Sabtu, 12 Oktober 2019

Museum





Koleksi topeng dan wayang dari Jawa yang dikumpulkan Sir Stamford Raffles , pejabat Letnan-Gubernur di Jawa selama tahun 1811-1816 dipamerkan di lantai 4 gedung British Museum berlangsung dari tanggal 19 September hingga 12 Januari 2020 mendatang. (Zeynita Gibbons)
      British Museum London menghadirkan beragam benda dari Jawa dan Sumatra yang dikumpulkan oleh Sir Stamford Raffles (1781–1826), pejabat kolonial Inggris yang mendirikan Singapura modern dan menjadi tokoh kontroversial  sebagai seorang imperialis yang berkomitmen dan reformis progresif selama beberapa dekade.

    Pameran koleksi Sir Thomas Stamford Raffles mulai dari wayang dan topeng teater hingga alat musik dan patung, mengeksplorasi masyarakat Jawa abad ke-19 dan tradisi Hindu-Buddha, didukung oleh Kedutaan Singapura di London, Inggris.

       Tercatat sekitar 2.000 jenis benda yang berhubungan dengan Raffles hampir 1500 jenis berasal dari Jawa, Indonesia dikumpulkan saat menjadi Letnan-Gubernur  di Jawa selama tahun 1811-1816 itu dipamerkan di lantai 4 gedung British Museum yang ramai dikunjungi wisatawan mancanegara berlangsung dari tanggal 19 September hingga  12 Januari 2020 mendatang.

     Mengawali pameran koleksi Raffles di musim gugur yang dikuratori Dr Alexandra Green diadakan pementasan wayang kulit dengan lakon Brubuh Alengka, cuplikan dari Serat Ramayana dengan dalang Ki Sujarwo Joko Prehatin diiringi gamelan Southbank berhasil menarik perhatian lebih dari 200 penonton yang sebagian besar warga asing yang memenuhi gedung British Museum bahkan ada yang rela berdiri.

     Berbagai Topeng yang dikoleksi Raffles diantaranya topeng yang disebutnya topeng Raden Andaga yang terbuat dari kayu dan emas, topeng Dewi Bikang Mardeya dari kayu dan emas, Topeng monyet dari kayu dan emas, Topeng Setan Denawa Kecubung dari kayu dan emas, yang kesemuanya dibuat diawal  tahun 1800-an.

     Selain kolekasi berbagai benda-benda seni serta kain Batik, Raffles juga membuat buku yang diberinya judul History of Java yang diterbitkan pada  1817. 

     Buku yang ditulis oleh Sir Thomas Stamford Raffles, menjelaskan sejarah pulau Jawa dari zaman kuno Itu dicetak ulang dari master digital Cambridge University Press pada 2010.

       British Museum mengadakan pameran tentang Raffles dimaksudkan untuk  menyelidiki bagaimana dan mengapa ia mengumpulkan koleksinya dan menyentuh penelitian yang sedang berlangsung di Museum, yang bertujuan untuk menjelaskan lebih banyak tentang pengumpulan dan kolonialisme di bagian dunia ini.

      Sebagian besar koleksi dan dokumen resmi dan pribadi Sumatra milik Raffles hilang ketika kapalnya tenggelam tidak lama dalam perjalanan pulang ke Inggris pada tahun 1824 dan tidak ada yang pernah tahu pasti bagaimana benda-benda itu diperoleh.

      Meskipun tidak banyak yang diketahui tentang praktik pengumpulannya di Sumatra karena hal ini, benda-benda yang dipamerkan di British Museum memberikan catatan penting tentang seni dan budaya istana Jawa dari abad ke-7 hingga awal abad ke-19

      Dr Alexandra Green adalah Kurator Henry Ginsburg untuk Asia Tenggara di British Museum meraih gelar PhD tentang subjek lukisan dinding Burma abad ke-18 dari School of Oriental and African Studies, University of London. Dia baru-baru ini merancang  pameran berjudul Pilgrims, Healer, dan Wizards: Buddhism and Practices Practices in Burma and Thailand (2014) di British Museum.

      Pameran yang mengeksplorasi koleksi-koleksi Sir Stamford Raffles dari Jawa dan Sumatra yang tiba di British Museum antara tahun 1859 dan 1939. Pertunjukan tersebut menginterpretasikan bentuk koleksi dalam hubungannya dengan publikasi Raffles, mengungkapkan minatnya untuk menjadi orang Eropa. Sementara tujuan di balik koleksi Raffles terkait dengan konsep Pencerahan, objek itu sendiri memberikan sekilas hubungan antara penjajah dan penduduk setempat.

    Fitur gaya dan kondisi yang tidak digunakan dari topeng ini menunjukkan bahwa itu mungkin hadiah atau dibeli Raffles, daripada diambil secara paksa atau diperoleh melalui penjarahan.Topeng Jawa ini dikumpulkan Sir Stamford Raffles (1781-1826), menjadi terkenal karena mengotorisasi serangan terhadap pengadilan Jawa yang paling kuat. Selama berada di sana, ia mengumpulkan koleksi dan menyusun laporan tentang aspek-aspek pulau yang menarik bagi gagasan awal Eropa abad ke-19 tentang apa yang membentuk budaya beradab. 

     Dia sangat tertarik pada sejarah nasional dan barang antik. Pengumpulan Raffles tampaknya  dimotivasi oleh keinginan untuk membujuk politisi Inggris bahwa Jawa harus dipertahankan sebagai koloni. Koleksi Raffles disumbangkan ke British Museum pada tahun 1859 setelah kematian jandanya.

       Perancis memperoleh pulau Jawa ketika mengalahkan Belanda pada 1807 selama perang Napoleon, mendapatkan akses ke sumber daya Asia Tenggara, situasi yang tidak dapat ditoleransi oleh Inggris. Setelah ekspedisi militer oleh pasukan East India Company pada tahun 1811, Raffles diangkat menjadi Letnan-Gubernur Jawa. Dia memegang posisi itu sampai pulau itu dikembalikan ke Belanda pada tahun 1816. 

    Raffles berpikir Inggris harus mempertahankan Jawa sebagai koloni karena dia merasa Asia Tenggara sangat penting secara strategis karena menghubungkan koloni Inggris di India dengan kepentingan perdagangannya di Cina.    

        Dia ingin mendirikan pusat di mana barang-barang seperti keramik, tekstil, teh, kopi, rempah-rempah dan opium dapat diperdagangkan secara bebas yang dapat menguntungkan Inggris. Sayangnya ia tidak dapat mengembangkan Jawa, dan Raffles pun mendirikan Singapura sebagai pelabuhan Inggris pada tahun 1819.

     Salah satu pengunjung Nancy yang tinggal di London kepada Antara,  Minggu mengatakan sekiranya Indonesia menjadi salah satu Negara Commonwealth seperti Negara Singapore dan Malaysia, besar kemungkinan system pendidikan Indonesia akan setara dengan kedua negara ini.(ZG)

Tidak ada komentar: