Minggu, 04 April 2010

INDONESIA HARUS SELANGKAH LEBIH MAJU DI BIDANG IPTEK

INDONESIA HARUS SELANGKAH LEBIH MAJU DI BIDANG IPTEK

London, 3/4 (ANTARA) - Pemerhati inovasi mengatakan Indonesia harus selangkah lebih maju di bidang inovasi, ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), di tengah-tengah persaingan yang makin ketat secara global.

"Ketidakmampuan membaca tren dan menguasai iptek hanya akan membuat Indonesia selalu tertinggal dari negara-negara lain," ujar Dr Yanuar Nugroho, pemerhati inovasi dari Universitas Manchester dalam diskusi online Indonesia in Motion yang digelar di Inggris baru-baru ini.

Salah seorang panitia diskusi Mohamad Susilo kepada koresponden ANTARA London, Sabtu mengatakan diskusi bertema "Memikirkan Kembali Strategi Inovasi dan Kebijakan Iptek di Indonesia" diadakan oleh masyarakat Indonesia yang ada di Kerajaan Inggris yang sangat peduli dengan pembangunan di Indonesia.
"Mau tidak mau pemerintah dan berbagai institusi publik harus bisa lebih maju di bidang inovasi, sains, dan teknologi. Kita perlu 'ahead of the game'. Kalau tidak, kita tidak akan bisa berbuat apa-apa," kata Nugroho, yang pernah menyabet predikat staf pengajar terbaik di Universitas Manchester tersebut.

Nugroho mencontohkan kasus pembakaran lahan kapas oleh para petani di Sulawesi pada sekitar tahun 2002 sebagai ketidakmampuan berbagai pihak di Indonesia menghadapi masalah-masalah inovasi dan teknologi. Ketika itu kapas transgenik yang dijanjikan bisa dipanen dengan hasil satu setengah atau dua kali lebih besar, ternyata tidak berhasil.

"Monsanto melalui Departemen Pertanian melepas kapas transgenik ini. Kita ketika itu ingin sekali menerapkan teknologi. Padahal teknologi ini belum terbukti secara massal," papar Nugroho.

Prinsip kehati-hatian yang biasa diterapkan, terabaikan karena tak ada penjaga kepentingan publik.

Contoh lain adalah partikel nano yang banyak dipakai oleh sejumlah perusahaan kosmetika. Di negara-negara Barat, konsumen masih berhati-hati menggunakan aneka kosmetika berbahan partikel nano, karena dampak bahan ini terhadap kulit masih menjadi perdebatan hangat.

Namun di Indonesia, konsumen hangat menyambut kosmetika berbahan partikel nano ini. "Jadi kita masuk ke arena yang kita sendiri tidak tahu ke mana arahnya," tandas Nugroho.

Ia memaparkan banyak pekerjaan rumah bagi Indonesia. Menurut Nugroho, Indonesia memiliki LIPI, BPPT, Bappenas dan Dewan Riset Nasional, tapi mengapa kehadiran lembaga-lembaga semacam ini belum mendorong kemajuan bangsa, seperti visi para pendiri ketika melahirkan Indonesia pada 1945.

"Mengapa tingkat kesejahteraan rakyat tidak seperti yang kita harapkan," kata Nugroho.

Di tataran praktis, ketika menelurkan kebijakan iptek, perlu dipikirkan apakah model kebijakan di negara-negara Eropa Barat bisa diterapkan di Indonesia. Pertanyaan ini layak diajukan karena memang kondisi geografis dan sosiologis Indonesian dan negara-negara di Eropa berbeda.

"Bagaimana pula dengan tolok ukur dan evaluasi kebijakan itu? Jadi, memang banyak yang harus dilakukan oleh Indonesia," kata Nugroho.

Ia juga menyinggung budaya inovasi, yang menurutnya harus menjadi bagian dari karakter bangsa, tidak sekedar jargon, yang berhenti di tataran kata-kata belaka. Banyak negara maju yang sekarang khawatir, karena merasa dana untuk inovasi, riset, dan pengembangan tidak maksimal.

Negara-negara anggota Uni Eropa pernah melahirkan deklarasi bahwa pada 2010 anggaran riset dan pengembangan harus mencapai tiga persen dari total anggaran nasional.

"Sejauh ini sasaran itu belum tercapai. Memang Inggris, Jerman, dan Prancis berusaha mencapai target itu. Tapi angkanya belum mencapai tiga persen," jelas Nugroho. Negara-negara Uni Eropa ini khawatir, melambannya inovasi akan membuat mereka kehilangan daya saing.

Apalagi negara-negara lain, terutama Brasil, Rusia, India, dan Cina berusaha keras mengejar ketertinggalan. "Inovasi menentukan kelangsungan hidup mereka. Kalau tidak ada inovasi, mereka akan kalah," tandas Nugroho.

(U-ZG)
(T.H-ZG/B/B012/B012) 03-04-2010 19:02:30

Tidak ada komentar: