Sabtu, 08 Maret 2008

DEKADE REFORMASI

SARASEHAN SATU DEKADE REFORMASI INDONESIA DIGELAR DI LONDON


London, 7/3 (ANTARA) - Sarasehan Satu Dekade Reformasi di Indonesia dengan menampilkan para tokoh seperti Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. Dien Syamsuddin, Ketua PBNU, Prof. Dr. Masykuri Abdillah, Prof. Dr. Dewi Fortuna Anwar dari LIPI, Dr. Rizal Sukma dan Dr. Clara Yuwono dari CSIS digelar di KBRI London, Inggris.


Sarasehan diselenggarakan panitia bersama Pimpinan Cabang Istimewa (PCI) Muhammadiyah UK (Inggris Raya), PCI Nahdlatul Ulama UK, Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) UK dan didukung KBRI London, dalam rangka memperingati sepuluh tahun perjalanan reformasi di Indonesia serta diikuti 60 peserta , Kamis malam (6/3), demikian keterangan sekretaris panitia M Izzul Haq kepada ANTARA London,Jumat.


Atase Pendidikan dan Kebudayaan (Atdikbud) KBRI London, Riza Sihbudi membuka sarasehan yang diakses secara streaming online itu serta diikuti peserta dari Indonesia, Jerman, Belanda, AS, Libya dan Pakistan.


Para intelektual dan tokoh masyarakat Indonesia dengan beragam latar belakang, berada di London setelah sebelumnya menghadiri konperensi tiga hari bertajuk "Indonesia, Politik dan Prospek Ekonomi" yang digelar kementerian Luar Negeri Inggris bekerjasama dengan British Council Jakarta di Wilton Park, Steyning, West Sussex, dua jam dari kota London.


James Lapian, wartawan BBC London yang menjadi moderator mengawal sarasehan dengan mengajukan pertanyaan pembuka kepada semua pembicara "Apakah demokrasi akan membawa kesejahteraan ?"

"Bukan demokrasi yang kita pertanyakan, tetapi implementasinya apakah efektif dan produktif untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat," demikian jawab Dewi Fortuna Anwar.


Sementara itu Rizal Sukma tidak sepakat dengan pandangan bahwa demokrasi mempersulit proses pencapaian kesejahteraan, justru hal itu semakin positif karena warga bisa mengontrol perilaku aktor-aktor negara.


Sementara itu, Dien Syamsuddin menengarai adanya pemahaman dan penghayatan akan kebebasan yang kebablasan sehingga menyulitkan kontrol sosial, dengan peringatan 10 tahun reformasi menjadi momentum untuk melakukan introspeksi.


Adapun Ketua PBNU,Masykuri Abdillah lebih menyoroti perilaku berpolitik yang tidak berkualitas dan ketiadaan etika politik.


"Yang lebih dominan adalah 'how to get power' , bukan 'how to use power' ", demikian papar guru besar UIN Jakarta tersebut. Rendahnya tingkat ekonomi dan pendidikan makin memperparah situasi dengan munculnya tren money politic dan kontrol yang ada pun menjadi tidak efektif.


Menyoal Demokrasi

Terkait pembahasan demokrasi yang bagaimana yang dijalankan di Indonesia, Dien Syamsuddin setuju untuk tidak memundurkan arah jarum jam.


"Disinilah perlunya demokrasi yang berwajah etis dan menjunjung pluralitas. Islam juga menganjurkan HAM disandingkan dengan tanggung jawab asasi," kata dia.


Menjawab pertanyaan Arif Nur Kholis dari Jogja perihal praktek demokrasi di Indonesia yang akan memengaruhi proses serupa di negara tetangga, seperti Malaysia atau Singapura, Dr Clara Yuwono menunjukkan keraguannya.


Dikatakan, terdapat dua pandangan yang berkembang yaitu kecil kemungkinan munculnya "people power" di negara-negara tetanga tersebut karena faktor kuatnya negara dan tingkat kemakmuran penduduknya, ditambah kultur demokrasi yang tidak berkembang.


Singapura sudah terbiasa dengan stabilitas, namun tidak dipungkiri juga bahwa sistem yang tidak demokratis suatu saat akan retak juga dan kisah demokratisasi di Indonesia bisa menjadi inspirasi bagi mereka.


Rizal Sukma menyebutkan untuk Singapura dampak yang diciptakan tidak akan besar karena kuatnya negara dan kecilnya jumlah penduduk ditambah keyakinan yang berkembang bahwa negara yang akan mengantarkan kesejahteraan.


Adapun bagi Malaysia, reformasi di Indonesia memberikan inspirasi buat pergerakan serupa oleh Anwar Ibrahim sekaligus menjadi instrumen dalam pertarungan politik internal Malaysia.


Dewi Fortuna Anwar meliat adanya kontradiksi yaitu dengan melihat kondisi sekarang, ada kecenderungan "civil society" makin maju namun "uncivilised society" juga makin vibrant. Ini jelas menjadi penghambat demokrasi karena tidak ada tempat buat anarki dalam demokrasi.


Peneliti senior di LIPI ini juga berpesan kepada pelajar Indonesia di luar negeri untuk juga membangun Indonesia dari luar. Hal senada disampaikan pula oleh Dien Syamsuddin "Membangun Indonesia tidak harus from within dari dalam namun juga bisa from without atau dari luar".



Agama Dorong Demokrasi

Mengurai peran agama, dalam hal ini Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia, Dien memaparkan pentingnya peran agama dalam mendorong demokrasi berwajah etis akan mendorong kesejahteraan sosial.


Ia juga melihat bahwa dalam sisi lain kebebasan yang ada kemudian membuat sendi-sendi moral menjadi runtuh. "Adanya radikalisme dan kekerasan adalah menu mewah dari kebebasan" demikian kata Dien.

Di akhir sarasehan, muncul pertanyaan dari Masturi di Islamabad, Pakistan seputar peran kedua ormas, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah kaitannya dengan mengawal reformasi agar tidak sampai kebablasan.


Inilah waktunya untuk review perjalanan Indonesia," ujar Ketua Umum PP Muhammadiyah tersebut. Sementara itu Ketua PBNU, Masykuri Abdillah menambahkan bahwa sebagai "interest group", dan bukan "pressure group", organisasi kemasyarakatan seperti NU bisa mengawasi dan mengontrol terhadap anggotanya".


Sarasehan diakhiri dengan penyerahan kenang-kenangan kepada pembicara yang diserahkan Kuasa Usaha AdInterim KBRI London, Dewa Made J. Sastrawan dan dilanjutkan dengan santap malam bersama serta ramah tamah para pembicara dengan masyarakat dan pelajar Indonesia di UK. (U-ZG)Y006/C/Y006) 08-03-2008 03:49:56

Tidak ada komentar: