusan wanita perajin tenun ikat, yang berhasil dibina dan membawanya keliling dunia.

Menurut Alfonsa, di kampungnya di Flores, menenun sudah menjadi kegiatan sehari-hari dan dilakukan secara turun-temurun, bahkan semua wanita di Flores dan NTT sudah terbiasa menenun sejak kecil.

Sementara Alfonsa yang dilahirkan di Jakarta 1 Agustus 1974 itu telah menenun sejak SMP. Meskipun tidak seluruh kain karena untuk anak dan remaja, hanya diperbolehkan mengerjakan bagian tertentu saja.

Alfonsa yang selama di London sempat mengunjungi tempat wisata itu mengakui bahwa ia terjun aktif melestarikan tenun ikat baru pada Oktober 2003.

Setamat kuliah pada 1998, ia sempat bekerja di Surabaya. Namun karena jiwanya ada di tenun, akhirnya ia pulang kampung.


Terpanggil
Alfonsa pun mengumpulkan ibu-ibu di kampung dan mulai menenun, meskipun awalnya iseng-iseng belaka. Namun, akhirnya ia berhasil membina 12 desa di seluruh Pulau Flores dan Pulau Palue.

Menurut Alfonsa, setiap kelompok beranggotakan sekitar 21 orang dan saat ini terdapat lebih dari 252 orang anggota yang memproduksi sekitar 900 helai kain tenun ikat Flores.

Ia mengakui jumlah itu memang tidak cukup banyak, karena memang prosesnya menenun sangat rumit dan membutuhkan 18 tahapan, mulai dari kapas dipintal jadi benang, benang ditenun menjadi kain, sebelum jadi kain diikat dulu, diberi warna, diurai satu per satu.

Rata-rata untuk satu lembar kain, yang asli dari bahan pintal dan pewarna alam kurang lebih dikerjakan selama sembilan bulan. Tidak heran harga tenun ikat Alfonsa bisa mencapai 2,5 juta rupiah per helai.

Pada kesempatan itu seorang ibu membeli rok tenun ikat Alfonsa seharga 80 Poundsterling (sekitar Rp1,12 juta). "Besok akan saya pakai," ujar wanita paruh baya yang memperlihatkan rok tenun yang dibelinya.

Selama penyelenggaraan Bursa Pariwisata Dunia WTM London itu, banyak masyarakat Inggris yang tertarik melihat Alfonsa menenun. Ada beberapa diantara mereka yang mencoba melakukannya.

Dengan sabar Alfonsa membimbing para pengunjung belajar menenun. Menenun, kata Alfonsa, membutuhkan kesabaran dan tidak setiap orang memiliki kesabaran seperti dimiliki oleh wanita Flores.

"Itulah alasan utama, mengapa tenun ikat Sikka perlu dilestarikan dan dipromosikan ke seluruh dunia," kata Alfonso.

***4***
(T.H-ZG/B/T010/T010) 30-11-2010 00:26:11

Tidak ada komentar: