Sabtu, 04 Februari 2012

TIMUR LESTE

TIMUR LESTE SAATNYA BERI KEADILAN KORBAN HAM London, 4/2 (ANTARA) - Lembaga Amnesty International dan Judicial System Monitoring Programme (JSMP) menyerukan pada Parlemen Timor-Leste secepatnya membahas dua rancangan undang-undang tentang tindakan memberikan keadilan bagi korban pelanggaran hak asasi manusia antara tahun 1975 dan 1999. Kedua draf undang-undang tersebut, pertama kali dikirim ke parlemen Juni 2010, bertujuan membentuk program reparasi nasional dan "Institut Memori Publik", ujar Josef Roy Benedict, Campaigner - Indonesia & Timor-Leste Amnesty International, dalam keterangannya kepada ANTARA London, Sabtu. Namun, amandemen yang signifikan harus dilakukan agar kedua undang-undang tersebut menerapkan penuh hak-hak korban atas pemulihan yang efektif, termasuk reparasi penuh sebagaimana disyaratkan oleh hukum hak asasi manusia internasional, demikian Amnesty Internasional yang bermarkas di London. Disebutkan delapan belas bulan berlalu, Parlemen bahkan belum membahas rancangan undang-undang tersebut, apalagi membuat perubahan yang diperlukan. Sebuah sesi sidang luar biasa dari Parlemen Timor-Leste dijadwalkan untuk membahas rancangan undang-undang tersebut pada 1-3 Februari. Namun, parlemen membatalkan pembahasan rancangan ini dalam rangka membahas rancangan undang-undang mengenai pensiun parlemen dan hukum pertanahan. Penundaan terus menerus menunjukkan ketidakhormatan atas penderitaan korban dan keluarga mereka. Kegagalan berkelanjutan dalam membahas, merubah dan mengesahkan undang-undang ini berkontribusi pada impunitas dan ketidakadilan di Timor-Leste. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang kesediaan pemerintah dan partai politik untuk menjamin keadilan, kebenaran dan reparasi atas kejahatan atas kemanusiaan dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya semasa okupasi Indonesia atas Timor-Leste (sebelumnya Timor-Timur). Sangat tidak bisa diterima bahwa korban dan para keluarganya telah menunggu dua belas tahun ¿ dan di banyak kasus lebih lama lagi. Amnesty International dan JSMP mendesak Parlemen untuk membuat amendmen penting yang dibutuhkan agar undang-undang tersebut selaras dengan standar internasional. Hal ini termasuk memperluas cakupan penerima manfaat, yang saat ini terbatas pada daftar sewenang-wenang ¿korban yang rentan¿ dan membuat semua jenis reparasi yang diakui agar tersedia bagi korban. Selain menyediakan tindakan khusus untuk menjamin perempuan bisa mengakses reparasi yang efektif, termasuk menantang stigma dan diskriminasi yang dialami korban yang selamat dari kekerasan seksual dan penstereotipean gender yang membawahi kekerasan terhadap perempuan. Amnesty International dan JSMP menyerukan Parlemen mengambil langkah untuk menjamin agar Indonesia memenuhi kewajibannya berdasar hukum internasional dan menyediakan reparasi penuh bagi korban Timor-Leste atas kejahatan berdasarkan hukum internasional dan pelanggaran hak asasi manusia lain yang dilakukan oleh pasukan atau agennya antara tahun 1975 dan 1999. Pembahasan dan pengesahan dua undang-undang ini adalah langkah penting menuju implementasi rekomendasi dari Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi (Commission for Reception, Truth and Reconciliation & CAVR) dan juga dari komisi gabungan Indonesia dan Timor-Leste yaitu Komisi Kebenaran dan Persahabatan (Commission of Truth and Friendship & CTF). Selama bertahun-tahun, kelompok masyarakat sipil dan korban di Timor-Leste telah menyerukan keadilan dan reparasi bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi semasa okupasi Indonesia. Pada Oktober tahun lalu, catatan hak asasi manusia Timor-Leste diperiksa melalui mekanisme Universal Periodic Review (UPR) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB ¿ United Nations). Lima negara menyerukan pada Timor-Leste untuk mengimplementasikan rekomendasi yang dibuat oleh CAVR dan CTF. Timor-Leste setuju untuk mempertimbangkan rekomendasi ini. Laporan UPR Timor-Leste akan diadopsi pada Maret 2012. Dalam laporan terbarunya pada Dewan Keamanan PBB, Sekretaris Jenderal PBB merekomendasikan Parlemen Timor-Leste untuk membahas kedua draft tersebut. Sekretaris Jenderal juga menyatakan kemajuan dalam mengimplementasikan rekomendasi CAVR dan CTF akan memberikan dampak positif pada keamanan dan stabilitas jangka panjang di Timor-Leste. Selaras dengan ini, pada laporan bulan Desember 2011, Kelompok Kerja tentang Penghilangan Paksa atau Tidak Sukarela PBB (UN Working Group on Enforced or Involuntary Disappearances ¿ WGEID), yang mengunjungi Timor-Leste dari 7 hingga 14 Februari 2011, menyerukan pada Parlemen Timor-Leste untuk membahas dan mengesahkan kedua undang-undang tersebut. Parlemen harus berhenti mengabaikan korban dengan gagal membahas rancangan undang-undang tersebut. Parlemen harus menjamin undang-undang tersebut dibahas secara layak dan melakukan perubahan agar selaras dengan hukum dan standar internasional serta mengesahkannya pada kesempatan terdekat, demikian Amnesty Internasional. (ZG) (T.H-ZG/B/M019/M019) 04-02-2012 08:23:42

Tidak ada komentar: