AMNESTY INTERNASIONAL
PRIHATIN NASIB RIBUAN TKW HONGKONG
London, 22/11
(Antara) - Amnesty International prihatin terhadap nasib ribuan
tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia yang diperdagangkan ke Hongkong
menghadapi resiko kondisi seperti perbudakan sebagai pekerja rumah
tangga, dengan kedua pemerintah gagal melindungi mereka dari
pelecehan dan eksploitasi yang terjadi secara meluas.
Sebuah laporan
terbaru berjudul, Dieksploitasi demi keuntungan, diabaikan oleh kedua
Pemerintah, (Exploited for Profit, Failed by Governments), yang
diterima ANTARA London, Jumat menjelaskan bagaimana agen perekrutan
Indonesia dan agen penempatan di Hong Kong memperdagangkan perempuan
Indonesia untuk eksploitasi dan kerja paksa.
Tindakan pelecehan
tersebut termasuk hambatan atas kebebasan bergerak, kekerasan fisik
dan seksual, kurangnya makanan, dan jam kerja yang berlebihan dan
eksploitatif.
"Sejak
perempuan tersebut ditipu untuk membuat tanda tangan untuk bekerja di
Hong Kong, mereka terjebak dalam lingkaran eksploitasi dengan
kasus-kasus yang masuk kategori perbudakan moderen," kata Norma
Kang Muico, Peneliti Hak-Hak Migran Asia Pasifik di Amnesty
International.
Temuannya
berdasarkan pada wawancara mendalam dengan 97 pekerja rumah tangga
Indonesia dan didukung oleh survei atas hampir 1000 perempuan oleh
Serikat Buruh Migran Indonesia (Indonesian Migrant Workers Union).
Ada lebih dari
300.000 pekerja rumah tangga migran di Hongkong, dengan setengahnya
dari Indonesia dan hampir seluruhnya perempuan. Tergiur dengan janji
pekerjaan dengan upah bagus, kenyataannya bagi para perempuan
tersebut sangatlah berbeda.
Satu perempuan
menceritakan pada Amnesty International, bagaimana ia dipukuli oleh
majikannya: "Ia menendang saya dari belakang dan menyeret saya
melalui baju ke kamarku. Setelah mengunci pintu, ia memukul dan
meninju saya. Ia mendorong saya ke lantai dan menendang beberapa
kali. Saya lebam dan memar sekujur tubuh- wajah, lengan dan kaki
saya. Mulut dan dahi saya berdarah."
Kegagalan
sistematis oleh kedua pemerintah baik Hongkong dan Indonesia dalam
melindungi pekerja rumah tangga migran dari eksploitasi disoroti
dalam laporan ini. Beberapa tindakan pihak berwenang tersebut bahkan
memperbesar risiko kesewenang-wenangan.
"Tidak
ada alasan yang bisa diterima sehingga pemerintah Hongkong dan
Indonesia menutup matanya atas perdagangan ribuan perempuan rentan
tersebut untuk kerja paksa. Pihak berwenang dapat merujuk pada
sejumlah peraturan nasional yang seharusnya melindungi perempuan
tersebut namun peraturan tersebut jarang ditegakkan," ujar
Muico.
Di Indonesia,
calon pekerja rumah tangga migran diwajibkan mengikuti proses melalui
agen perekrutan yang terdaftar oleh pemerintah termasuk mengikuti
pelatihan sebelum pemberangkatan.
Agensi
tersebut, dan perantara yang bekerja untuk mereka, secara rutin
menipu para perempuan terkait upah dan biaya, menyita dokumen-dokumen
identitas dan properti sebagai jaminan, dan membebankan biaya yang
melebihi yang diperkenankan oleh hukum. Biaya penuh diterapkan sejak
mereka mengikuti pelatihan, menjebak para perempuan dengan hutang
yang besar bila mereka mengundurkan diri.
Lestari, 29 thn,
menuturkan ketika ia pertama kali tiba di pusat pelatihan kerja:
"Saya terkejut. Tempatnya dikelilingi pagar tinggi dan semua
perempuan harus memangkas pendek rambutnya. Saya diberikan secarik
kertas dengan tulisan Berbahasa Inggris. Yang bisa saya baca hanya
angka 27 Juta. Staf-nya mengatakan pada saya, Kamu harus tandatangani
ini.¿ Ada sekitar 30 dari kami; kami melakukan apa yang diminta.
Setelahnya, mereka berkata. Apa yang kamu tandatangani ini berarti
jika kamu memutuskan untuk pergi, maka kamu harus bayar 27 Juta
Rupiah (US$ 2700)."
Perempuan dari
beberapa pusat pelatihan kerja juga melaporkan telah dipaksa
melakukan injeksi kontrasepsi. Banyak perempuan mengatakan staf pusat
pelatihan sering mencela, menganiaya, dan mengancam mereka dengan
pembatalan aplikasi pekerjaan mereka. Kebanyakan besar dari mereka
tidak bisa meninggalkan lokasi pusat pelatihan kerja secara bebas.
Laporan
tersebut juga mengungkap bahwa agen perekrutan secara rutin gagal
memberikan para buruh migran dokumen-dokumen legal yang diperlukan
termasuk kontrak, asuransi wajib dan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri
(KTKLN) yang melemahkan upaya dan sarana untuk menuntut ganti rugi.
Ketika seorang
pekerja rumah tangga migran tiba di Hong Kong, mereka dikontrol
secara ketat oleh agen penempatan lokal dan sering oleh pemberi kerja
mereka.
Mayoritas
perempuan yang diwawancara oleh Amnesty International mendapati
dokumen mereka disita oleh majikan atau agen penempatan mereka di
Hong Kong. Sekitar sepertiga tidak diperkenankan meninggalkan rumah
majikannya.
Amnesty
International menemukan bahwa mereka yang diwawancara bekerja
rata-rata 17 jam per hari; banyak responden yang tidak menerima Upah
Minimum yang Diperkenankan (Minimum Allowable Wage) berdasarkan
Undang-Undang, dilarang mempraktikan kepercayaan mereka, dan tidak
mendapatkan hari libur mingguan.
Para perempuan
terjebak dalam lingkaran kerja paksa dengan hutang yang besar untuk
menutupi biaya perekrutan yang tidak jelas dan berlebihan.
Agen
perekrutan di Indonesia dan agen penempatan di Hong Kong berkolusi
dalam memperdayai batasan-batasan legal dalam membebani para pekerja
rumah tangga migran. Amnesty International menemukan hampir semua
perempuan dibebani biaya jauh di atas batas yang diperkenankan oleh
hukum.
Agensi tersebut
memperdaya hukum dengan mengumpulkan biaya yang berlebihan melalui
skema pihak ketiga, termasuk melalui perusahaan-perusahaan keuangan.
Terlepas hal
ini, Komisioner Ketenagakerjaan Hong Kong hanya mencabut izin dua
agen penempatan pada tahun 2012 dan hanya satu pada empat bulan
pertama tahun 2013.
Agen
perekrutan dan penempatan secara terang-terangan melanggar hukum yang
didesain untuk melindungi pekerja rumah tangga migran dari
kesewenang-wenangan. Hampir tiadanya tindakan oleh pihak berwenang
Hong Kong dan Indonesia berarti para perempuan tersebut terus
dieksploitasi demi keuntungan, ungkap Muico.
Terjebak dan dilecehkan
Ketika di Hong
Kong, ketakutan terjebak dalam hutang yang makin dalam melalui
pembebanan ulang biaya perekrutan dalam mendapatkan pemberi kerja
baru mengakibatkan banyak perempuan terjebak dengan pemberi kerja
yang melecehkan.
Dua pertiga
pekerja rumah tangga migran yang diwawancara Amnesty International
mengaku menjadi korban penganiayaan fisik dan psikologis. Persyaratan
yang mewajibkan pekerja rumah tangga tinggal serumah dengan pemberi
kerja mereka, meningkatkan isolasi mereka, dan menempatkan mereka
dalam resiko pelecahan yang lebih jauh.
Satu perempuan
menyatakan bagaimana ¿Sang istri secara fisik menganiayaku secara
rutin. Pernah sekali ia memerintahkan kedua anjingnya untuk mengigit
saya. Ada sepuluh bekas gigitan di badanku, yang merobek kulit
sehingga berdarah. Ia merekamnya di telepon genggamnya, dan ia terus
menonton ulang sembari tertawa.¿
Para perempuan
mengatakan pada Amnesty International bahwa kontrak mereka bisa
diputus bila mereka mengeluh soal perlakuan yang dialami, atau jika
agen penempatan memanipulasi situasi demi mendapatkan biaya
perekrutan baru.
Pembayaran yang
rendah adalah masalah yang meluas. Namun dalam periode dua tahun
hingga Mei 2012, hanya 342 kasus pembayaran yang rendah yang diajukan
dari total populasi lebih dari 300.000 pekerja rumah tangga migran di
Hong Kong.
"Kita perlu
melihat hukum yang ada ditegakkan dan orang mendapatkan keadilan
untuk eksploitasi. Hanya saat itulah kita dapat melihat pengakhiran
kerja paksa dari Indonesia ke Hong Kong," kata Muico.
Hukum Hong Kong
menyatakan pekerja rumah tangga migran harus mendapatkan pemberi
kerja baru dan mendapatkan visa kerja baru dalam jangka waktu dua
minggu setelah berakhirnya kontrak mereka, atau mereka harus
meninggalkan Hong Kong.
Hal ini
menekan pekerja untuk bertahan dalam situasi yang melecehkan karena
mereka tahu jika mereka meninggalkan pekerjaan mereka, sulit baginya
untuk mendapatkan pekerjaan baru dalam dua minggu sehingga mereka
harus meninggalkan negeri itu. Bagi kebanyakan orang hal ini membuat
mustahil mereka dalam membayar biaya perekrutan atau untuk menyokong
keluarga mereka.
"Keseluruhan
sistem merugikan pekerja rumah tangga migran. Jika Pemerintah Hong
Kong serius dalam melindungi perempuan tersebut, mereka akan
menghapus Peraturan Dua Minggu dan Kewajiban Tinggal Serumah yang
menempatkan para perempuan dalam risiko pelecehan yang lebih besar,"
ungkap Muico.
Kedua
Pemerintah, Indonesia dan Hong Kong, perlu menunjukkan komitmen
sejati untuk mengatasi pelanggaran Hak Asasi Manusia dan hak pekerja
yang terungkap dalam laporan ini.
PRIHATIN
Amnesty International menyerukan kepada kedua pemerintah untuk
secepatnya meratifikasi dan menerapkan Konvensi Pekerja Rumah Tangga
dari Organisasi Buruh Internasional (ILO). (ZG)
(T.H-ZG/B/A.
Lazuardi/A. Lazuardi) 22-11-2013 19:03:12