Indonesia Jadi Contoh Lawan Perdagangan Kayu Ilegal
News ID: 823474
London (ANTARA) -
Indonesia, negara pertama yang melakukan kerja sama dengan Uni Eropa (UE) untuk memerangi perdagangan kayu ilegal, menjadi contoh pengelolaan perbedaan yang baik antara negara penghasil kayu dan negara pengimpor kayu.
Hal itu disampaikan Dubes Yuri O. Thamrin di hadapan Sidang Tahunan Komite Penegak Hukum, Organisasi Cukai Dunia (WCO Enforcement Committee) di Brussel, Belgia, Senin yang berlangsung hingga 28 Februari mendatang.
Sekretaris Pertama KBRI Brussels, Dara Yusilawati, kepada Antara London, Rabu menyebutkan selain paparan Dubes Thamrin, isu FLEGT juga dibahas secara detail oleh empat pembicara lainnya yakni perwakilan CITES, pejabat UE (Ditjen Lingkungan), pejabat cukai dari India dan pejabat cukai dari Indonesia.
Lebih lanjut Dubes Yuri O. Thamrin, mengatakan insiatif ini dapat menjadi model yang efektif bagi negara lain dalam upaya memerangi perdagangan kayu ilegal secara global.
Sejak November 2016, Indonesia dan Uni Eropa menerapkan kerja sama yang disebut the Indonesia - EU Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) Voluntary Partnership Agreement (VPA). Melalui kerja sama ini, Indonesia memiliki kewenangan mengeluarkan izin Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) terhadap kayu yang akan diekspor ke wilayah UE, ujarnya.
Hanya kayu-kayu yang lolos SVLK yang dapat dibeli oleh negara-negara UE dari Indonesia. Berkat kerja sama ini, ekspor kayu Indonesia ke UE menikmati "green lane", atau fasilitas tanpa pemeriksaan fisik.
Sekjen WCO, Kunio Mikuriya, mengatakan pengalaman baik ini dipandang penting untuk dibagi dengan para penegak hukum (dari bidang cukai) dari seluruh dunia yang berkumpul di Brussel untuk pertemuan tahunan yang berlangsung sejak tanggal 24 hingga 28 Februari mendatang.
Untuk itu Mikuriya mengundang Dubes RI untuk Belgia, UE dan Luksemburg, Yuri O. Thamrin berbagi pengalaman dan mendapatkan pencerahan dari Indonesia yang telah memulai kerja sama FLEGT dengan UE.
Pada kesempatan itu Dubes Yuri mengingatkan UE untuk berupaya menutup berbagai kekurangan (loopholes) dan memperbaiki sikap mereka agar negara yang sudah memenuhi kriteria UE (compliant) seperti Indonesia tidak dirugikan.
Dikatakan proses lisensi FLEGT di Indonesia memerlukan biaya yang tidak sedikit dan cukup membebani SMEs. Karena itu, upaya untuk patuh terhadap persyaratan yang diatur dalam lisensi perlu diapresiasi. “Penting bagi UE untuk memastikan fairness bagi produk kayu Indonesia yang memiliki lisensi FLEGT. Karena ada beberapa importir UE lebih memilih produk kayu dengan harga murah dan tidak menguji asal-muasalnya.
Hambatan lain masih adanya penafsiran dan praktek penegakan hukum yang berbeda antara negara anggota UE dalam implementasi regulasi kayu UE (European Union Timber Regulation/ EUTR). Praktek penegakan hukum yang berbeda ini dimanfaatkan penyelundup. Oleh karena itu, penegakan hukum terkait regulasi kayu UE harus lebih diperkuat, ujar Dubes Yuri.
Ia menegaskan kembali komitmen kuat Indonesia memerangi perdagangan kayu ilegal dan kerja sama dengan UE, Diharapkannya dimasa datang , kerja sama ini dapat ditingkatkan lebih baik lagi dan berharap importir UE tidak lagi membeli kayu yang ilegal dari negara-negara yang belum melakukan kerja sama FLEGT.
Kerja sama Indonesia dan Uni Eropa terkait FLEGT disepakati pada tahun 2014 (ratifikasi) dan 15 November 2016, dikeluarkan sertifikasi pertama. Berdasarkan data Interpol, perdagangan kayu ilegal setiap tahunnya mencapai USD 51 milyar hingga USD 152 milyar.
Perdagangan kayu ilegal merupakan kriminalitas lingkungan tertinggi (No 1) di antara kriminalitas-kriminalitas lainnya dalam kategori kejahatan terhadap lingkungan hidup.(ZG)
Indonesia, negara pertama yang melakukan kerja sama dengan Uni Eropa (UE) untuk memerangi perdagangan kayu ilegal, menjadi contoh pengelolaan perbedaan yang baik antara negara penghasil kayu dan negara pengimpor kayu.
Hal itu disampaikan Dubes Yuri O. Thamrin di hadapan Sidang Tahunan Komite Penegak Hukum, Organisasi Cukai Dunia (WCO Enforcement Committee) di Brussel, Belgia, Senin yang berlangsung hingga 28 Februari mendatang.
Sekretaris Pertama KBRI Brussels, Dara Yusilawati, kepada Antara London, Rabu menyebutkan selain paparan Dubes Thamrin, isu FLEGT juga dibahas secara detail oleh empat pembicara lainnya yakni perwakilan CITES, pejabat UE (Ditjen Lingkungan), pejabat cukai dari India dan pejabat cukai dari Indonesia.
Lebih lanjut Dubes Yuri O. Thamrin, mengatakan insiatif ini dapat menjadi model yang efektif bagi negara lain dalam upaya memerangi perdagangan kayu ilegal secara global.
Sejak November 2016, Indonesia dan Uni Eropa menerapkan kerja sama yang disebut the Indonesia - EU Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) Voluntary Partnership Agreement (VPA). Melalui kerja sama ini, Indonesia memiliki kewenangan mengeluarkan izin Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) terhadap kayu yang akan diekspor ke wilayah UE, ujarnya.
Hanya kayu-kayu yang lolos SVLK yang dapat dibeli oleh negara-negara UE dari Indonesia. Berkat kerja sama ini, ekspor kayu Indonesia ke UE menikmati "green lane", atau fasilitas tanpa pemeriksaan fisik.
Sekjen WCO, Kunio Mikuriya, mengatakan pengalaman baik ini dipandang penting untuk dibagi dengan para penegak hukum (dari bidang cukai) dari seluruh dunia yang berkumpul di Brussel untuk pertemuan tahunan yang berlangsung sejak tanggal 24 hingga 28 Februari mendatang.
Untuk itu Mikuriya mengundang Dubes RI untuk Belgia, UE dan Luksemburg, Yuri O. Thamrin berbagi pengalaman dan mendapatkan pencerahan dari Indonesia yang telah memulai kerja sama FLEGT dengan UE.
Pada kesempatan itu Dubes Yuri mengingatkan UE untuk berupaya menutup berbagai kekurangan (loopholes) dan memperbaiki sikap mereka agar negara yang sudah memenuhi kriteria UE (compliant) seperti Indonesia tidak dirugikan.
Dikatakan proses lisensi FLEGT di Indonesia memerlukan biaya yang tidak sedikit dan cukup membebani SMEs. Karena itu, upaya untuk patuh terhadap persyaratan yang diatur dalam lisensi perlu diapresiasi. “Penting bagi UE untuk memastikan fairness bagi produk kayu Indonesia yang memiliki lisensi FLEGT. Karena ada beberapa importir UE lebih memilih produk kayu dengan harga murah dan tidak menguji asal-muasalnya.
Hambatan lain masih adanya penafsiran dan praktek penegakan hukum yang berbeda antara negara anggota UE dalam implementasi regulasi kayu UE (European Union Timber Regulation/ EUTR). Praktek penegakan hukum yang berbeda ini dimanfaatkan penyelundup. Oleh karena itu, penegakan hukum terkait regulasi kayu UE harus lebih diperkuat, ujar Dubes Yuri.
Ia menegaskan kembali komitmen kuat Indonesia memerangi perdagangan kayu ilegal dan kerja sama dengan UE, Diharapkannya dimasa datang , kerja sama ini dapat ditingkatkan lebih baik lagi dan berharap importir UE tidak lagi membeli kayu yang ilegal dari negara-negara yang belum melakukan kerja sama FLEGT.
Kerja sama Indonesia dan Uni Eropa terkait FLEGT disepakati pada tahun 2014 (ratifikasi) dan 15 November 2016, dikeluarkan sertifikasi pertama. Berdasarkan data Interpol, perdagangan kayu ilegal setiap tahunnya mencapai USD 51 milyar hingga USD 152 milyar.
Perdagangan kayu ilegal merupakan kriminalitas lingkungan tertinggi (No 1) di antara kriminalitas-kriminalitas lainnya dalam kategori kejahatan terhadap lingkungan hidup.(ZG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar