Kamis, 02 Desember 2010

RUU OJK

DPR TIDAK TERGESA-GESA LOLOSKAN RUU OJK

London, 2/12 (ANTARA) - Kepala Perwakilan Bank Indonesia London yang juga mantan ketua Ikatan Pegawai Bank Indonesia Dr Dian Ediana Rae, berharap agar DPR tidak tergesa-gesa dalam meloloskan RUU mengenai Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjadi undang-undang.

"Meskipun demikian, kami menyerahkan kepada pemerintah dan DPR yang memiliki hak inisiatif dalam membuat undang-undang mengenai apa yang terbaik bagi bangsa dan negara terkait sistem keuangan Indonesia ke depan," ujarnya dalam wawancara dengan koresponden ANTARA London, Rabu.

Agar terhindar dari kesalahan serupa ketika Inggris membentuk OJK lebih dari satu dasawarsa lalu, ia berharap agar debat publik dan adu argumen mengenai pembentukan OJK ini terus dilakukan dan dijadikan pertimbangan untuk mencari disain pengawasan sistem keuangan yang tepat dan sesuai dengan karakter Indonesia.

Sementara itu pengamat masalah ekonomi dan keuangan, Dr Muslimin Anwar dalam keterangannya secara terpisah kepada ANTARA London menyayangkan rencana pengalihan fungsi pengawasan bank dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan di tanah air.

Hal ini mengingat negara yang menjadi rujukan untuk membentuk OJK pada tahun 1999 itu justru kini mengembalikan fungsi pengawasannya ke Bank Sentral, ujar Muslimin.

Menurut doktor ekonomi lulusan Brunel University West London itu, hasil survei IMF antara bulan Februari dan April 2007 terhadap 103 negara di dunia yang mewakili sekitar 91 persen total PDB dunia, menunjukkan mayoritas negara responden memberikan kewenangan melaksanakan fungsi pengawasan perbankan kepada bank sentralnya.

Bahkan menurutnya, semenjak krisis keuangan global tahun 2008 menimbulkan kegagalan perbankan dunia, semakin banyak negara mempertimbangkan mengembalikan peranan bank sentral dalam menjaga stabilitas sistem keuangan.

Pengalaman empiris di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Korea Selatan dan Prancis, menunjukan bahwa kegagalan bank ditengarai dipicu oleh lemahnya fungsi macroprudential dan kurangnya koordinasi antarotoritas di sektor jasa keuangan.

Kedua hal ini telah menyebabkan bank sentral terlambat merespons situasi krisis yang memerlukan penanganan segera dalam perannya sebagai lender of last resort (LOLR). Pada akhirnya, biaya penyelamatan sektor keuangan menjadi lebih besar dari yang seharusnya.

Bila OJK tetap harus dibentuk dikarenakan amanat UU, Muslimin berharap agar DPR dapat menjelaskan bentuk dan format pengawasan bank nantinya akan sama dengan yang dilakukan Bank Indonesia atau akan jauh lebih maju lagi, sehingga apapun bentuk krisis keuangan di kemudian hari maka sistem perbankan nasional tetap kuat tidak tergoyahkan dan dijamin tidak akan ada lagi bank yang gagal.

Ia berharap pemerintah dan DPR untuk lebih mengedepankan apa yang seharusnya dan paling baik bagi sektor jasa keuangan di Indonesia dalam jangka menengah panjang, ketimbang kepentingan politik sesaat.

Justru perlu dirumuskan saat ini adalah bagaimana sesungguhnya gambaran besar dan jangka panjang dari cetak biru arsitektur sistem keuangan Indonesia yang komprehensif sehingga terhindar dari kegiatan tambal sulam bahkan "trial and error" dalam merespon setiap krisis yang biayanya tentu tidaklah murah, demikian Muslimin Anwar. ***2*** (ZG)
(T.H-ZG/B/P004/P004) 02-12-2010 07:57:04

Tidak ada komentar: