Selasa, 18 Juli 2017

BELANDA


pobtrans.gif
NU BELANDA GELAR DISKUSI DEMOKRASI-POLITIK UANG
     Oleh Zeynita Gibbons

    London,7/7 (Antara) - Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama di Belanda (Lakpesdam PCI NU Belanda) mengelar diskusi  bertema Money and Identity Politics on Electoral Democracy in Indonesia bertempat di Fakultas Hukum, Universitas Leiden, Belanda.
         Koordinator Penyelenggara diskusi Yance Arizona, kepada Antara London, Jumat  menyebutkan diskusi diadakan dalam rangka melakukan telaah akademik terkait fenomena penyelenggaraan Pemilu di Indonesia yang saat ini menunjukkan semakin masifnya politik uang dan penggunaan identitas sebagai alat untuk memenangkan pemilihan.
         Diskusi dihadiri perwakilan mahasiswa, akademisi, pemerhati Indonesia di Belanda dan ditayangkan secara live serta dimoderatori Fachrizal Afandi, dengan narasumber Komisioner Bawaslu bidang Hukum Fritz Edward Siregar, Professor of Southeast Asian History at University of Amsterdam, Prof. Gerry van Klinken dan peneliti di KITLV ,Ward Berenschot, serta Lakspesdam PCINU Belanda, PhD candidate Univeristas Utrecht Awaludin Marwan, SH
    Dalam paparannya, Fritz yang menjabat sebagai komisioner Bawaslu menyampaikan masih banyak problem regulasi menangani permasalahan politik uang, misalnya adanya unsur "mempengaruhi pemilih" dalam pemberian uang atau barang kepada pemilih oleh tim sukses kandidat dalam pemilu dan pilkada.
         Dikatakannya unsur ini sulit dibuktikan sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda dalam praktiknya antara Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan.
         Selain itu, waktu penanganan yang singkat menjadi kendala mengatasi, ujarnya.
         Persoalan lain yang butuh perhatian adalah praktik menjual Sembako dengan harga murah. Model bazar murah banyak terjadi, termasuk dalam Pilkada DKI Jakarta lalu.
         Sementara itu Prof. Gerry van Klinken menjelaskan salah satu akar dari politik identitas dengan istilah Ethnic Bossism, yaitu semacam relasi patron-client yang telah berkembang dalam sejarah masyarakat Indonesia.
         Sedangkan Ward Berenschot menyampaikan presentasi berjudul Why is Money Politics so Pervasive in Indonesia: An economy analysis.
         Dia memaparkan hasil risetnya di 38 daerah dengan wawancara terhadap ahli di daerah untuk menyusun Indek Persepsi Klientisme (Clientism Perception Index).
         Studi itu untuk melihat bagaimana relasi patron-client antara masyarakat dan tuannya baik berdasarkan identitas suku dan lainnya mempengaruhi politik uang.
         Studi itu menemukan semakin ke daerah, maka politik uang semakin massif. Semakin ke nasional, dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, cenderung politik uang semakin berkurang.
         Awaludin Marwan menyampaikan beberapa warisan hukum diskriminatif berlaku di Indonesia. Umumnya yang menjadi korban diskriminasi struktural itu adalah etnis Tionghoa.
         Dalam kaitannya itu, Awaludin melihat apa yang terjadi dengan Basuki Tjahaja Purnama (AHOK) adalah kelanjutan dari proses diskriminasi yang telah berlangsung lama.
         Lebih lanjut, Awaludin menilai peraturan perundang-undangan mengenai kepemiluan saat ini belum dapat mengatasi politik SARA yang diskriminatif sehingga, pembaruan hukum harus diarahkan kepada hal tersebut.

         Salah satunya dengan mengadopsi prinsip-prinsip penting dalam UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnik ke dalam sistem hukum pemilu.(ZG)
***2***
(T.H-ZG/B/E. Sujatmiko/E. Sujatmiko) 07-07-2017 05:51:37

Tidak ada komentar: