Rabu, 15 Februari 2012

AMNESTY

AMNESTY INTERNASIONAL DESAK DPR LINDUNGI PRT London, 15/2 (ANTARA) - Amnesty Internasional mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR RI) mengambil langkah kongkrit untuk melindungi pekerja rumah tangga (PRT) dengan mengesahkan Undang-Undang (UU) Perlindungan PRT di 2012. "DPR RI harus membuat perlindungan terhadap pekerja rumah tangga sebagai prioritas di 2012," ujar Josef Roy Benedict, Campaigner - Indonesia & Timor-Leste kepada ANTARA London, Rabu. Desakan Amnesty International yang bermarkas di London sehubungan dengan berkumpulnya pekerja rumah tangga Indonesia untuk memperingati Hari Pekerja Rumah Tangga, ujar Josef Roy Benedict. Amnesty International menyambut baik perkembangan belakangan ini oleh kelompok kerja DPR yang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut. Namun kegagalan terus berlangsung dalam mengesahkan UU ini - yang telah menjadi agenda legislatif sejak 2010- membuat jutaan PRT di Indonesia, yang mayoritas perempuan dan anak perempuan, semakin rentan terhadap eksploitasi dan perlakuan sewenang-wenang. Menurut Josef Roy Benedict, PRT tidak diakui secara legal sebagai tenaga kerja, dan tidak menikmati perlindungan dan jaminan yang sama dengan tenaga kerja lainnya di Indonesia. Tanpa perlindungan legal yang memadai, mereka sering dieksploitasi secara ekonomi, hidup dan bekerja di kondisi yang buruk, dan menjadi subjek kekerasan psikologis dan seksual secara rutin. Perempuan dan anak perempuan menghadapi hambatan signifikan dalam memperoleh perawatan kesehatan seksual dan reproduksi yang mereka butuhkan, ujarnya. Amnesty International menerima informasi bahwa komisi IX DPR, yang membawahi proses pembuatan UU, telah membentuk kelompok kerja untuk mendiskusikan RUU tersebut. Kelompok kerja tersebut, dibentuk bulan lalu, telah bertemu dengan organisasi masyarakat madani dan institusi lainnya untuk mendiskusikan RUU itu, dan sekarang sedang mengkaji RUU tersebut pasal perpasal. Prihatin Namun, Amnesty International prihatin, pada posisinya sekarang, RUU tersebut tidak memenuhi standar dan hukum internasional, terutama terkait dengan PRT anak, jam kerja, gaji dan mekanisme resolusi perselisihan. Josef Roy Benedict mengatakan DPR harus menjamin agar RUU tersebut selaras dengan standar dan hukum internasional, dan secara eksplisit mengandung ketentuan yang berkaitan dengan kebutuhan spesifik perempuan. Ketentuan semacam itu juga harus memasukkan penjaminan hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi bagi PRT, terutama pada saat dan setelah kehamilan. Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah lebih lanjut untuk melindungi PRT dengan meratifikasi Konvensi Pekerja Rumah Tangga (Konvensi 189) yang baru dari Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO) dan memasukkan ketentuan-ketentuannya dalam hukum nasional dan menerapkannya dalam kebijakan dan praktik. Konvensi tersebut, yang telah dibuka untuk penandatanganan sejak diadopsi 16 Juni tahun lalu didukung Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya di Konferensi Buruh Internasional pada bulan Juni 2011. Dalam Komentar Penutupnya (Concluding Comments) untuk laporan berkala Indonesia tahun 2007, Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), mengangkat keprihatinannya terhadap perlakuan sewenang-wenang dan eksploitasi PRT perempuan di Indonesia. Ia merekomendasikan agar pemerintah Indonesia menerapkan hukum yang komprehensif dan menerapkan prosedur untuk menjamin hak-hak PRT. Sebuah studi ILO tahun 2002 memperkirakan ada 2.6 juta PRT di Indonesia. Namun berdasarkan informasi dari Jala-PRT, Jaringan Nasional Advokasi PRT, ada sekitar 10 juta PRT di seluruh negeri. UU Perlindungan PRT pertama kali masuk program legislatif nasional (Prolegnas) pada tahun 2010 setelah kampanye bertahun-tahun oleh organisasi nasional dan internasional. Namun perbedaan pandangan antara partai politik telah menghambat kemajuan proses pembahasan RUU tersebut. Pada April 2011, aktivis hak-hak PRT mengajukan gugatan warga negara ke pengadilan terhadap Presiden, Wakil Presiden, tiga Menteri dan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dan DPR karena gagal mengesahkan RUU tersebut. Gugatan tersebut ditolak pada 7 Februari lalu oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan para aktivis tersebut telah menyatakan akan mengajukan banding, demikian Josef Roy Benedict.***1*** (ZG) (T.H-ZG/B/E001/E001) 15-02-2012 19:19:50

Tidak ada komentar: