BSNP: STANDAR PENDIDIKAN INDONESIA MASIH ADA GAB
Oleh Zeynita Gibbons
Colchester 22/9 (Antara) - Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) menilai standar pendidikan di Indonesia masih memiliki gap lebar antara peraturan dan implementasi.
Pendapat itu disampaikan oleh anggota BSNP dr. Rr. Titi Savitri Prihatiningsih, Ph.D. dalam diskusi yang digelar Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Essex, Colchester, Inggris, kata Sekretaris PPI Essex Hasna Azmi Fadhilah kepada Antara London, Selasa.
Ia menjelaskan bahwa kehadiran Titi Savitri Prihatiningsih di Inggris dalam rangka mengikuti seminar dan kunjungan kerja ke beberapa universitas.
Dalam diskusi itu, Titi mengatakan bahwa Indonesia sebenarnya sudah memiliki aturan baku, bahkan regulasi yang dirancang relatif sangat mendetail. Akan tetapi, kenyataan di lapangan aturan tersebut hanya menjadi formalitas belaka.
Standar pendidikan nasional yang awalnya dirancang para pakar pendidikan dan pemangku kepentingan, kata anggota BSNP yang juga dosen di UGM itu, sering kali menemukan ganjalan saat akan diterapkan menjadi peraturan.
Menurut dia, hal itu dikarenakan ketika aturan diterbitkan, BSNP tidak memiliki kekuatan penuh untuk mempertahankan konteksnya sehingga antara rancangan dan isi regulasi dapat berubah haluan. Hal ini disebabkan perbedaan sudut pandang antara staf Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan BSNP.
Dengan lemahnya posisi runding BSNP tersebut, kata Titi, standar yang diinginkan para pemerhati pendidikan dan aktor pendidik hingga kini terus-menerus terbentur kepentingan politik.
Lulusan University of Dundee, Skotlandia, itu lantas menyebutkan salah satu aturan mengenai standar nasional perguruan tinggi yang tercermin dalam Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 49/2014.
Ia menilai beberapa poin dalam regulasi tersebut terlalu tinggi dalam menerapkan standar pendidikan, terutama periode pendidikan yang dibatasi selama 5 tahun. Selain itu, juga syarat publikasi jurnal bagi sarjana S-1, S-2, dan S-3.
Menurut Titi, banyak pakar menilai standar tersebut kurang memperhatikan kesenjangan kualitas peserta didik di perguruan tinggi negeri dan swasta serta hanya bertumpu mengejar ketertinggalan kualitas peserta didik di Indonesia dengan negara tetangga.
Kendati demikian, kata dia, tujuan standar tinggi itu adalah murni untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Namun, ketika di lapangan standar tersebut malah membebani pelajar dan komunitas akademika, penerapan regulasi tersebut tentu menjadi tidak relevan.
Kesulitan menerapkan standar baku pendidikan bertambah ketika tidak ada lagi panduan baku jangka panjang yang menjadi acuan seperti layaknya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) pada zaman orde baru.
Meski kini ada sistem perencanaan pembangunan nasional sebagai pengganti GBHN, hal ini dinilai kurang diperhatikan para penyelenggara pendidikan, terlebih di tingkat daerah yang politisasi dunia pendidikan lebih mudah dilakukan pejabat terkait.
Politisasi tersebut, kata dia, terlihat nyata ketika dilaksanakannya ujian nasional. Lebih dari 60 persen siswa di Indonesia tidak berlaku jujur saat ujian nasional dan hal ini terindikasi dari pemeriksaan lembar jawaban yang memiliki pola yang hampir sama di tiap sekolah.
Melihat kenyataan itu, tentunya akan lebih sulit untuk pemerhati pendidikan, guru, dan juga jajaran dosen untuk mengembangkan dan menuangkan gagasannya dalam standar nasional pendidikan karena BSNP berada di bawah Kemendikbud sehingga apa pun yang dirancang para pendidik ke depan akan terbentur jalur politik untuk diimplementasikan di lapangan.
Terkait dengan hal ini, para pelajar dan komunitas akademia dari PPI Essex berharap BSNP berada di jalur independen dan harus memiliki kekuatan runding yang lebih baik dalam mengusulkan rancangan peraturan yang nantinya dijadikan standar pendidikan di level nasional.
Arief Setyanto, Ph.D. student di Essex University dari jurusan computer science mengusulkan akan lebih baik bila BSNP memiliki payung hukum sendiri, seperti KPK, sehingga apa pun standar dan rancangan aturan yang dikelurakan BSNP tidak akan dipolitisasi oleh para elite dan kelak akan lebih mudah diterapkan oleh pakar bila hal tersebut dilengkapi dengan uji publik.
Ia berharap BSNP lebih bersikap terbuka terhadap masukan dari kalangan masyarakat agar nantinya standar yang diterapkan merupakan aspirasi dari berbagai kalangan yang tercermin dari kenyataan pendidikan di dunia nyata.
***4***D.Dj. Kliwantoro
(T.H-ZG/C/D. Kliwantoro/D. Kliwantoro) 22-09-2015 11:38:34
ESSE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar