Lima ribu Mahasiswa Terjerat Praktek Kuliah Kerja
News ID: 235513
London (ANTARA) - PPI Kawasan Asia-Oseania melalui Satuan Tugas (Satgas) Anti Kerja Paksa menemukan adanya praktik Kuliah Kerja Tidak Proporsional di dua negara Asia Timur diperkirakan 5000 mahasiswa Indonesia menjalankan praktik kuliah ini di Taiwan dan Tiongkok.
Hal itu terungkap dalam kegiatan Simposium PPI Kawasan Asia-Oseania 2019 yang diadakan di Kota Tianjin, RRT, demikian Anggota Satgas Anti Kerja Paksa dari Tiongkok, Nikko Ali Akbar, kepada Antara London, Senin.
Dikatakannya kasus Kuliah Kerja di China Satgas Anti Kerja Paksa menemukan bahwa praktek ini disalurkan oleh agen di Surabaya yang menargetkan siswa-siswi lulusan SMA. Dengan iming-iming kuliah sambil kerja, banyak siswa-siswi yang terjerat dengan tawaran ini, ujarnya.
Satgas yang dibentuk PPI Kawasan Asia-Oseania beranggotakan perwakilan mahasiswa Indonesia di Tiongkok, Taiwan, Korea Selatan dan Jepang mencari informasi dan melakukan verifikasi pada mahasiswa yang menjalani program ini selama empat bulan, semenjak Februari lalu.
Satgas menemukan adanya sistem yang terorganisir dalam proses perekrutan calon mahasiswa di Indonesia hingga penempatan di negara tujuan dimana mahasiswa Indonesia diperlakukan secara semena-mena.
“Satgas menemukan praktek ini di Taiwan serta Tiongkok, dan temuan ini cukup mengejutkan kami, karena disaat antuasisme kuliah ke luar negeri begitu tinggi, ada pihak yang tidak bertanggung jawab dan menyesatkan calon mahasiswa. Kami menghimbau kepada para mahasiswa Indonesia untuk lebih berhati-hati dalam menenetukan program kuliah ke luar negeri.”
Setelah membantu pengurusan seluruh dokumen, para korban terbang menuju salah satu kota di Tiongkok bagian Selatan dengan status visa “study working”.
Setibanya disana, ada pihak yang menjemput dan membawa korban ke kampus, namun calon diminta menyerahkan sejumlah uang dengan alasan untuk biaya visa dan akomodasi. Setelah itu mereka dibawa ke sebuah pabrik.
Selama kerja kuliah, para korban diminta untuk bekerja selama lima hari dan kuliah selama dua hari. Diadakan absensi setiap harinya dan pemotongan gaji bila tidak hadir dan diwajibkan untuk kerja lembur hingga pukul 02.00 dini hari.
Gaji setiap bulannya berjumlah RMB 500 – 1000 (kurang lebih Rp 1000.000 – 2000.000), dipotong uang kuliah RMB 700 (Rp 1.400.000). Mereka hidup di pabrik secara tidak layak dan medapat sejumlah perlakuan kasar dalam keadaan paspor ditahan pihak pabrik.
Kuliah Kerja di Taiwan Pasca Viral
Sebelumnya, terjadi kasus viral serupa yang terjadi di Taiwan yang berakhir gantung karena hingga kini belum ada langkah konkrit yang diambil pihak pemerintah Indonesia.
PPI Kawasan Asia-Oseania mendesak Pemerintah Indonesia untuk melakukan kunjungan langsung ke universitas dan mahasiswa yang saat ini sedang menjalankan program ini, untuk melihat keadaan secara langsung.
Hal ini penting untuk mengetahui legalitas universitas dan program, karena menurut temuan tim Satgas, ijazah dari universitas ini tidak diakui keabsahannya.
Lebih lanjut temuan tim Satgas melihat sistem yang terorganisir dalam proses perekrutan calon mahasiswa.
Fakta yang ditemukan, Agen Pendidikan sangat aktif untuk mempromosikan kuliah di luar negeri dengan iming-iming dapat memberikan beasiswa kepada calon mahasiswa ataupun tawaran kerja dan kuliah dengan beban kuliah ringan sehingga bisa sekaligus menabung.
PPI Kawasan Asia-Oseania melihat program ini bisa saling menguntungkan bagi pihak mahasiswa Indonesia yang ingin kuliah ke luar negeri dan negara penerima.
“Merasakan tingginya antusiasme mahasiswa Indonesia untuk kuliah di luar negeri tanpa membebani orang tua, sangat disayangkan bisa terjadi kasus seperti ini, kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk turun tangan langsung. Dan mendesak Kemenristek Dikti untuk memverifikasi agen-agen pendidikan yang memberangkatan mahasiswa ke luar negeri, khususnya ke daerah Asia Timur.”
Koordinator PPI Kawasan Asia-Oseania, Galant Al Barok selaku Satgas Anti Kerja Paksa PPI Kawasan Asia-Oseania Satuan Tugas Anti Kerja Paksa merupakan inisiatif dari organisasi PPI Kawasan Asia-Oseania yang terdiri dari PPI negara Australia, Brunei Darussalam, Filipina, India, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Selandia Baru, Singapura, Taiwan, Thailand, Sri Lanka, Bangladesh.
Satgas ini beranggotakan mahasiswa Indonesia yang sedang berkuliah di Tiongkok, Taiwan, Korea Selatan dan Jepang dengan tugas utama mencari dan memverifikasi serta mendata mahasiswa Indonesia yang sedang mengikuti program Kuliah Kerja di negara Asia Timur. Saat ini, Satgas masih terus bekerja mendata sembari menyiapkan rekomendasi bagi Pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan .(ZG)
Hal itu terungkap dalam kegiatan Simposium PPI Kawasan Asia-Oseania 2019 yang diadakan di Kota Tianjin, RRT, demikian Anggota Satgas Anti Kerja Paksa dari Tiongkok, Nikko Ali Akbar, kepada Antara London, Senin.
Dikatakannya kasus Kuliah Kerja di China Satgas Anti Kerja Paksa menemukan bahwa praktek ini disalurkan oleh agen di Surabaya yang menargetkan siswa-siswi lulusan SMA. Dengan iming-iming kuliah sambil kerja, banyak siswa-siswi yang terjerat dengan tawaran ini, ujarnya.
Satgas yang dibentuk PPI Kawasan Asia-Oseania beranggotakan perwakilan mahasiswa Indonesia di Tiongkok, Taiwan, Korea Selatan dan Jepang mencari informasi dan melakukan verifikasi pada mahasiswa yang menjalani program ini selama empat bulan, semenjak Februari lalu.
Satgas menemukan adanya sistem yang terorganisir dalam proses perekrutan calon mahasiswa di Indonesia hingga penempatan di negara tujuan dimana mahasiswa Indonesia diperlakukan secara semena-mena.
“Satgas menemukan praktek ini di Taiwan serta Tiongkok, dan temuan ini cukup mengejutkan kami, karena disaat antuasisme kuliah ke luar negeri begitu tinggi, ada pihak yang tidak bertanggung jawab dan menyesatkan calon mahasiswa. Kami menghimbau kepada para mahasiswa Indonesia untuk lebih berhati-hati dalam menenetukan program kuliah ke luar negeri.”
Setelah membantu pengurusan seluruh dokumen, para korban terbang menuju salah satu kota di Tiongkok bagian Selatan dengan status visa “study working”.
Setibanya disana, ada pihak yang menjemput dan membawa korban ke kampus, namun calon diminta menyerahkan sejumlah uang dengan alasan untuk biaya visa dan akomodasi. Setelah itu mereka dibawa ke sebuah pabrik.
Selama kerja kuliah, para korban diminta untuk bekerja selama lima hari dan kuliah selama dua hari. Diadakan absensi setiap harinya dan pemotongan gaji bila tidak hadir dan diwajibkan untuk kerja lembur hingga pukul 02.00 dini hari.
Gaji setiap bulannya berjumlah RMB 500 – 1000 (kurang lebih Rp 1000.000 – 2000.000), dipotong uang kuliah RMB 700 (Rp 1.400.000). Mereka hidup di pabrik secara tidak layak dan medapat sejumlah perlakuan kasar dalam keadaan paspor ditahan pihak pabrik.
Kuliah Kerja di Taiwan Pasca Viral
Sebelumnya, terjadi kasus viral serupa yang terjadi di Taiwan yang berakhir gantung karena hingga kini belum ada langkah konkrit yang diambil pihak pemerintah Indonesia.
PPI Kawasan Asia-Oseania mendesak Pemerintah Indonesia untuk melakukan kunjungan langsung ke universitas dan mahasiswa yang saat ini sedang menjalankan program ini, untuk melihat keadaan secara langsung.
Hal ini penting untuk mengetahui legalitas universitas dan program, karena menurut temuan tim Satgas, ijazah dari universitas ini tidak diakui keabsahannya.
Lebih lanjut temuan tim Satgas melihat sistem yang terorganisir dalam proses perekrutan calon mahasiswa.
Fakta yang ditemukan, Agen Pendidikan sangat aktif untuk mempromosikan kuliah di luar negeri dengan iming-iming dapat memberikan beasiswa kepada calon mahasiswa ataupun tawaran kerja dan kuliah dengan beban kuliah ringan sehingga bisa sekaligus menabung.
PPI Kawasan Asia-Oseania melihat program ini bisa saling menguntungkan bagi pihak mahasiswa Indonesia yang ingin kuliah ke luar negeri dan negara penerima.
“Merasakan tingginya antusiasme mahasiswa Indonesia untuk kuliah di luar negeri tanpa membebani orang tua, sangat disayangkan bisa terjadi kasus seperti ini, kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk turun tangan langsung. Dan mendesak Kemenristek Dikti untuk memverifikasi agen-agen pendidikan yang memberangkatan mahasiswa ke luar negeri, khususnya ke daerah Asia Timur.”
Koordinator PPI Kawasan Asia-Oseania, Galant Al Barok selaku Satgas Anti Kerja Paksa PPI Kawasan Asia-Oseania Satuan Tugas Anti Kerja Paksa merupakan inisiatif dari organisasi PPI Kawasan Asia-Oseania yang terdiri dari PPI negara Australia, Brunei Darussalam, Filipina, India, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Selandia Baru, Singapura, Taiwan, Thailand, Sri Lanka, Bangladesh.
Satgas ini beranggotakan mahasiswa Indonesia yang sedang berkuliah di Tiongkok, Taiwan, Korea Selatan dan Jepang dengan tugas utama mencari dan memverifikasi serta mendata mahasiswa Indonesia yang sedang mengikuti program Kuliah Kerja di negara Asia Timur. Saat ini, Satgas masih terus bekerja mendata sembari menyiapkan rekomendasi bagi Pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan .(ZG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar