Oleh Zeynita Gibbons
Colchester, 5/3 (Antara) - Sosiolog dari Essex University, UK, Dr Hakimul Ikhwan, menilai dunia Barat tentang Islam dan demokrasi yang tidak dapat berjalan dengan selaras itu tidak sepenuhnya benar.
"Fakta di lapangan mematahkan anggapan sebagian besar sosialis di dunia Barat bahwa Islam ataupun negara dengan mayoritas penduduk Muslim tidak dapat menyelaraskan sendi-sendi Islam dengan demokrasi," ujarnya dalam diskusi oleh PPI Essex UK di kampus Essex University, Rabu waktu setempat.
Sebagaimana dikutip Sekretaris PPI Essex, Hasna A Fadhillah, dosen Universitas Gajah Mada Yogyakarta itu mengemukakan hal itu terkait studi doktoralnya yang menyoroti Islam dan Demokrasi di Indonesia dengan riset pada masyarakat Cianjur.
Ia memilih Cianjur melalui beberapa pertimbangan, diantaranya Cianjur merupakan salah satu daerah di Indonesia yang menerapkan perda berbasis syariah, di Cianjur juga memiliki catatan historis terkait gerakan radikal Islam yang tumbuh subur hingga tahun 2000.
Titik fokus dari riset, ungkap pria Bengkulu itu, adalah untuk menjawab pertanyaan bagaimana nilai-nilai Islam berdampingan dengan dinamika politik Indonesia yang sejak akhir tahun 1998 memutuskan untuk menganut demokrasi.
Selain itu, Indonesia yang dinyatakan sebagai satu-satunya negara di Asia Tenggara yang menganut "pure democracy" oleh The Freedom House itu juga memiliki sisi gelap akan gerakan radikal yang menindas kelompok minoritas, seperti Ahmadiyah.
Tentu, dari kedua hal yang bertolak belakang tersebut, memahami bagaimana akhirnya nilai-nilai Islam dapat berdamai dengan prinsip demokrasi adalah suatu hal yang menarik, namun tidak banyak dikupas oleh para sosiolog.
Dari landasan tersebut, pengajar yang berdomisili di di Yogyakarta ini memutuskan untuk meneliti proses "rekonsiliasi" antara demokrasi dan Islam di wilayah tersebut.
Dosen sosiologi yang biasa disapa Hakim itu menceritakan ia harus menetap di Cianjur selama enam bulan untuk melakukan observasi terkait bagaimana nilai-nilai Islam diterapkan di dalam peraturan daerah Cianjur.
Dalam rentang waktu itu, ia telah mewawancarai 58 responden dari berbagai kalangan masyarakat bawah hingga pejabat teras di daerah agraris ini.
Setelah bertemu dengan beragam informan, Hakim berpendapat proses penerapan nilai-nilai islam di Cianjur, meski di awal tidak memiliki hambatan, rupanya setelah demokrasi diterapkan akhirnya ada beberapa hambatan yang dialami.
Misalnya, ketidaksiapan gerakan dan partai Islam dalam menghadapi politik pilkada langsung yang menyebabkan partai-partai Islam kalah suara pada tahun pertama penyelenggaraan pilkada langsung.
Walau pergerakan para ajengan (sebutan ulama di Cianjur) dan organisasi Islam mengalami gejolak peradaban, namun tidak menyurutkan semangat dan antusiasme gerakan-gerakan Islam di Cianjur untuk mendukung tegaknya hukum syariah di bumi Siliwangi.
Terbukti sempat melemah hingga tahun 2006, selanjutnya dalam jangka waktu berikutnya, para cendekiawan Islam di bumi Cianjur akhirnya dapat bernapas lega, setelah usulan perda zakat diloloskan DPRD dan kini telah diterapkan secara luas di salah satu daerah di Jawa Barat tersebut.
Keberhasilan penetrasi Islam dalam kerangka demokrasi ini, menurut Hakim, menunjukkan bahwa perda syariah dapat bersanding dengan nilai-nilai demokrasi yang diterapkan di Indonesia.
"Fakta di lapangan itu sekaligus mematahkan anggapan sebagian besar sosialis di dunia barat bahwa Islam ataupun negara dengan mayoritas penduduk muslim tidak dapat menyelaraskan sendi-sendi Islam dengan demokrasi," demikian Hakimul Ikhwan. ***2*** (ZG)
(T.H-ZG/B/E.M. Yacub/E.M. Yacub) 05-03-2015 07:09:00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar