ANTARA News
Kepedihan Oscar Dibawanya ke Tropenmuseum Amsterdam
London (ANTARA News) - Kepedihan seorang photographer ternama Indonesia, Oscar Motulah (52), agaknya dapat pula dirasakan oleh masyarakat internasional yang berkunjung ke Tropenmuseum, Amsterdam.
Karya photo Direktur Antara Press Photo Agency itu mengisi dinding lantai dua gedung museum yang sangat ternama itu -- menyiratkan kepedihan yang berasal tidak saja bencana karena kekejaman alam, tetapi juga akibat ulah manusia.
Photo hitam putih yang dipamerkan di Parkzaal Tropenmuseum, hingga November mendatang, menampilkan dua bagian, yaitu bencana akibat ulah manusia seperti kasus lumpur Lapindo Sidoarjo, Jawa Timur, dan bencana alam akibat tsunami di Aceh dan gempa bumi di Yogyakarta.
Memang gedung megah Tropenmuseum, Amsterdam itu tidak akan pernah dapat menutupi kepedihan pria kelahiran Surabaya, Jawa Timur yang dilahirkan 14 tahun setelah Kemerdekaan RI tepatnya tanggal 17 Agustus 1959 itu.
Hampir ke-14 karya photo hitam putih Oscar Motulah itu terlihat mencekam. Karyanya itu diberi judul "Soulscape Road", atau Jalan Menuju Pembebasan Jiwa.
Sebanyak empat photo di antaranya berukuran besar seluruhnya menggambarkan akibat bencana yang meluluh-lantakkan apa yang ada di bumi, bahkan tanah pun ikut terbelah-belah.
"Museum akan tutup jam enam," ujar penjual tiket di pintu masuk lantai bawah Tropenmuseum, Amsterdam, saat penulis berkunjung bersama Stania Puspawardhani, diplomat muda yang sedang training di Denhaag bersama rekan rekannya, pekan silam.
Menurut Stania, photo-photo Oscar Motulloh dalam pameran Soulscape Road memperlihatkan betapa besarnya kekuatan alam untuk menghancurkan bumi dan kesenyapan serta ketidakberdayaan manusia menghadapinya.
Oscar merekam tragedi iyu dari jarak dekat, seperti kapal apung terseret ke daratan di Lhok Nga, serta pecahnya daratan di Sidoarjo akibat lumpur panas.
"Sesuatu yang membuat kita bercermin ke dalam diri kita sendiri untuk melihat hubungan kita dengan alam," ujar Stania yang pernah magang di KBRI Brusel selama tiga bulan.
Dalam pameran itu, Direktur Eksekutif Jurnalisme Foto Galeri Antara itu, menulis, "Sejauh mata memandang, panorama yang terlihat di sana menjeritkan atmosfir penderitaan. Semacam tragedi yang menyiratkan antropologi nestapa."
Sultan Hamengkubuwono IX
Di tengah ruang pameran yang cukup luas terdapat empat foto besar setinggi dua meter. Antara lain dapat dilihat rumah yang hanya tinggal pondasinya saja. Objek itu dipotret Oscar dari atas menara mesjid.
Ada pula terlihat gambar pengemudi motor yang terlihat sebagian lengannya saja. Rupanya Oscar yang menjadi juri di sejumlah lomba fotografi dan kurator fotografi di dalam dan luar negeri, sengaja menampilkan separuh subjek manusia yang masih hidup saat itu.
Selain itu, ada pula foto yang menampilkan gambar dua kapal di daratan yang terlempar karena dahsyatnya tsunami. Serta ada pula jepretan Oscar ketika tsunami kecil yang terjadi di Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat.
Dalam pameran photo itu juga terdapat gambar patung Sultan Hamengkubuwono IX yang runtuh karena ada gempa dahsyat di Yogyakarta.
"Its very good picture, I like it," ujar gadis penjaga musuem yang sudah mengingatkan kami bahwa sebentar lagi museum akan ditutup.
Gadis blasteran Indonesia itu mengakui bahwa photo yang ada seluruhnya mengambarkan kepedihan. Kehancuran yang terjadi akibat bencana tsunami yang melanda Aceh.
"Saya sengaja tidak menampilkan manusia dalam karyanya. Ini merupakan peringatan, bahwa kita harus bersyukur masih tetap hidup sampai sekarang," kata Oscar, yang mengawali karir di bidang jurnalistik sebagai reporter di Kantor Berita Antara pada 1988.
"Kejadian di Aceh adalah peristiwa yang menyentak saya secara pribadi untuk menampilkan foto-foto ini sebagai proyek yang berkelanjutan. Ini dimaksudkan bukan untuk mengeksploitasi bencana itu sendiri. Tapi mengingatkan kembali. Jadi buat saya, ini bukan saja sesuatu yang mengenaskan tetapi bagian yang bisa mendorong atau memotviasi saya sendiri," ujarnya.
Photo-photo hitam putih karya Oscar Motulah pada awalnya dipamerkan di galeri Salihara Jakarta pada tahun lalu. Dan ini telah menggerakkan seorang kurator Belanda untuk menampilkan karya Oscar di Tropenmuseum, Amsterdam.
Menurut Oscar, bencana dari segenap penjuru bumi tetaplah sekeping momentum yang menjadi agenda alam semesta dalam siklus kehidupan. Entah yang menggelegar karena fenomena alam, maupun musibah yang terjadi karena kecerobohan manusia.
Upaya ilmu pengetahuan selalu berkejaran dengan bencana yang nyaris selalu datang tanpa peringatan waktu. Misteri yang meninggalkan pusaran falsafah perihal kearifan alam semesta.
Kolekasi photo "Soulscape Road" juga dicetak dalam bentuk buku yang diterbitkan Red & White, dan diluncurkan bertepatan dengan pameran di gallery Salihara, Jakarta, tahun lalu.
Otodidak
Oscar Motulah yang diawal karirnya memperkuat Biro Foto Antara Jakarta, mengaku pada awalnya lebih banyak belajar photografi secara otodidak.
Selain masih aktif sebagai pewarta photo, Oscar yang gemar melakukan perjalanan itu memimpin Biro Foto Antara, serta juga sebagai Kepala Museum dan Galeri Foto Jurnalistik Antara.
Ia juga ikut mendirikan Pewarta Foto Indonesia, suatu organisasi yang menghimpun seluruh pewarta photo di tanah air, selain mengajar di FFTV Institut Kesenian Jakarta, dan dosen terbang di sejumlah perguruan tinggi di tanah air.
Dia pun sering menyelenggarakan pameran dan workshop photografi dan menerbitkan sejumlah buku photografi. Aktif sebagai juri di sejumlah lomba photografi dan kurator photografi di dalam dan luar negeri.
Meskipun pada awalnya otodidak, Oscar kemudian mulai belajar photo jurnalistik di Hanoi di tahun 1991 dan di Tokyo tahun 1993.
Oscar Motulah telah menghasilkan beberapa buku photografi di antaranya "Timor Timur, A Record Fotografi", "Marinir", "Pengawal Samudra", "Tanah Bulungan" dan "Timor Timur, yang panjang dan Winding Road".
Pameran pertama, `Voice of Angkor`, diadakan di The Jakarta Pusat Kebudayaan Perancis pada tahun 1997, pameran Oscar kedua adalah "Carnaval" (1999), sebuah esai photo satir tentang pemilihan umum pertama setelah jatuhnya Presiden Soeharto. Pameran berikutnya "chanson Peripheriques" (Peripheral Songs, 2002) tentang minoritas di Perancis.
Pameran solo Oscar adalah "The Art of Dying" (2003) di Bentara Budaya Jakarta. Karyanya juga muncul dalam dua terakhir CP Biennale (2004 & 2006) dan Biennale Jakarta (2006). Ia juga menjadi editor buku photografi, "Samudra Air Mata" (An Ocean of Tears) yang diterbitkan pada bulan Februari 2005 yang menampilkan 17 photografer yang mencakup tsunami Aceh.
Baru-baru ini Oscar Motuloh menulis untuk buku photografi seperti pameran dari enam photografer tentang Aceh pascatsunami berjudul "Perjuangan Berlanjut, 100 Days On" di Galeri Antara untuk Photojournalism, sebuah pameran dan peluncuran buku, "sudut pandang" yang menampilkan karya Sigit Pramono dan Lans Brahmantyo," Soul Oddyssey".
Dan pekan lalu, karyanya pun dipersembahkan di negeri kincir angin. (ZG/KWR/K004)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar