DUA DOSEN PAPARKAN PERAN PEREMPUAN INDONESIA
London, 13/4 (ANTARA) - Dua dosen asal Indonesia, saat memberikan kuliah di Universitas Bern, Swiss, memaparkan peran perempuan dalam pembuatan kebijakan publik yang dilihat dari tiga sudut pandang berbeda yaitu dari perspektif liberal/modern, Islam, dan tradisional.
Keterangan pers KBRI Bern yang diterima ANTARA London, Rabu, menyebutkan, kedua dosen itu adalah dosen Fakultas Ilmu Sosial Politik, Universitas Gadjah Mada, Dr Siti Muti'ah Setiawati dan dosen Fakultas Ilmu Sosial Politik, Universitas Diponegoro, Dr Hartuti Purnaweni.
Kedua dosen wanita itu menyampaikan kuliah umum dengan topik "Indonesia: Gender and Politics in a Multicultural Society" yang diadakan di Universitas Bern, Swiss, dan dihadiri sekitar 50 peserta yang mayoritas dari kalangan akademisi Swiss.
Dr Hartuti Purnaweni menjelaskan bagaimana ketiga perspektif tersebut mempengaruhi peran perempuan dalam pembuatan kebijakan publik di Indonesia.
Kuliah Umum yang diadakan kerja sama Universitas Bern, Universitas Gadjah Mada, dan KBRI Bern itu mengupas tema gender dan politik di Indonesia, di mana peran perempuan di Indonesia dipengaruhi berbagai nilai dan norma yang dianut masyarakat setempat.
Selain menjadi pembicara pada Kuliah Umum di Universitas Bern, Dr Setiawati dan Dr Purnaweni juga mengadakan pertemuan diskusi dengan berbagai kalangan di Swiss, diantaranya dengan Uni Eropa, Federal Office for Gender Equality (FOGE) di Swiss, dan kalangan universitas.
Pertemuan tersebut dirasakan sangat bermanfaat bagi kedua belah pihak, dimana kedua pihak saling bertukar pikiran dan berbagi pengalaman mengenai isu gender yang sedang aktual di masing-masing negara.
Kuliah umum yang berlangsung selama satu jam setengah itu mengisi Nota Kesepahaman antara Universitas Gadjah Mada dan Universitas Bern, dibuka Dekan Fakultas Ilmu Kemanusiaan, Universitas Bern, Prof Dr Heinzpeter Znoj yang menyambut baik terselenggaranya kegiatan ini, merupakan kegiatan pertama mengisi Nota Kesepahaman antara Universitas Bern dan Universitas Gadjah Mada yang ditandatangani tahun 2008.
Isu gender
Peran perempuan yang dilihat dari sudut pandang Islam dan tradisional menjadi bahasan yang menarik karena kedua hal ini merupakan sesuatu yang asing bagi warga Swiss.
Sementara itu, Direktur FOGE, Dr Sylvie Durrer, menyebutkan perbedaan gaji yang mencolok antara perempuan dan lelaki, rekonsiliasi antara karir profesional dan keluarga, serta isu perceraian, merupakan tiga isu gender yang aktual di Swiss.
Menurut Sylvie, Tidak tersedianya tempat penitipan anak yang terjangkau di Swiss, menimbulkan konflik tersendiri bagi wanita karier, yang sekaligus berperan sebagai ibu rumah tangga.
Ia mengatakan, hanya 46 persen dari total populasi perempuan di Swiss yang bekerja penuh waktu. Rata-rata perbedaan gaji antara perempuan dan laki-laki di Swiss berkisar hingga 20 persen, dimana kaum lelaki berpenghasilan lebih tinggi.
Sementara itu, katanya, kaum perempuan di Swiss juga harus berjuang dalam periode waktu yang cukup lama, sehingga akhirnya mendapatkan hak pilih dalam Pemilihan Umum di Swiss untuk pertama kali pada tahun 1971.
Sebaliknya, kaum perempuan di Indonesia memiliki hak untuk berpartisipasi pada pemilu sejak pemilu pertama pada tahun 1955. ***6***
(ZG/C/A041)
(T.H-ZG/C/A041/A041) 13-04-2011 10:54:56
Tidak ada komentar:
Posting Komentar