Kamis, 24 Maret 2011

PENGAMAT TTG LIBIA

PENGAMAT: PERSILANGAN KEPENTINGAN TERJADI DI LIBIA

London, 25/3 (ANTARA) - Pengamat politik Firman Noor menyebutkan apa yang terjadi di Libya akhir-akhir ini merupakan hasil persilangan kepentingan yang demikian kompleks.

Namun demikian setidaknya ada dua sumbu penggerak dari proses transisi demokrasi yang tampaknya tidak mudah ini, ujar peneliti di Pusat Studi Politik, Institut Indonesia Ilmu (P2P LIPI) itu kepada koresponden Antara London,Jumat.

Kandidat Ph.D di Institute of Arab and Islamic Studies,School of Humanities and Social Sciences, University of Exeter, United Kingdom, itu mengatakan di satu sisi rakyat Libya jelas memainkan peran yang tidak sedikit.

Dosen di Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial Universitas Indonesia dan Ilmu Politik Universitas Indonesia menyebutkan, setelah 42 tahun mengalami pasang surut peran dalam naungan rezim yang jauh untuk dapat disebut sebagai demokratis, rakyat mengambil peran sejarahnya dengan melakukan perlawanan atas rezim tertua di Afrika Utara itu, ujarnya.

Dia menamahkan bahwa efek domino Mesir menjadi salah satu pemberi momentum gerak sejarah anak bangsa Libya ini.

Gelombang transisi demokrasi yang diinspirasikan gerakan pro-demokrasi Mesir di awal tahun, tanpa kawalan Barat, melalui dunia maya menjadi tidak terbendung menghempas negeri Kolonel Gaddafi.

Firman Noor mengatakan, jatuhnya Mubarak memberikan gambaran jernih sekaligus motivasi bahwa sebuah rezim tua dengan dukungan militer bukan tidak dapat ditaklukkan.

Inspirasi yang sama ketika penaklukan Jepang atas Rusia memberikan motivasi kepada bangsa-bangsa Asia, termasuk Indonesia, bahwa supremasi kulit putih sekadar mitos belaka.

Meski relatif tidak memiliki organisasi oposan yang lama terorganisir, berbeda dengan Mesir dengan jaring-jaring Ikhwanul Muslimun ataupun Tunisia dengan An-Nahdah, kemauan rakyat Libya untuk melakukan perlawanan menjadi menyatukan tidak saja kantong-kantong oposisi seperti Benghazi dan Misrata, namun juga para diplomat di luar negeri.

Eskalasi perlawanan yang demikian luas dengan semangat yang gigih dan berani, sebenarnya telah menjadi cerminan signifikan bagi tertolaknya keabsahan Gaddafi untuk melanjutkan tongkat kekuasaannya.

Menurut peneliti pada Pusat Reformasi Pemilu (CETRO), dalam episode ini Gaddafi bukanlah Soeharto di tahun 1998 atau Mubarak beberapa waktu lalu.

"Dia merasa masih mempunyai tugas historis untuk melanjutkan pengamanan rakyatnya dari penguasaan sumber daya paling berharga bagi Libya, intervensi asing yang akan merusak kehormatan dan kedaulatan bangsa Libya," katanya.

Disini paradoks otoritarianisme bekerja, perjuangan 'melindungi' rakyat menjadi 'penjara' bagi rakyat itu sendiri, tambahnya.


Negeri incaran

Persoalan minyak memang menjadi sumbu penting yang lain. Sebagai sebuah negara yang memasok sekitar 11 persen kebutuhan dunia akan minyak, Libya merupakan 'negeri incaran', ujarnya.

Minyak memainkan dua peran penting. Pertama sebagai motivator bagi Gaddafi untuk bertahan, baik karena alasan pragmatis kekuasaan ataupun idealis demi kedaulatan Libya.

Minyak pula yang menjadikan dirinya tetap langgeng berkuasa dan melancarkan segenap agenda-agenda politik luar negerinya yang konfrontatif terhadap Barat, meski pasca peristiwa 11 September 2001 cenderung melunak.

Kedua, di sisi lain, minyak menjadi penggerak di balik langkah cepat negara-negara koalisi untuk segera melakukan langkah antisipatif melalui gerakan militer menyingkirkan rezim Gaddafi yang dibungkus dengan semangat 'demi kepentingan hak-hak rakyat Libya'.

Dilihat dari periode waktu, langkah antisipatif ini amat cepat. Langkah yang sama tidak dilakukan Barat saat terjadi pembantaian di Bosnia oleh Radovan Karazik hingga harus menunggu korban sekitar 100.000 orang, kata Firman.

Menurutnya, secara mudah hal ini menunjukan ada kepentingan yang lebih real ketimbang memperjuangkan HAM.

"Jelas dalam dunia politik internasional tidak ada makan siang gratis. Negara-negara koalisi sebagaimana yang terjadi di Irak jelas tidak akan pergi setelah ladang minyak itu menjadi demikian mudah diolah, ketika pemilik sahamnya telah angkat kaki," kata Firman Noor.

(T.ZG/
(T.H-ZG/B/H-AK/H-AK) 25-03-2011 07:03:07

Tidak ada komentar: