Kamis, 19 Mei 2011

ALFONSA DI LA ROCHELLA

ALFONSA BERBAGI ILMU PEWARNA DI LA ROCHELLA

Oleh Zeynita Gibbons

Alfonsa Horeng tidak pernah membayangkan bahwa kecintaannya pada kain tenun yang dilihatnya di sekitar desanya di daerah Flores, NTT, semasa kecil berhasil mengangkat namanya ke dunia internasional.

Wanita kelahiran Flores pada 1 Agustus 1974 itu tampil di depan para ahli dalam Symposium Economic and Social Impact of the Development on Natural Dyes ? Case Studies yang berlangsung di kota kecil di Perancis, La Rochella, baru baru ini.

Simposium itu diadakan Badan PBB, UNESCO, bekerja sama dengan Kementerian Pembangunan dan Ekologi Perancis, diikuti 524 peserta yang datang dari 56 negara, berlangsung di Espace Encan Building ? La Rochelle ? Perancis.

Usai menerima Kartini Award dari Ibu Negara sebagai salah satu Perempuan Inspiratif di antara 100 Perempuan Inspiratif se-Indonesia, pada peringatan Hari Kartini 21 April lalu, Alfonsa langsung berangkat ke Paris.

"Setelah menerima 'award', saya turun dari panggung, masih mengenakan pakaian adat, langsung terbang ke Perancis dan bahkan sampai Paris, karena takut ketinggalan pesawat," ujar Alfonsa kepada koresponden Antara London.
Alfonsa merupakan satu satunya yang diundang UNESCO guna berperan serta dalam 'event' ISEND2011 Eropa sebagai pembicara dalam simposium yang bertema "Session Gender and Rural Development", dengan subtema : ?The Magic of Natural-Dyed Ikat in Flores Culture and Integrity Development in Women?s Weavers Cooperative?.

"Saya diminta berbicara mengenai nilai Magis Mistik Tenun Ikat Pewarnaan Alam dalam Peradaban Flores dan Perkembangan Nilai Integritasnya dalam Kelompok Penenun," ujar Alfonsa.

Selama penyelenggaraan simposium Alfonsa selalu tampil unik dengan mengenakan pita merah-putih di dada dan mengenakan pakaian adat daerahnya yang khas yaitu Sikka, yang dengan penuh semangat mengangkat nama bangsa di mata dunia.

Dalam makalahnya Alfonsa menyampaikan mengenai aplikasi pewarna alam dan berbagai aspek, dan ia juga menjelaskan hubungan antara implementasi pewarna alam dari tumbuhan tropis dalam produk tenun ikat.

Diakuinya pengunaan pewarna alam yang dilakukan kaum perempuan dalam koperasi yang dibinanya ini merupakan salah satu ilmu lokal yang sangat bernilai tinggi untuk diteliti dan dipelajari lebih lanjut.

Menurut Alfonsa, 'event' tersebut terbilang efisien dalam skala International karena betul-betul menghadirkan para praktisi di bidangnya masing-masing dan sesuai dengan latar belakang pendidikan dan aktivitasnya.

Pertemuan international ini tidak hanya menguntungkan bagi pihak penyelenggara tapi lebih dari itu sebagai pintu konekcivitas antarakademisi dan praktisi dalam membangun wadah kebersamaan menciptakan lingkungan dunia yang bertumpu pada sustainable hubungan manusia dan alamnya.

Alfonsa, gadis desa yang go International ini hanya bertumpu pada kecintaannya akan tenun ikat dan aspek-aspek yang bernilai tinggi dalam produk budaya ini sehingga setiap memberikan presentasi di tingkat international.

Dalam diskusi Alfonsa tampil bersama presenter wanita lain dari India, Turkey, Congo, Argentina, dan Polandia, dengan moderator Dr. Beatriz O. Devia Castillo dari Universite Fransisco Jose de Caldas, Bogota, Colombia.

Menurut Alfonsa, presentasi yang dilakukan berjalan khidmat dan semua peserta sangat interest akan nilai 'culture' dan 'knowledge' yang terkemas dalam tema presentasinya ini.

Diakuinya kesetraan gender di komunitas yang dibinannya mengalami keseimbangan dalam peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan dalam era globalisasi ini walaupun mereka masih memegang adat istiadat lokal.

Pada kesempatan sesi lain dalam ISEND2011 ini, Alfonsa juga tampil mendemonstrasikan implementasi mordant alam dan pewarna alam dari tumbuhan tropis yang dalam bahasa lokal disebut dengan ai reo nora bola uta ulit yaitu penggunaan kulit kayu reo dan kulit kayu kepok hutan menghasilkan warna coklat pada produk tenun ikat.

Selama diskusi, kaum akademisi dan partisipan pun tidak segan-segan memberikan pertanyaan dan siap untuk kunjungan studi ke Indonesia, ujarnya.

Dijelaskannya, tenun ikat Flores merupakan produk yang rumit dan penuh komplikasi dalam proses pembuatannya maka salah satu maha karya anak bangsa ini menempati urutan pertama dalam penataan produk yaitu di pintu gerbang ruangan Fashion Exhibition.


Tenunnya laku terjual
Selain itu pada Fashion Exhibition, Alfonsa pun berperan serta bersama semua designer dalam 'event' ini. Produk yang dipamerkan dan bahkan pakaian adat lengkap banyak diminati dan terjual. "Semua hasilnya akan digunakannya sebagai modal bagi ibu-ibu penenun di kampungnya yang masih antre menunggu modal," ujar Alfonsa
Maria Wronska dari James Cook Australia menyatakan dia kagum akan Indonesia yang begitu banyak ragam produk budaya yang menarik, tapi mengapa hanya satu orang saja Alfonsa yang hadir dalam acara ini?
"Saya sempat geger dengan peserta dari Malaysia yang menyatakan di forum bahwa produk batik dari Indonesia katanya berwarna gelap dibandingkan dengan produk batik modifikasi buatan Polandia yang warnanya terang benderang," ujarnya.

Pada kenyataan lain adanya kemiripan motif tekstil Malaysia dengan Kalimantan. Banyak peserta merasa kagum akan kekayaan potensi alam yang dimilki Indonesia (iklim tropis) yaitu tidak susah untuk mendapat matahari dan curah hujan serta aneka tumbuhan tropis yg bisa dimanfaatkan sebagai extrak sumber pewarna alami.

Hal ini terbukti bahwa pada saat dia memberikan 'workshop' pewarnaan alam, maka semua peserta kagum akan bahan mordant yang diperoleh dari alam Indonesia apalagi proses teknik pewarna alam yang sangat komplikasi dan detail, sehingga Indonesia dipandang sebagai bangsa yg telaten dan pintar meramu alamnya.

Hanya saja nama 'scientific' untuk tumbuhan tropis lokal ini masih perlu diperdalam lagi, menjaga plasma-nutfah dan tanaman endemik agar tetap dilestarikan, ujarnya. Selama pameran, ia juga mendapat orderan bahan-bahan pewarna alam dari Alvit dari Italia dan fair trade system dengan Ulla dari Denmark
Selain itu adanya kontak edukasi dengan beberapa profesor seperti dari universitas Zuhrich, Swiss, James Cook - Australia, Permacouture Institut - San Francisco, Etno Botanica ? Brasil, Juan Cazorla ? Spanyol, Politecnica de Valencia ? Spanyol, Soledad Hoces de la Coordia ? Chili, dan beberapa society termasuk dalam delegasi 56 negara tersebut.

Ketua panitia Dominique Cardon, mengatakan, "setelah saya presentasi langsung minta informasi dan berencana akan berkunjung ke Indonesia khususnya ke Flores untuk lebih melihat dari dekat akan potensi dan peluang yang perlu dikembangkan khususnya pewarnaan alam dalam produk tenun ikat."
Sementara Insan pers pun langsung mengajukan diri untuk membuat film dokumenter di Flores Indonesia. Hal ini paling berkesan juga disampaikan ketua panitia yang menyebutkan paparannya penuh dengan pengetahuan.

"Saya tidak hanya mengupas tentang produk tetapi kajian gender dari 'stakeholder' yang berperanan langsung dan kesinambungan antara sumber daya mausia dan kelangsungan alam lingkungannya serta yang paling penting adalah nilai integritas dari 'local wisdom'," katanya.

Bercerita mengenai awalnya sampai ia diundang menjadi pembicara dalam 'even't tersebut dari adanya motivasi staf di PBB yang mengunjungi pentas di hadapan Duta Besar PBB dari Geneve.

Ia menyarankan agar saya sebaiknya tidak hanya berbicara saat demonstrasi tenun tetapi lebih dari itu secara khusus dalam forum International agar suara penenun lebih didengar secara formal.

Hal ini didukung pula tema atau isu yang dikirimnya yaitu tentang "The Magic of Natural-Dyed Ikats in Flores Culture and Integrity Development in Women's Weaver Cooperative" dalam Session : "Economic and Social Impact of the Development of Natural Dyes - Case Study of Gender in Rural Development"
Didukung oleh data-data dan sertifikat sebelumnya yaitu menjadi pembicara dan memberikan workshop tenun dan aspek-aspek terkait - untuk beberapa universitas, national gallery, atau herritage group di Australia dan Swiss.

Juga ada kegiatan nyata community di lapangan sebagai bukti dalam bentuk kelompok kecil penenun di beberapa desa yang difasilitasi.

Alfonsa yang diundang lagsung oleh pihak penyelenggara di Perancis ini untuk mewakili delegasi Indonesia selama acara selain sebagai salah satu pembicara dalam symposium, ia juga melakukan demo mengenai pewarna alam dalam workshop ?Demonstrate a Natural Dye Workshop.

Selain itu juga tampil dalam Fashion Exhibition ?Tenun ikat disertakan dalam fashion show,? serta berperan dalam pameran poster. Women?s Weaver and Natural-Dye Ikat Cooperative ?Lepo Lorun,? Flores ? Indonesia.

Hal ini juga merupakan rintisan konektivitas relasinya bersama Citra Group saat memberikan demostrasi tenun ikat di hadapan para Duta Besar PBB yang hadir pada The Herittage of Indonesia di Swiss pada Oktober tahun 2010.

Selain mengikuti symposium di La Rochelle Perancis, Alfonsa pun mempresentasikan tentang tenun ikat kepada masyarakat Indonesia yang berada di Amsterdam. ?Mereka sangat mencintai budaya bangsa yg ternyata tidak hanya di Indonesia barat tetapi juga keunikan di Indonesia Timur, ujarnya. ***6***
(ZG)

(T.H-ZG/B/H-KWR/H-KWR) 20-05-2011 00:48:08

Tidak ada komentar: