PENGAMAT: INDONESIA PERLU PERBAIKI KEBIJAKAN PERLINDUNGAN TKI
Oleh Zeynita Gibbons
London, 16/4 (Antara) - Pengamat masalah internasional Yasmi Adriansyah menilai Indonesia perlu memperbaiki secara komprehensif Kebijakan Perlindungan TKI untuk mencegah kasus Siti Zaenab terjadi lagi.
"Terjadinya eksekusi mati TKI Indonesia Siti Zaenab di Arab Saudi pada 14 April lalu harus menjadi momentum perbaikan komprehensif kebijakan perlindungan TKI," ujar Kandidat PhD Hubungan Internasional
Australian National University (ANU) Yasmi Adriansyah kepada Antara London, Kamis.
Meski demikian, Yasmi mengakui sikap pemerintah melakukan upaya perlindungan tentu perlu diapresiasi.
"Namun tanpa perbaikan yang komprehensif dari sisi kebijakan dan tata kelola, eksekusi mati akan terus berulang mengingat 229 WNI sudah mendapat vonis hukuman mati," ujar diplomat muda yang pernah bertugas di Jenewa itu.
Pemerintah disebutnya perlu memperbaiki dua hal yaitu kebijakan luar negeri dan kebijakan di dalam negeri.
Menurut Yasmi, dari sisi kebijakan luar negeri pemerintah perlu memaksimalkan eksistensi hukum internasional khususnya Konvensi PBB 1990 mengenai Hak-Hak Buruh Migran.
"Idealnya, Indonesia meminta Arab Saudi meratifikasi konvensi tersebut sebagaimana dilakukan Indonesia pada tahun 2012," ujarnya.
Yasmi mengaku memang tidak akan mudah mengubah sikap politik hukum Arab Saudi, sebagaimana yang dialami Indonesia ketika minta dihargai dalam penerapan hukum nasional eksekusi mati bandar narkoba.
"Karenanya, pilihan lain bagi Indonesia adalah dengan bersikap tegas menerapkan moratorium pengiriman TKI khususnya sektor informal (PLRT)," ujarnya.
Sektor informal adalah sektor ketenagakerjaan yang rentan mengingat kasus eksekusi mati rata-rata menimpa TKI di sektor itu.
Indonesia pernah menerapkan moratorium pada tahun 2011 usai Ruyanti binti Satubi dieksekusi mati.
Serupa dengan kasus Siti Zaenab, Ruyanti dieksekusi tanpa notifikasi dan setelah mendapat tekanan publik, Pemerintahan SBY akhirnya menerapkan moratorium.
Salah satu hasil penerapan moratorium itu adalah kesediaan Arab Saudi pada 2014 membuat perjanjian (MoU) dalam penanganan TKI.
"Sekiranya Indonesia kembali menerapkan moratorium, hal ini dapat menjadi alat penekan kepada Arab Saudi," ujar Yasmi.
Permintaan Indonesia disarankan untuk mengambil langkah diplomasi seoptimal mungkin yaitu dengan mendesak Saudi meratifikasi Konvensi 1990 atau minimal memperbaiki MoU dengan mengacu kepada konvensi dimaksud.
Kebijakan Dalam Negeri
Sedangkan dari sisi kebijakan dalam negeri, Pemerintahan Presiden Joko Widodo diharapkan menunjukkan perubahan nyata antara lain segera mewujudkan desain besar perlindungan tersebut yang pernah dijanjikan Menteri Ketenagakerjaan di awal tahun 2015.
Selain itu, Menaker juga diminta segera memulai proses revisi UU No.39 Tahun 2004 mengenai Penempatan dan Perlindungan TKI, sebuah UU yang banyak dikritik masyarakat karena dinilai lebih sarat kepentingan bisnis dibanding perlindungan.
"Namun sampai saat ini belum terlihat realisasi dari janji-janji tersebut. Padahal, perubahan tata kelola di dalam negeri sangatlah krusial mengingat 80 persen permasalahan TKI bersumber di dalam negeri," ujar Yasmi.
Beberapa hal yang membutuhkan perbaikan adalah mengenai masalah struktur biaya, berbelitnya proses rekrutmen hingga korupsi aparat di lapangan.
"Revisi UU No.39 Tahun 2004 seyogianya dapat menjadi titik tolak perubahan. Namun demikian, proses revisi tersebut harus terbuka, termasuk dengan melibatkan masyarakat sipil," ujar Yasmi.
Pelbagai organisasi masyarakat sipil seperti Solidaritas Perempuan, HRWG, Serikat Buruh Migran Indonesia, LBH perlu kembali bersinergi guna mendorong Pemerintahan Jokowi berada di dalam jalur yang tepat, demikian Yasmi Adriansyah. (ZG)
(T.H-ZG/B/A. Novarina/A. Novarina) 16-04-2015 14:13:59
Tidak ada komentar:
Posting Komentar