Kamis, 30 Juni 2016

PPI BELANDA

PPI BELANDA: "GIANT SEA WALL" IDE USANG
     Oleh Zeynita Gibbons    

        London, 21/6 (Antara) - Diskusi Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Den Haag menyimpulkan rencana Pemprov DKI Jakarta mereklamasi pulau dan membangun "giant sea wall" sebagai pertahanan pesisir sebagai ide usang yang telah ditinggalkan negara maju, bahkan oleh Belanda. 
        Sekretaris Jenderal PPI Belanda, Ali Abdillah kepada Antara London, Selasa menjelaskan simpulan itu diperoleh dari diskusi seusai pelajar dari berbagai latar belakang keilmuan menonton film dokumentar tentang reklamasi Teluk Jakarta bertajuk "Rayuan Pulau Palsu."
       Diskusi "Reklamasi Teluk Jakarta" diadakan PPI Belanda bekerja sama dengan PPI Kota Den Haag dan Forum Diskusi Teluk Jakarta di Kampus International Institute of Social Studies, Den Haag, akhir pekan lalu.
            Mahasiswa Program Doktoral dari University of Twente, Hero Marhaento memaparkan ironi proyek reklamasi Teluk Jakarta dan "giant sea wall" yang dibantu perusahaan dan konsultan asal Belanda.
          Pasalnya, di Belanda, kata kandidat doktor bidang 'water engineering" ini, pendekatan "hard-infrastructure" seperti reklamasi pulau dan pembuatan tanggul besar semacam itu sudah lama ditinggalkan.
            Pada saat pembangunan di Belanda mulai meninggalkan konsep konvensional berupa "hard-infrastructure" seperti pembuatan tanggul raksasa atau reklamasi pulau, pakar dan konsultan Belanda malah menyarankan pembuatan "giant sea wall" bagi masalah banjir Jakarta, jelasnya.
            Dikatakannya, saat ini pertahanan pesisir di Belanda dilakukan dengan cara "sand nourishment" yaitu pembuatan jebakan pasir di wilayah rawan abarasi, bukan dengan membuat tanggul raksasa di tengah laut.
           Selain itu, upaya mitigasi banjir di Belanda justru dilakukan dengan merobohkan tanggul sungai yang sudah ada dan menggantinya dengan konsep "Room for the River".
          Dua metode tersebut terbukti jauh lebih murah, lebih efektif dan ramah lingkungan dibandingkan dengan upaya "hard-infrastructure" seperti reklamasi pulau dan pembuatan tanggul raksasa.
          Hero menjelaskan, negara maju mulai sadar bahwa pertahanan pesisir itu tak bisa dibebankan kepada tangan manusia dengan "hard- infrastructure". Upaya pertahanan pesisir dengan membangun tembok raksasa dan reklamasi pulau justru akan memunculkan masalah baru di masa mendatang.
           Edwin Sutanudjaja, post-doctoral di bidang hidrologi dari Utrecht University juga berpendapat senada.
           Ia membantah argumentasi proyek reklamasi dan pembuatan "giant sea wall" dapat menjawab persoalan banjir dan penurunan permukaan tanah di Jakarta.
           Dikatakannya, penurunan muka tanah Jakarta justru disebabkan pembangunan yang tidak terkendali. Pembangunan mal dan properti dilakukan di mana-mana, jadi solusinya bukan dengan reklamasi melainkan pengendalian pembangunan.
           Menurut Edwin akar masalahnya adalah sentralisasi Jakarta dan urbanisasi.
          Selain itu,  Edwin mengkhawatirkan Teluk Jakarta justru akan menjadi "septic tank" raksasa. Membuat tanggul raksasa artinya membendung air dari 13 anak sungai di Jakarta yang bermuara ke perairan mati.
         Senada dengan Edwin, Hero menutup diskusi dengan mengatakan reklamasi bukanlah solusi bagi Jakarta. "Untuk memperbaiki lingkungan diperlukan rehabilitasi, bukan reklamasi," ujarnya.
   
   Rayuan Pulau Palsu
   Sebelum diskusi diputar film "Rayuan Pulau Palsu," produksi WatchDoc, yang disutradarai Randi Hernando, mengisahkan  nelayan di Muara Angke harus berhadapan dengan kekuatan pemodal yang melakukan ekspansi properti lewat reklamasi di Teluk Jakarta.

        Sekretaris Jenderal PPI Belanda, Ali Abdillah mengatakan berdasarkan informasi dari WatchDoc, ini adalah ketiga kali pemutaran film "Rayuan Pulau Palsu" di luar negeri setelah di Melbourne dan London.
             Dikatakannya pemutaran film ini  untuk memberikan gambaran kepada pelajar Indonesia di Belanda bahwa ada yang salah dengan pembangunan di Jakarta.
          "Bukan kita menolak pembangunan, bukan kita tidak mau Jakarta dan Indonesia yang lebih baik, tapi kita ingin pembangunan yang memperhatikan aspek kemanusiaan dan berpihak kepada masyarakat kecil, demikian Ali Abdillah. (ZG)****
(T.H-ZG/B/A.J.S. Bie/A.J.S. Bie) 21-06-2016 04:15

Tidak ada komentar: