DUBES RAIH GELAR DOKTOR CUMLAUDE
London, 27/4 (ANTARA) - Dubes RI di Berlin Eddy Pratomo berhasil meraih gelar Doktor Ilmu Hukum dengan predikat cumlaude di Universitas Padjadjaran, Bandung di depan sidang terbuka yang dipimpin Prof. Dr. H. Yudha Bhakti.
Melalui siaran pers KBRI Berlin yang diterima Antara London, Rabu, Eddy Pratomo mengatakan lndonesia perlu segera menentukan status hukum perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional.
Promovendus yang menyampaikan disertasi berjudul "Status Hukum Suatu Perjanjian Internasional Dan Ratifikasi Dalam Praktik Indonesia Dihubungkan Dengan Pengembangan Sistem Hukum Nasional" itu mengusulkan perbaikan di dalam beberapa peraturan perundangan terkait.
"Sejak merdeka, Indonesia menjadi pihak dari ribuan perjanjian internasional tetapi hingga kini belum memiliki politik hukum nasional yang tegas," ujarnya.
Hal ini berakibat dalam tataran praktik menimbulkan kerancuan dalam tiga permasalahan utama, yaitu pengertian perjanjian internasional yg masih multi tafsir, status hukum perjanjian internasional dan konsepsi/makna ratifikasi.
Menurut Eddy Pratomo, pada pasal 11 ayat satu Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi "Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain".
Disebutkannya dalam ayat tersebut tidak memberikan kejelasan tentang politik hukum di bidang perjanjian internasional karena Pasal 11 tersebut hanya mengatur tentang pembagian kekuasaan antara Presiden dan DPR.
Ratifikasi perjanjian internasional
Sementara itu mengenai Penandatanganan Letter of Intent (LOI) antara Pemerintah Indonesia dan International Monetery Fund (IMF) tahun 1998 telah memicu berbagai pertanyaan tentang pengertian, status hukum maupun proses ratifikasi suatu perjanjian internasional.
Walau hanya berbentuk LOI, tetapi perjanjian tersebut mengatur hal yang sangat mendasar bagi kepentingan fundamental ekonomi Indonesia.
LOI IMF memicu perdebatan seru dikalangan ahli hukum maupun politisi Indonesia dan berakhir pada munculnya amandemen terhadap Pasal 11 UUD 1945 yang tercermin dalam Ayat dua.
Disebutkan "Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR".
Menurut Eddy, amandemen tersebut hanya merupakan respon terhadap persoalan politik pada waktu itu yakni perlunya perimbangan kekuasaan antara Presiden dan DPR dalam hal "treaty making powers" dan tidak dimaksudkan untuk memberikan jawaban terhadap akar masalah tentang perjanjian internasional.
Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) merupakan yurisprudensi landmark bagi perkembangan hukum perjanjian internasional di Indonesia, ujarnya.
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa kontrak kerjasama sebagai dimaksudkan dalam Pasal 11 ayat dua UU Migas tidak termasuk perjanjian internasional yang merupakan ruang lingkup Pasal 11 UUD 1945.
Sehingga hal ini dapat menjelaskan kepada khalayak, mengingat pemahaman publik tentang pengertian perjanjian internasional masih sangat minim dan beranggapan semua perjanjian yang bersifat lintas batas negara dikategorikan sebagai perjanjian internasional.
Selain itu, Eddy yang saat ini masih menjabat sebagi Duta Besar Indonesia di Jerman, menggarisbawahi masalah status hukum perjanjian internasional di dalam sistem hukum nasional.
Di beberapa negara, baik yang menganut sistem common law ataupun civil law, masalah pilihan politik hukum tersebut telah tuntas sejak akhir Perang Dunia ke-2, apakah menganut monisme ataupun dualisme, apakah melalui inkorporasi ataupun transformasi.
Sistem hukum nasional Indonesia belum mengatur secara tegas status hukum perjanjian internasional, oleh karena itu perlu penegasan politik hukum yang akan dipilih, apakah monisme atau dualisme (inkorporasi atau transformasi) atau kombinasi keduanya.
Hal lain yg juga perlu mendapat perhatian, menurut Eddy, adalah makna ratifikasi yang masih dipahami secara berbeda.
Hukum Tata Negara RI berdasarkan Pasal 11 ayat (1) UUD 1945, mengartikan ratifikasi sebagai prosedur internal yakni persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap perbuatan hukum Pemerintah dalam membuat Perjanjian Internasional.
Sementara itu Undang-Undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional mengartikannya lebih kepada prosedur eksternal yakni keterikatan Indonesia pada suatu perjanjian internasional yang biasanya ditandai dengan penyampaian instrument of ratification / accession atau exchange of notes.
Hal ini dapat mengakibatkan terjadi ketidakjelasan tentang kapan mulai berlakunya suatu Perjanjian Internasional dalam ranah hukum nasional.
Apakah pada saat berlakunya UU ratifikasi oleh DPR atau pada saat penyampaian instrument of ratification/accession oleh Pemerintah Indonesia.
Diantaranya penyempurnaan pengertian perjanjian internasional pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional agar sesuai dengan pengertian sebagaimana dimaksud dalam Konvensi Wina 1969.
Hukum Perjanjian Internasional dan Konvensi Wina 1986 tentang Perjanjian Internasional antara Negara dengan Organisasi Internasional dan Organisasi Internasional dengan Organisasi Internasional lainnya.
Selain itu perlu mengubah redaksional tentang Keuangan Negara yang semula berbunyi "Melakukan perjanjian internasional dibidang keuangan" menjadi "Melakukan perjanjian pinjaman luar negeri (dibidang keuangan)".
Konvensi Wina
Pemerintah Republik Indonesia perlu segera meratifikasi Konvensi Wina tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional karena pada dasarnya Pemerintah Indonesia melaksanakan isi Konvensi Wina tahun 1969 tersebut.
Hal ini terkait dengan status perjanjian internasional dalam hukum nasional, perlu menyempurnakan Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 dengan menambah 1 (satu) ayat baru tentang kebijakan hukum Indonesia yakni penegasan teori kombinasi (inkorporasi dan transformasi yang dilakukan secara dinamis a dynamic combination legal theory).
Usulan ayat baru dimaksud berbunyi: "Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia (inkorporasi dan transformasi) menjadi hukum nasional".
Pada ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional perlu ditambah satu ayat baru yang berbunyi: "Perjanjian Internasional yang diratifikasi dengan Undang-Undang atau dengan Peraturan Presiden mengikat Indonesia".
Selain itu perlu menambah satu ayat baru pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang berbunyi ?Status hukum suatu Perjanjian Internasional yang telah diratifikasi adalah setara dengan Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Untuk itu penyempurnaan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional untuk menjelaskan makna ratifikasi dengan menambah 1 (satu) ayat baru yang berbunyi: Pengesahan/ratifikasi meliputi prosedur internal dan eksternal.
***4*** (ZG)
(T.H-ZG/B/M027/M027) 27-04-2011 09:37:47
Tidak ada komentar:
Posting Komentar