London, 3/3 (ANTARA) - Lembaga Pangan PBB, FAO menilai Indonesia berhasil merespon isu kerawanan pangan (vulnerable country) yang dalam sidangnya di Roma, manambahkan satu criteria lain untuk mengukur tingkat kerentanan suatu negara, yaitu indikator kerawanan pangan.
Berdasarkan data yang dimiliki FAO lebih dari 20 persen negara-negara berkembang yang sebagian besar berada di wilayah Afrika, dan menghadapi biaya yang sangat tinggi untuk pangan dan bahan bakar, kata Yusni Emilia Harahap, Staf Ahli Menteri Pertanian, Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Kerjasama Luar Negeri dalam keterangannya kepada ANTARA London, Senin.
Dalam forum Rountable Discussion yang bertema "Growing Demand on Agricultura and Rising Prices Commodity", yang difasilitasi IFAD dan FAO di Roma, kata Yusni, suatu negara dapat dikatakan rawan pangan jika lebih dari 30% penduduknya mengalami kekurangan
gizi.
Dikatakannya Forum ini diminati banyak delegasi termasuk Delegasi Indonesia yang diwakili oleh Staf Ahli Menteri Pertanian Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Kerjasama Luar negeri.
FAO dalam forum tersebut menampilkan data tentang 22 negara yang dikategorikan sebagai Negara yang rentan (Vulnerable Countries) terdiri dari 18 negara dari kawasan Afrika dan empat negara dari Asia yaitu Bangladesh, Korea Utara, Kamboja dan Laos.
Sementara itu, ujarnya Indonesia termasuk dalam sejumlah negara yang dikategorikan cepat merespon melalui kebijakan pemerintah terhadap issue terkait yang diantaranya Brazil, India, China dan Mexico.
Menurut Yusni, dalam hal kebijakan Pemerintah Indonesia, disamping penurunan tarif terhadap komoditi pangan impor (kedele dan gandum), yang terpenting adalah berbagai upaya yang dioptimalkan untuk peningkatan produktivitas tanaman pangan di dalam negeri dan penganekaragaman pangan.
Sementara itu, Yusni mengakui bahwa telah tejadi peningkatan yang cukup besar pada biaya global untuk produk pangan impor, yang diperkirakan mencapai 745 miliar dolar pada tahun 2007.
Negara-negara berkembang secara keseluruhan tiap tahun mengalami peningkatan sebesar 25 persen untuk biaya impor produk pangan mereka. Dalam kelompok ini, negara-negara yang secara ekonomi sangat rentan akan menanggung beban yang paling berat untuk biaya impor pangan.
Munculnya pasar bio-fuel, ujarnya merupakan sumber permintaan baru dan cukup signifikan untuk beberapa komoditas pertanian seperti gula, jagung, singkong, dan sawit.
Komoditas-komoditas tersebut, yang selama ini digunakan sebagai bahan pangan, sekarang berkembang menjadi bahan baku untuk menghasilkan bio-fuel.
Peningkatan signifikan yang terjadi pada harga-harga pangan dan bahan bakar membawa dampak negatif terhadap perolehan devisa, pendapatan, dan kesejahteraan di banyak negara yang masuk dalam kategori rentan, demikian Yusni Emilia Harahap. (U-ZG) (T.H-ZG/B/S006/B/S006) 03-03-2008 19:17:15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar