PENGAMAT: POLITIK
INDUSTRI PENTING BAGI INDONESIA
Oleh Zeynita
Gibbons
London 7/2 (Antara)
- Keputusan pemerintah untuk melarang ekspor mineral mentah dan
mewajibkan pengusaha tambang untuk membangun "smelter"
patut untuk mendapatkan apresiasi, kata Fachru Nofrian, pemerhati
ekonomi dan industri di Paris.
"Kebijakan
tersebut pada dasarnya dapat menciptakan nilai tambah terhadap
ekonomi Indonesia," kata Dr. Fachru kepada Antara London, Sabtu,
sehubungan dengan keputusan pemerintah melarang ekspor mineral mentah
sesuai dengan UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara mulai Januari
2014.
Namun, kata
doktor ilmu ekonomi dari Université Paris 1 Panthéon-Sorbonne, yang
penting adalah tetap mencermati bagaimana dampaknya terhadap proses
industrialisasi di Indonesia.
Ia mengatakan,
"Kita harus melihat apakah kebijakan ini merupakan sebuah
politik industri atau bukan, apakah hal tersebut mengedepankan aspek
penciptaan nilai tambah berorientasi pada industrisalisasi."
Jika Indonesia
berhasil menciptakan nilai tambah, menurut dia, secara internasional
Indonesia menjadi lebih berperan dan mungkin dapat lebih
diperhitungkan.
Akan tetapi,
lanjut dia, penciptaan nilai tambah itu tidak membuahkan proses
industrialisasi maka sama saja dengan kebijakan yang pernah diambil
sebelumnya.
Menurutnya,
proses industrialisasi merupakan proses yang riil yang melibatkan
banyak variabel bukan sekadar transformasi masyarakat, pembangunan
pabrik, atau produktivitas tenaga kerja.
Berdasarkan
penelitian, produktivitas tenaga kerja Indonesia makin mengalami
peningkatan dari 1971 hingga 2005. "Akan tetapi, tetap saja
Indonesia belum mengalami proses industrialisasi," ungkap staf
pengajar di Universitas Indonesia ini.
Ia menekankan,
"Indonesia telah melalui berbagai periode pembangunan. Pada
zaman Bung Karno, politik industri lebih kuat sehingga menciptakan
proses industrialisasi mulai dari pembangunan pabrik, reaktor nuklir,
pesawat dengan kandungan lokal 100 persen, hingga pembangunan sektor
secara simultan."
Pada zaman Presiden
Soeharto, melalui repelita mencoba menggabungkan politik industri dan
politik pertumbuhan secara bertahap. "Akan tetapi, hasil
akhirnya tetap melahirkan kesenjangan antara rencana pembangunan dan
realisasi," paparnya.
Setelah
reformasi, Indonesia sepertinya tidak memiliki lagi politik industri,
yang ada hanyalah politik pertumbuhan atau dengan kata lain politik
industri sudah direduksi pada pertumbuhan sehingga Indonesia
mengalami kebanjiran barang impor, ujar jebolan S-1 Fakultas Ekonomi
Universitas Trisakti dan S-1 Fakultas Filsafat Universitas Indonesia.
Salah satu isu
penting dalam proses industrialisasi adalah kesederhanaan bentuk
produksi yang menurut dia kesederhanaan itu meliputi kesederhanaan
hubungan antara industri primer, sekunder, dan tersier.
"Saat ini,
bentuk produksi sektoral masih terlalu kompleks sehingga dari 1970
hingga sekarang tidak ada konektivitas antara sektor mineral dan
manufaktur atau primer dan sekunder," ujar Fachru.
Pada tahun
1971, hanya ada konektivitas antara sektor bijih timah dan sektor
metal dasar. Akan tetapi, itu pun kemudian menghilang.
"Memang
industrinya ada, tetapi konektivitasnya tidak ada sehingga apabila
orientasi pemerintah hanya politik pertumbuhan. Maka, besar
kemungkinan konektivitas tidak akan terbentuk lagi," ucapnya.
Dengan
demikian, lanjut Fachru, jika ditanya apakah Indonesia memiliki
pilihan untuk melakukan politik industri atau politik pertumbuhan?
Sebagai negara yang terbesar di ASEAN, katanya, bukan tidak tidak ada
pilihan.
Pelajaran dari
negara lain, kata dia, seperti Cina dan India, menunjukkan bahwa
meskipun sekarang ini rezim internasional sangat dominan,
pilihan-pilihan yang menuju kepada proses industrisalisasi masih ada,
tinggal masalahnya adalah bagaimana strategi penerapannya.
***2***
D.Dj. Kliwantoro
(T.H-ZG/B/D.
Kliwantoro/D. Kliwantoro) 08-02-2014 06:50:57
Tidak ada komentar:
Posting Komentar