Rabu, 27 Februari 2013

NASIONALISME

PPI DENHAAG BAHAS NASIONALISME ANAK MUDA

Oleh Zeynita Gibbons

London, 20/2 (Antara) - Para pelajar Indonesia yang tergabung dalam PPI Den Haag mengelar diskusi ilmiah bertema "Nasionalisme Anak Muda di Era Globalisasi," dalam upaya membuka wacana nasionalisme mahasiswa Indonesia yang ada di luar negeri.

Diskusi menampilkan Sekjen PPI Belanda Ridwansyah Yusuf Achmad dan dua mahasiswi Jurusan "International and European Law di Haagse Hogeschool", yaitu Ivy Londa dan Gina Bestari, demikian Ketua Bidang Media Informasi dan Komunikasi PPI Belanda, Ryvo Octaviano kepada Antara London, Rabu.

Ridwansyah Yusuf menyebutkan istilah "nasionalisme" itu sangat abstrak dan sulit untuk diukur. Namun, negara bisa berkembang jika rakyatnya memiliki nasionalisme, yaitu kesadaran bahwa mereka memiliki identitas dan berkeinginan untuk mengembangkan identitas tersebut.

Menurut Ridwansyah, justru di luar negeri, jiwa nasionalisme mahasiswa Indonesia diuji. Untuk itu disampaikannya hal-hal kecil yang bisa dilakukan sebagai perwujudan nasionalisme.
Misalnya berbicara, menulis, bernyanyi, membuat puisi dan lainnya yang dapat menjadi perwujudan rasa nasionalisme itu. Sekecil apapun itu, jika berniat untuk melakukannya buat Indonesia, hal itu sudah merupakan nasionalisme.

Diakuinya setiap manusia memiliki potensi dan tujuan yang berbeda-beda. Namun yang penting adalah bagaimana menggunakan potensi untuk mengekspresikan nasionalisme.

Sementara itu, Gina Bestarimengajak mahasiswa Indonesia di Den Haag untuk berkarya secara sederhana, yaitu dengan belajar dan menyelesaikan tugas dengan baik. "Selama kita memegang identitas sebagai orang Indonesia, kemanapun kita pergi, apapun prestasi yang kita dapat, nantinya akan mengharumkan nama Indonesia," ujarnya.

Gina menekankan peran "silent nationalism" dibandingkan dengan nasionalisme yang harus berkoar-koar di luar sana.

Menurut Gina, pemuda Indonesia harus siap dengan globalisasi yang terus berjalan dan menuturkan generasi muda mempunyai peran untuk mengubah keadaan bangsa. "Oleh sebab itu, apa yang menjadi kontribusi para pemuda akan menentukan nasib Indonesia ke depannya," katanya.

Sedangkan Ivy Londa memulai pembahasannya mengenai "cyber nationalism" yang merasa bahwa meskipun hanya duduk di depan komputer dan meng'update' status tentang Indonesia di facebook atau twitter, hal itu sudah merupakan awal yang baik.

Meskipun di dalam kehidupan nyata, mungkin pengguna sosial media tidak melakukan banyak hal. Tetapi, Ivy merasa "cyber nationalism" itu sudah merupakan awal yang baik yang perlu juga dihargai agar dunia luar bisa lebih mengenal Indonesia.
Di akhir penuturannya, Ivy mengajak audiens untuk berpikir apakah "cyber nationalism" bisa disebut "true nationalism".

Dalam diskusi yang berjalan hangat ditengah musim dingin di Eropa, para peserta mengajukan pertanyaan serta memberikan masukan yang diantaranya setuju nasionalisme banyak bentuknya dan tergantung identitas.

Setelah selesai kuliah di Belanda ini apakah akan pulang atau tidak, itu harus kembali lagi ke pribadi masing-masing. Rama Manusama misalnya, mengatakan dia bisa lebih mengembangkan diri di Belanda, tetapi bukan berarti dia tidak peduli sama Indoenesia.

Dia aktif melakukan transfer ilmu kepada rekan-rekan di Indonesia. Rama percaya bahwa ini sudah termasuk nasionalisme, karena diaspora Indonesia seperti ini memiliki andil yang luar biasa dalam pengembangan bangsa.

Selanjutnya audiens mengenalkan istilah global village. Ketika ditanyakan dimana penempatan nasionalisme Indonesia dalam keadaan seperti ini. Audiens dan pembicara sepakat bahwa Indonesia perlu terbuka terhadap globalisasi.

Hal ini ditunjukkan keberhasilannya Bung Karno ketika mengumpulkan negara-negara berkembang di Konferensi Asia Afrika di Bandung. Intinya memang kita tidak bisa menutup diri dan mencoba berdiri sendiri. Kita perlu terbuka terhadap globalisasi¿ demikian Ridwansyah Yusuf. ***1***

(T.H-ZG/C/S. Muryono/S. Muryono) 20-02-2013 13:45:39


Tidak ada komentar: