Diaspora Indonesia di Eropa bahas Otsus Papua
News ID: 1429465
London (ANTARA) -
Diaspora Indonesia di Eropa, tergabung dalam Perhimpunan Eropa untuk Indonesia Maju (PETJ), mengadakan seminar daring mengenai sejarah dan pelaksanaan otonomi khusus (Otsus) Papua merupakan bagian pertama dari rakaian seminar mengenai Papua, pada hari Sabtu (19/9).
Penyelenggara Acara Perhimpunan Eropa untuk Indonesia Maju, Shandy Adiguna kepada Antara London, Minggu mengatakan Topik yang diangkat adalah berkaitan dengan apakah penerapan Otsus dapat membawa perbaikan tingkat kesejahteraan bagi masyarakat Papua.
Ketua umum PETJ, Ari Manik mengatakan maraknya pemberitaan negatif mengenai Papua, mendorong PETJ untuk menginisiasi pelaksanaan seminar diharapkan dapat mengungkapkan informasi yang lebih berimbang mengenai kondisi Papua.
Diskusi dipimpin Enggi Holt, diaspora Indonesia yang bermukim di Bristol, Inggris.
Mantan dubes Indonesia untuk Australia, Imron Cotan, memaparkan fakta sejarah bagaimana Papua sejak awal merupakan bagian dari Indonesia. Hukum Internasional menyatakan bahwa batas-batas negara yang baru merdeka sesuai dengan batas saat sebelum masa colonial. Dalam kasus Indonesia adalah dari Sabang hingga Merauke (Papua).
Imron Cotan meyakini Otonomi Khusus adalah jalan tengah terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua.
Sementara itu Direktur desk Papua di BAPPENAS, Dr. Velix Wangai, mengatakan berbagai tantangan yang dihadapi dalam membangun wilayah paling timur Indonesia tersebut.
“Affirmative policies dan mengadopsi pendekatan kultural telah menjadi pilihan yang diambil untuk mengentaskan rakyat Papua dari ketertinggalan,” ujarnya.
Berbagai terobosan kebijakan pemerintah Jokowi untuk meningkatkan akselerasi pembangunan di wilayah Papua juga dikemukakan antara pembangunan yang tidak lagi hanya terkonsentrasi di pulau Jawa, tetapi menyasar mulai dari bagian terluar Indonesia.
Dikatakannya terobosan lain yang sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat adalah kebijakan BBM satu harga.
Pemateri masalah Papua, Michael Menufandu, menyinggung kondisi geografis yang luas, berat, topografi pegunungan, hutan dan rawa ditambah sebaran demografi masyarakat yang berada di berbagai pedalaman Papua membuat upaya untuk memeratakan pembangunan menjadi rumit.
Mantan walikota Jayapura yang juga pernah menjadi dubes Indonesia untuk Kolombia, UU 12 tahun 1969 UU Irian barat menjadi Undang-undang otonomi pertama untuk Papua, serta membebaskan tahanan politik kurun waktu itu.
Berbagai Instruksi Presiden (Inpres) yang dikeluarkan pada saat pemerintahan Presiden Suharto juga sedikit banyak mewarnai perkembangan pembangunan serta menunjukkan perhatian pemerintah untuk Papua.
Adanya kekerasan karena pendekatan militer dijalankan pada masa presiden Suharto ditambah factor isolasi geografis dan demografis, semakin mempersulit keadaan yang mengakibatkan berlangsungnya keterbelakangan, ketertinggalan dan kemiskinan di Papua.
Melewati berbagai masalah dan persoalan, presiden Abdurahman Wahid, Gus Dur, memberikan status Otonomi Khusus dipandang sebagai jalan tengah untuk mengakomodir kepentingan masyarakat sekaligus memperbaiki keadaan, dan bersama-sama antara pemerintah pusat dan daerah meniti membangun Papua demi masa depan yang lebih baik.
Maka lahirlah UU 21 tahun 2001 yang diorganisir Universitas Cendrawasih dengan mendengarkan aspirasi masyarakat Papua.
Imron Cotan, menekankan perlunya pembangunan infrastruktur untuk membongkar isolasi Papua serta merealisasikan hasil-hasil pembangunan dan hak-hak agar dapat sampai ke tangan rakyat Papua yang merupakan warga negara Indonesia seperti saudara-saudara nya di daerah lain.
Velix Wangai juga menegaskan komitmen pemerintah untuk mengalokasikan dana Otsus walaupun Indonesia tengah menghadapi kesulitan ekonomi moneter karena deraan wabah Covid-19.
Dikatakannya upaya pemerintah menyadari pentingnya untuk menjaga kepercayaan, menyentuh dan memperhatikan hati rakyat Papua dalam mengambil berbagai kebijakan bagi Papua.
Diskusi berlangsung dalam Bahasa Inggris ini di rasa penting oleh PETJ sebagai bagian dari diaspora Indonesia di Eropa, yang merasa pemberitaan mengenai Papua khususnya yang dalam Bahasa asing, masih sangat kurang.
Diharapkannya beberapa rangkaian diskusi mengangkat aspek-aspek lainnya berkaitan dengan Papua akan digelar dimasa datang.
Diskusi ini juga diharapkan dapat menjadi salah satu jembatan menjalin ikatan serta persatua antara diaspora Indonesia di Eropa serta dunia, dan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (ZG)
Diaspora Indonesia di Eropa, tergabung dalam Perhimpunan Eropa untuk Indonesia Maju (PETJ), mengadakan seminar daring mengenai sejarah dan pelaksanaan otonomi khusus (Otsus) Papua merupakan bagian pertama dari rakaian seminar mengenai Papua, pada hari Sabtu (19/9).
Penyelenggara Acara Perhimpunan Eropa untuk Indonesia Maju, Shandy Adiguna kepada Antara London, Minggu mengatakan Topik yang diangkat adalah berkaitan dengan apakah penerapan Otsus dapat membawa perbaikan tingkat kesejahteraan bagi masyarakat Papua.
Ketua umum PETJ, Ari Manik mengatakan maraknya pemberitaan negatif mengenai Papua, mendorong PETJ untuk menginisiasi pelaksanaan seminar diharapkan dapat mengungkapkan informasi yang lebih berimbang mengenai kondisi Papua.
Diskusi dipimpin Enggi Holt, diaspora Indonesia yang bermukim di Bristol, Inggris.
Mantan dubes Indonesia untuk Australia, Imron Cotan, memaparkan fakta sejarah bagaimana Papua sejak awal merupakan bagian dari Indonesia. Hukum Internasional menyatakan bahwa batas-batas negara yang baru merdeka sesuai dengan batas saat sebelum masa colonial. Dalam kasus Indonesia adalah dari Sabang hingga Merauke (Papua).
Imron Cotan meyakini Otonomi Khusus adalah jalan tengah terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua.
Sementara itu Direktur desk Papua di BAPPENAS, Dr. Velix Wangai, mengatakan berbagai tantangan yang dihadapi dalam membangun wilayah paling timur Indonesia tersebut.
“Affirmative policies dan mengadopsi pendekatan kultural telah menjadi pilihan yang diambil untuk mengentaskan rakyat Papua dari ketertinggalan,” ujarnya.
Berbagai terobosan kebijakan pemerintah Jokowi untuk meningkatkan akselerasi pembangunan di wilayah Papua juga dikemukakan antara pembangunan yang tidak lagi hanya terkonsentrasi di pulau Jawa, tetapi menyasar mulai dari bagian terluar Indonesia.
Dikatakannya terobosan lain yang sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat adalah kebijakan BBM satu harga.
Pemateri masalah Papua, Michael Menufandu, menyinggung kondisi geografis yang luas, berat, topografi pegunungan, hutan dan rawa ditambah sebaran demografi masyarakat yang berada di berbagai pedalaman Papua membuat upaya untuk memeratakan pembangunan menjadi rumit.
Mantan walikota Jayapura yang juga pernah menjadi dubes Indonesia untuk Kolombia, UU 12 tahun 1969 UU Irian barat menjadi Undang-undang otonomi pertama untuk Papua, serta membebaskan tahanan politik kurun waktu itu.
Berbagai Instruksi Presiden (Inpres) yang dikeluarkan pada saat pemerintahan Presiden Suharto juga sedikit banyak mewarnai perkembangan pembangunan serta menunjukkan perhatian pemerintah untuk Papua.
Adanya kekerasan karena pendekatan militer dijalankan pada masa presiden Suharto ditambah factor isolasi geografis dan demografis, semakin mempersulit keadaan yang mengakibatkan berlangsungnya keterbelakangan, ketertinggalan dan kemiskinan di Papua.
Melewati berbagai masalah dan persoalan, presiden Abdurahman Wahid, Gus Dur, memberikan status Otonomi Khusus dipandang sebagai jalan tengah untuk mengakomodir kepentingan masyarakat sekaligus memperbaiki keadaan, dan bersama-sama antara pemerintah pusat dan daerah meniti membangun Papua demi masa depan yang lebih baik.
Maka lahirlah UU 21 tahun 2001 yang diorganisir Universitas Cendrawasih dengan mendengarkan aspirasi masyarakat Papua.
Imron Cotan, menekankan perlunya pembangunan infrastruktur untuk membongkar isolasi Papua serta merealisasikan hasil-hasil pembangunan dan hak-hak agar dapat sampai ke tangan rakyat Papua yang merupakan warga negara Indonesia seperti saudara-saudara nya di daerah lain.
Velix Wangai juga menegaskan komitmen pemerintah untuk mengalokasikan dana Otsus walaupun Indonesia tengah menghadapi kesulitan ekonomi moneter karena deraan wabah Covid-19.
Dikatakannya upaya pemerintah menyadari pentingnya untuk menjaga kepercayaan, menyentuh dan memperhatikan hati rakyat Papua dalam mengambil berbagai kebijakan bagi Papua.
Diskusi berlangsung dalam Bahasa Inggris ini di rasa penting oleh PETJ sebagai bagian dari diaspora Indonesia di Eropa, yang merasa pemberitaan mengenai Papua khususnya yang dalam Bahasa asing, masih sangat kurang.
Diharapkannya beberapa rangkaian diskusi mengangkat aspek-aspek lainnya berkaitan dengan Papua akan digelar dimasa datang.
Diskusi ini juga diharapkan dapat menjadi salah satu jembatan menjalin ikatan serta persatua antara diaspora Indonesia di Eropa serta dunia, dan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (ZG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar