Selasa, 12 Februari 2013

LULUSAN LN




               
LULUSAN LUAR NEGERI BIMBANG TENTUKAN LOKASI KARIR

Oleh Zenyta Gibbon

          London, 7/2 (ANTARA) - Berkarir di Industri atau akademik menjadi dilema bagi sebagian besar para pelajar Indonesia di luar negeri setelah  menyelesaikan tugas belajar dan kebimbanganpun mulai menghinggapi para lulusan muda yang harus memilih antara mengembangkan diri di luar negeri atau kembali ke tanah air.

         "Dilema ini harus ditemukan solusinya,"  kata Koordinator Pusat Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Swedia , Muhammad Mufti Azis kepada ANTARA London, Kamis.

         Azis mengemukakan hal itu dalam loka karya yang diadakan pelajar Indonesia yang tergabung dalam PPI Swedia dalam rangkaian acara Winter Gathering PPI Swedia 2013 yang diadakan  di Stockholm, juga dihadiri oleh Dubes RI di Swedia Dewa Made Juniarta Sastrawan.

        Dia mengatakan  acara workshop yang mendapat dukungan KBRI Swedia  diikuti sekitar 50 pelajar yang tengah menuntut ilmu diberbagai daerah di Swedia seperti Stockholm, Gothenburg, Uppsala, Lund, Karlstad, Linköping, Borås, Borlange dan juga datang dari Jerman , Belanda , Barcelona, Spanyol, dan Copenhagen, Denmark.

       Menurut  Muhammad Mufti Azis, belajar ke luar negeri  merupakan impian sebagian besar pemuda Indonesia karena akan  membuka wawasan pengetahuan dan mengejar impian. "Beragam usaha dilakukan diantaranya dengan berkompetisi mengejar beasiswa ke luar negeri atau dengan biaya sendiri," ujarnya.

         Dikatakannya dalam acara workshop yang diadakan PPI Swedia  menghadirkan lima nara sumber yang malang melintang dalam berkarir di luar negeri, khususnya Swedia.   
    Bahkan beberapa diantaranya pernah bekerja di Indonesia baik dalam industri maupun akademik. Kelima narasumber yang dihadirkan dal diskusi kali ini adalah: Denny Tjahjanto, Setia Pramana, Muhammad Reza, Yudi Pawitan dan Yusak Susilo.   
    Dalam diskusi terungkap salah satu kebimbangan yang umumnya melanda lulusan master atau PhD di luar negeri adalah memilih antara berkarir di dunia industri atau akademik.   
   Narasumber pertama, Denny Tjahjanto yang berlatar belakang peneliti akademik mengungkapkan dunia penelitian akademik adalah dunia yang sangat menarik dan tidak pernah membosankan karena permasalahan baru kerap muncul.

         Selain itu dunia akademik memberi kesempatan networking yang luas dapat diperoleh melalui kegiatan mengajar dan konferensi, dan tak kalah penting adanya kebebasan dalam menentukan arah dan topik penelitian.

         Denny yang juga peneliti mekanika benda padat di Kungliga Tekniska Högskolan (KTH) Stockholm mengungkapkan berkarir akademik di luar negeri juga sarat tantangan antara lain sulitnya mendapatkan status kerja , kebanyakan peneliti harus puas dengan status kontrak atau sementara, ujarnya.

         Gaji yang ditawarkan umumnya lebih rendah dibanding gaji bila bekerja di industri, selain adanya tuntutan kerja yang tinggi di beberapa negara.

        Sementara itu Doktor lulusan TU Delft Belanda menyarankan agar setiap lulusan luar negeri tetap membuka peluang di akademik atau industri. Terkait dengan melanjutkan S3 bagi lulusan S2, program S3 umumnya kurang diminati orang lokal dibanding karir di industri.

         Dikatakannya mengambil program S-3 tidak membutuhkan otak pintar; yang penting ketekunan dan keseriusan. Konsistensi tekad itu diperlukan untuk mengatasi semangat yang sering kali naik-turun, ujarnya.

         Sementara itu pembicara lainnya Setia Tio Pramana memaparkan perbedaan budaya dunia akademik dan industri. Dalam hal jam kerja, akademisi lebih fleksibel dan mandiri dalam menentukan lokasi dan cara bekerja.

         Dikatakannya karyawan industri tidak perlu memikirkan dana untuk bekerja, sedangkan akademisi perlu mencari dana sebelum bisa melakukan penelitian. Namun jangan khawatir, ujar  Tio, sebab peneliti bisa mendapat dana sampingan sebagai konsultan.

         Perbedaan mengenai dampak dari produk yang dihasilkan. Produk yang dihasilkan akademisi umumnya bersifat tidak langsung dan berbentuk ide sehingga dampaknya tidak terlalu cepat, sedangkan industri lebih tertarik untuk menghasilkan produk yang bersifat langsung dalam bentuk produk jadi.

         Di akhir presentasinya, peneliti biostatistik di Karolinska Institute (KI) Stockholm ini menyampaikan potensi kolaborasi antara kedua dunia yang sifatnya berbeda itu.

   
 
                                                                                   Jadi Dosen
    Pembicara lainnya Muhammad Reza yang bekerja sebagai pemimpin grup kerja di salah satu perusahaan peralatan listrik raksasa dunia menekankan bahwa banyak mahasiswa Indonesia di dalam maupun luar negeri berpikir bahwa lulusan S-3 pasti jadi dosen.

        Alasan yang pertama adalah sedikitnya teladan dari lulusan program doktor pendahulu mereka yang akhirnya berkarir di industri. Kebanyakan di antara mereka pulang dan ingin menjadi dosen, ujar Mas Reza,begitu Muhammad Reza akrab disapa.

         Menurut Reza, jarang industri di Indonesia yang menerima lulusan S-3. Karena banyak dosen di Indonesia akhirnya diangkat menjadi pejabat tinggi seperti halnya Budiono, Sri Mulyani, dan Fauzi Bowo.

         Para narasumber setuju bahwa industri di Indonesia umumnya hanya menerapkan prinsip dagang tanpa memberikan perhatian yang besar terhadap penelitian dan pengembangan produk secara ilmiah.

        Sebagai akibatnya, industri di Indonesia tidak mampu berinovasi karena absennya budaya penelitian. Akibatnya bagi dunia akademik, para peneliti mengalami kemacetan untuk menyalurkan ide-idenya dan bahkan jarang sekali hasil penelitian yang akhirnya dikomersialkan. Keduanya berjalan sendiri-sendiri dan menjauhi satu sama lain, demikian Mas Reza. (ZG)
(T.Z. Gibbons/B/M. Sunyoto/M. Sunyoto) 07-02-2013 16:41:24

Tidak ada komentar: