DAMPAK KEBIJAKAN BARU
BIOFUEL UE BAGI INDONESIA
London, 13/9
(ANTARA) - Parlemen Eropa pada Sidang Pleno yang diadakan di
Strasbourg, Perancis menetapkan bahwa konsumsi biofuel Uni Eropa (UE)
tidak boleh lebih dari enam persen dari total 10 persen konsumsi
energi terbarukan yang digunakan Uni Eropa untuk sektor transportasi
pada 2020.
Dubes RI di
Brussel Arif Havas Oegroseno kepada ANTARA London, Jumat menyebutkan
salah satu sumber biofuel yang dikonsumsi sektor transportasi Uni
Eropa adalah biodiesel yang diimpor dari Indonesia. Tercatat ekspor
biodiesel Indonesia ke Uni Eropa pada 2012 mencapai 2,6 juta metrik
ton.
Selain itu,
Parlemen Eropa dalam sidangnya yang berlangsung 11 September lalu
membahas "Indirect Land Use Change" (ILUC) sebagai elemen
dalam penghitungan jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) dari biofuel.
Banyak pihak
menyampaikan keraguan, yang didorong oleh kurangnya data ilmiah untuk
menentukan berapa emisi GRK yang muncul karena ILUC.
Oleh karena itu,
Parlemen Eropa memutuskan untuk membahas kembali isu-isu terkait
dengan kebijakan baru Biofuel UE ini kemungkinan pada Sidang Pleno
Parlemen Eropa 2015.
Dubes Havas
menghadiri Sidang Pleno Parlemen Eropa dan bertemu dengan beberapa
anggota Parlemen Eropa.
Corrine Lepage,
anggota Parlemen Eropa dari Perancis, yang merupakan pelapor untuk
kebijakan baru biofuel Uni Eropa menyampaikan dalam proses
pengambilan keputusan, anggota Parlemen Eropa menerima petisi dan
masukan dari berbagai kalangan yaitu industri, petani dan LSM.
Lepage juga
menerima LSM Indonesia yang diwakili Sawit Watch dan Walhi yang
meminta agar Uni Eropa segera menghentikan penggunaan minyak sawit
untuk biofuel.
Posisi LSM
Indonesia tersebut, ironisnya, sejalan dengan posisi kalangan
industri biofuel Eropa yang tergabung dalam European Biodiesel Board
(EBB) yaitu, menolak masuknya biodiesel Indonesia ke Uni Eropa.
Biodiesel
Indonesia dinilai telah menghancurkan industri biofuel, merugikan
petani, dan berpotensi menghilangkan 400.000 lapangan pekerjaan di
Eropa.
Jumlah ini
tidak sebanding dengan pertanian kelapa sawit Indonesia yang menjadi
penopang hidup jutaan keluarga petani sawit di Indonesia.
Melalui keterangan
pers-nya tanggal 9 September 2013, EBB menyebutkan pasar biodiesel
Eropa harus ditutup dari biodiesel Indonesia karena telah
menghancurkan industri dan pasar biofuel Uni Eropa.
EBB telah
menyampaikan protes keras kepada Uni Eropa agar impor biodiesel
Indonesia dihentikan. Protes ini kemudian berakibat pada diberikannya
tarif terhadap ekspor biodiesel Indonesia sebesar 83,84 euro/ton.
EBB yang
mendukung petani di Uni Eropa yang menerima subsidi sebesar 6 milliar
euro (Rp. 89,3 trilliun), juga menuduh Indonesia melakukan subsidi
terhadap petani sawit. EBB meminta Uni Eropa untuk menghukum
Indonesia karena memberikan subsidi.
Robbie Blake
dari Friends of the Earth, pada liputan Euractive tanggal 26 Juli
lalu, menyatakan "We share concerns about palm oil with the
EBB."
Menurut Dubes Havas
, aliansi i LSM lokal dan asing untuk suatu masalah sosial adalah
biasa.
Namun
demikian, permintaan penghentian impor kelapa sawit dari Indonesia,
yang dampaknya adalah melindungi kepentingan industri dan petani
asing, yang dilakukan secara serempak antara industri asing, LSM
asing, dan LSM Indonesia demi kerugian petani Indonesia, adalah
fenomena baru.
Indonesia harus
memanfaatkan momentum kebijakan biofuel Uni Eropa yang baru, dalam
hal ini Indonesia perlu menggalakkan penggunaan biodiesel di dalam
negeri sebagai upaya memenuhi kemandirian energi, menghemat devisa,
mensejahterakan petani, dan tidak tergantung pada pasar asing.
Indonesia perlu
semakin meningkatkan dan terus memodernisasi industri biodiesel dalam
negeri. Saat ini, terdapat 26 kilang biodiesel (refineries) di
Indonesia, dimana investasi untuk pembangunan kilang CPO mencapai 2,7
miliar dolar AS.***3***
(ZG)
(T.H-ZG/B/S.
Suryatie/S. Suryatie) 13-09-2013 07:08:50
Tidak ada komentar:
Posting Komentar