Indonesia Inspirasi Toleransi Beragama dan di Jerman
News ID: 204966
London (ANTARA) -
Toleransi antar umat beragama di tengah pluralisme masyarakat yang sangat kompleks di Indonesia mendapat pengakuan dari Jerman. Konsep Islam berkemajuan dan Islam jalan tengah yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia dinilai memiliki peran penting dalam menghidupkan nilai toleransi.
Hal itu terungkap dalam seminar “Tolerance of Islam in Pluricultural Societies, yang berlangsung di Villa Borsig, Berlin, Jerman, Senin (29/4).
Pensosbud KBRI Berlin, Hannan Hadi kepada Antara London, Kamis menyebutkan seminar yang digagas Dubes RI untuk Jerman, Arif Havas Oegroseno
diadakan atas kerja sama antara Kemenlu Jerman, KBRI Berlin, dan Kedutaan Besar Azerbaijan di Berlin.
Sejumlah tokoh lintas kalangan dan agama hadir pada seminar ini, antara lain anggota Parlemen Jerman, organisasi dari berbagai agama seperti Islam, Kristen dan Yahudi, professor Humbolt University, kalangan media, kelompok LSM, dan sejumlah pejabat pemerintah Jerman.
Kepala Departemen Bidang Urusan Agama, Kementerian Luar Negeri Jerman, Dubes Volker Berresheim saat membuka Seminar menyebutkan konsep Islam yang berkembang di Indonesia menjadi inspirasi bagi Jerman.
Menurutnya, konsep Islam Indonesia ini dapat menjadi alternatif untuk mengimbangi dominasi konsep Islam dari etnis tertentu yang saat ini berkembang di Jerman. “Kita perlu mengenalkan ke publik Jerman warna lain dari Islam. Islam tidak identik dengan etnis tertentu. Islam yang dipraktekan masyarakat Indonesia adalah contoh nyata bagaimana Islam mampu menjadi pelopor toleransi di tengah ratusan etnis yang sangat heterogen. Coba anda bayangkan, 260 juta penduduk terpencar di ribuan pulau di Indonesia, dengan ratusan budaya dan bahasa, serta agama dan kepercayaan yang beragam, mampu hidup secara damai. Dan sekitar 87 persen penduduk Indonesia beragama Islam, ujar Dubes Berresheim.
Sementara itu Prof. Dr. Azyumardi Azra, CBE sebagai pembicara utama pada seminar ini menyatakan Islam Indonesia diilhami oleh empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika. Pancasila merupakan platform dan integrating force dari keberagaman yang dimiliki Indonesia.
Dikatakannya Islam Indonesia dikenal sebagai the smiling dan colorful Islam, Islam yang penuh warna dan kedamaian. Islam Indonesia sangat tidak kental dengan Arab tetapi bukan berarti tidak lebih Islami dari negara Arab. Sejumlah peneliti mengungkapkan bahwa masyarakat muslim Indonesia lebih taat menjalankan syariat Islam, seperti puasa, sholat Jumat, dan haji dibandingkan beberapa negara di Timur Tengah”, jelas Prof. Azra.
Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, peran umat Islam dalam memajukan demokrasi di Indonesia sangat besar. Berbeda dengan praktik di negara-negara lain, masyarakat Muslim Indonesia tidak mengedepankan basis agama Islam sebagai identitas partai politik. Mereka justru banyak berperan di partai-partai politik yang berbasis nasional. Terbukti dalam sejumlah Pemilu yang diselenggarakan Indonesia, baik untuk anggota parlemen, Kepala Daerah, maupun Presiden, partai-partai pemenang terbesar adalah partai yang berbasis nasional. Di partai-partai tersebut masyarakat muslim Indonesia memiliki pengaruh besar namun tetap mengedepakankan prinsip Pancasila yang meagakomodir aspirasi seluruh bangsa termasuk dari kelompok-kelompok non Muslim.
Isu kerja sama antar umat beragama dan pengembangan nilai-nilai multikulturalisme saat ini menjadi perhatian khusus Pemerintah Jerman. Bahkan Kemenlu Jerman beberapa waktu lalu membentuk Departemen khusus untuk menangani isu ini, terutama dalam konteks penguatan diplomasi antar pemangku kepentingan. Jerman akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan Pertemuan Puncak “Religion for Peace” yang akan berlangsung di Lindau, Jerman bulan Agustus mendatang.
Melalui seminar ini, Kemenlu Jerman ingin memperoleh masukan dari para peserta seminar, terutama dari narasumber Indonesia dan Azerbaijan, tentang langkah-langkah konkrit yang perlu dilakukan. Stigma bahwa Islam menjadi ancaman terhadap stabilitas masyarakat, khususnya dikaitkan dengan arus migrasi dari negara-negara Timur Tengah ke Jerman, merupakan fakta yang berkembang di Jerman. “Kita yang hadir di sini sangat paham bahwa stigma itu tidak benar dan perlu diluruskan. Namun kita perlu merumuskan apa yang perlu dilakukan untuk membantah dan memperbaiki kesalahpahaman masyarakat tersebut”, jelas Pendeta Dr. Nikodemus Schnabel dari Kemenlu Jerman yang bertindak selaku moderator Seminar ini.
Sejumlah rekomendasi ditawarkan peserta, di antaranya, penguatan nilai-nilai multikulturalisme di masyarakat, penguatan dialog antar dan inter agama, dialog pemimpin agama dengan pemerintah, diseminasi tentang ajaran agama yang benar melalui pendidikan formal di sekolah dan universitas. Selain itu penting bagi para pemimpin agama untuk merumuskan early warning mechanism untuk mengidentifikasi dan mengatasi gerakan-gerakan radikalisme yang mengatasnamakan agama tertentu.
Sementara itu, Dubes Oegroseno menekankan KBRI Berlin sudah mulai melakukan beberapa butir rekomendasi tersebut. Bulan Agustus mendatang, kita lakukan program Interfaith Scholarship untuk mengundang para tokoh di Jerman, untuk melihat langsung praktek Islam dan pluralisme di Indonesia. “Kita juga telah melakukan pendekatan ke beberapa universitas dan Institute Teologi Islam yang ada di Jerman untuk kerjasama kurikulum Islam Indonesia dan kerjasama pelatihan para Imam. Sekitar tujuh ribu WNI yang ada di Jerman juga kita dorong untuk menjadi agen diseminasi untuk toleransi antar agama dan konsep Islam Indonesia yang moderat dan damai kepada publik di Jerman, demikian Dubes Oegroseno.(ZG)
Prof. Dr. Azyumardi Azra, CBE sebagai pembicara utama pada seminar “Tolerance of Islam in Pluricultural Societies, yang berlangsung di Villa Borsig, Berlin, Jerman, Senin (29/4).
Toleransi antar umat beragama di tengah pluralisme masyarakat yang sangat kompleks di Indonesia mendapat pengakuan dari Jerman. Konsep Islam berkemajuan dan Islam jalan tengah yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia dinilai memiliki peran penting dalam menghidupkan nilai toleransi.
Hal itu terungkap dalam seminar “Tolerance of Islam in Pluricultural Societies, yang berlangsung di Villa Borsig, Berlin, Jerman, Senin (29/4).
Pensosbud KBRI Berlin, Hannan Hadi kepada Antara London, Kamis menyebutkan seminar yang digagas Dubes RI untuk Jerman, Arif Havas Oegroseno
diadakan atas kerja sama antara Kemenlu Jerman, KBRI Berlin, dan Kedutaan Besar Azerbaijan di Berlin.
Sejumlah tokoh lintas kalangan dan agama hadir pada seminar ini, antara lain anggota Parlemen Jerman, organisasi dari berbagai agama seperti Islam, Kristen dan Yahudi, professor Humbolt University, kalangan media, kelompok LSM, dan sejumlah pejabat pemerintah Jerman.
Kepala Departemen Bidang Urusan Agama, Kementerian Luar Negeri Jerman, Dubes Volker Berresheim saat membuka Seminar menyebutkan konsep Islam yang berkembang di Indonesia menjadi inspirasi bagi Jerman.
Menurutnya, konsep Islam Indonesia ini dapat menjadi alternatif untuk mengimbangi dominasi konsep Islam dari etnis tertentu yang saat ini berkembang di Jerman. “Kita perlu mengenalkan ke publik Jerman warna lain dari Islam. Islam tidak identik dengan etnis tertentu. Islam yang dipraktekan masyarakat Indonesia adalah contoh nyata bagaimana Islam mampu menjadi pelopor toleransi di tengah ratusan etnis yang sangat heterogen. Coba anda bayangkan, 260 juta penduduk terpencar di ribuan pulau di Indonesia, dengan ratusan budaya dan bahasa, serta agama dan kepercayaan yang beragam, mampu hidup secara damai. Dan sekitar 87 persen penduduk Indonesia beragama Islam, ujar Dubes Berresheim.
Sementara itu Prof. Dr. Azyumardi Azra, CBE sebagai pembicara utama pada seminar ini menyatakan Islam Indonesia diilhami oleh empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika. Pancasila merupakan platform dan integrating force dari keberagaman yang dimiliki Indonesia.
Dikatakannya Islam Indonesia dikenal sebagai the smiling dan colorful Islam, Islam yang penuh warna dan kedamaian. Islam Indonesia sangat tidak kental dengan Arab tetapi bukan berarti tidak lebih Islami dari negara Arab. Sejumlah peneliti mengungkapkan bahwa masyarakat muslim Indonesia lebih taat menjalankan syariat Islam, seperti puasa, sholat Jumat, dan haji dibandingkan beberapa negara di Timur Tengah”, jelas Prof. Azra.
Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, peran umat Islam dalam memajukan demokrasi di Indonesia sangat besar. Berbeda dengan praktik di negara-negara lain, masyarakat Muslim Indonesia tidak mengedepankan basis agama Islam sebagai identitas partai politik. Mereka justru banyak berperan di partai-partai politik yang berbasis nasional. Terbukti dalam sejumlah Pemilu yang diselenggarakan Indonesia, baik untuk anggota parlemen, Kepala Daerah, maupun Presiden, partai-partai pemenang terbesar adalah partai yang berbasis nasional. Di partai-partai tersebut masyarakat muslim Indonesia memiliki pengaruh besar namun tetap mengedepakankan prinsip Pancasila yang meagakomodir aspirasi seluruh bangsa termasuk dari kelompok-kelompok non Muslim.
Isu kerja sama antar umat beragama dan pengembangan nilai-nilai multikulturalisme saat ini menjadi perhatian khusus Pemerintah Jerman. Bahkan Kemenlu Jerman beberapa waktu lalu membentuk Departemen khusus untuk menangani isu ini, terutama dalam konteks penguatan diplomasi antar pemangku kepentingan. Jerman akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan Pertemuan Puncak “Religion for Peace” yang akan berlangsung di Lindau, Jerman bulan Agustus mendatang.
Melalui seminar ini, Kemenlu Jerman ingin memperoleh masukan dari para peserta seminar, terutama dari narasumber Indonesia dan Azerbaijan, tentang langkah-langkah konkrit yang perlu dilakukan. Stigma bahwa Islam menjadi ancaman terhadap stabilitas masyarakat, khususnya dikaitkan dengan arus migrasi dari negara-negara Timur Tengah ke Jerman, merupakan fakta yang berkembang di Jerman. “Kita yang hadir di sini sangat paham bahwa stigma itu tidak benar dan perlu diluruskan. Namun kita perlu merumuskan apa yang perlu dilakukan untuk membantah dan memperbaiki kesalahpahaman masyarakat tersebut”, jelas Pendeta Dr. Nikodemus Schnabel dari Kemenlu Jerman yang bertindak selaku moderator Seminar ini.
Sejumlah rekomendasi ditawarkan peserta, di antaranya, penguatan nilai-nilai multikulturalisme di masyarakat, penguatan dialog antar dan inter agama, dialog pemimpin agama dengan pemerintah, diseminasi tentang ajaran agama yang benar melalui pendidikan formal di sekolah dan universitas. Selain itu penting bagi para pemimpin agama untuk merumuskan early warning mechanism untuk mengidentifikasi dan mengatasi gerakan-gerakan radikalisme yang mengatasnamakan agama tertentu.
Sementara itu, Dubes Oegroseno menekankan KBRI Berlin sudah mulai melakukan beberapa butir rekomendasi tersebut. Bulan Agustus mendatang, kita lakukan program Interfaith Scholarship untuk mengundang para tokoh di Jerman, untuk melihat langsung praktek Islam dan pluralisme di Indonesia. “Kita juga telah melakukan pendekatan ke beberapa universitas dan Institute Teologi Islam yang ada di Jerman untuk kerjasama kurikulum Islam Indonesia dan kerjasama pelatihan para Imam. Sekitar tujuh ribu WNI yang ada di Jerman juga kita dorong untuk menjadi agen diseminasi untuk toleransi antar agama dan konsep Islam Indonesia yang moderat dan damai kepada publik di Jerman, demikian Dubes Oegroseno.(ZG)
Prof. Dr. Azyumardi Azra, CBE sebagai pembicara utama pada seminar “Tolerance of Islam in Pluricultural Societies, yang berlangsung di Villa Borsig, Berlin, Jerman, Senin (29/4).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar