MUSEUM ZURICH KAJI TRADISI MINUM TUAK NIRA
Oleh Zeynita Gibbons
London, 21/6 (Antara) - Museum Etnografi, Zurich melakukan kajian ilmiah tradisi minum minuman tertentu di suatu negara yang merupakan suatu jenis kebudayaan dan patut dilestarikan, seperti tuak nira dari Indonesia.
"Cerita proses ekstraksi dan konsumsi tuak nira menjadi bahan kajian ilmiah di Museum Etnografi, Zurich," kata kurator Museum Etnografi Zurich, Andreas Isler, di sela-sela pembukaan pameran kebudayaan minum "Trinkkultur", sebagaimana dikutip Pensosbud KBRI Bern, Oktavia Maludin, kepada Antara London, Sabtu.
Oktavia Maludin mengatakan "Trinkkultur" merupakan pameran berbagai minuman tradisional, seperti tuak nira dari Indonesia, susu Alpen Swiss, bir beras dari Cina, kawa dari Vanuatu, bir singkong dari Amazona, serta teh hijau dari Jepang.
"Pameran yang diadakan dari tanggal 19 Juni sampai 19 Oktober mendatang itu sekaligus menjadi perayaan hari jadi ke-125 Museum Etnografi Zurich yang dibuka kembali itu," katanya.
Pada pembukaan pameran yang dihadiri sekitar 200 undangan itu diperdengarkan alunan musik dari Indonesia yang merupakan alunan musik yang digunakan pada saat proses ekstrasi tuak nira.
Proses ekstrasi dan budaya minum tuak nira ini juga dijadikan bahan kuliah umum di Museum Etnografi, Universitas Zurich. Produksi tuak nira dari berbagai jenis pohon palem telah dikenal di Indonesia sejak 1000 tahun lalu.
Pada kuliah umum oleh Prof. Kozok dari Universitas Hawaii ini, selain dipaparkan proses ekstraksi, penyimpanan, dan konsumsi tuak nira, juga diceritakan peranan pohom palem bagi kehidupan masyarakat. Prof Kozok juga memperkenalkan dimensi mitologis dari ekstraksi tuak.
Museum Etnografi Zurich memamerkan alat yang digunakan pada proses ekstrasi dan penyimpanan tuak nira yang menarik perhatian pengunjung. Alat-alat tersebut berasal dari tahun 1875-1880 yang merupakan koleksi Museum Etnografi Zurich.
Museum ini juga menyimpan dokumentasi foto dari tahun 1921-1927, yang merupakan warisan ahli geologi Swiss, Wolfgang Leupold, yang pernah tinggal di Indonesia pada saat itu.
Sebelumnya, Museum Etnografi Zurich juga pernah mengadakan pameran bertajuk "Aufschlussreiches Borneo" (mengungkapkan Borneo), yang memajang koleksi foto Wolfgang Leupold.
Pameran ini mempertunjukkan artefak dan dokumentasi foto dari berbagai kelompok etnik di Kalimantan Timur. Pameran serupa juga diadakan di Universitas Indonesia pada tahun 2013 dan tahun 2014 di Erasmus Huis, Jakarta.
Foto dan dokumentasi tersebut ditransfer ke Indonesia melalui proyek kerja sama antara antropolog dari Universitas Indonesia dan Paola von Wyss-Giacosa serta Andreas Isler yang merupakan kurator Museum Etnografi Zurich.
Direktur Museum Etnografi Zurich Prof. Dr. Mareile Flitsch, berharap warisan sejarah pengetahuan ini dapat menjadi kontribusi dalam upaya melestarikan sejarah budaya Indonesia.
KBRI berharap kerja sama antara museum dan antropolog Indonesia dan Swiss dapat berkembang dan terus ditingkatkan, mengingat tingg inya minat masyarakat Swiss terhadap warisan budaya Indonesia. ***3*** (ZG)
(T.H-ZG/B/E.M. Yacub/E.M. Yacub) 21-06-2014 15:13:33
Tidak ada komentar:
Posting Komentar