Kamis, 17 Mei 2018

PARIS

Temu mahasiswa doktoral Indonesia di Paris

Zeynita Gibbons

      London,8/5 (Antara) - Sebanyak 20 mahasiswa asal Indonesia yang menyelesaikan studi program doktor di Perancis mengadakan pertemuan  yang berjudul Journées Doctorants Indonésiens  membahas usulan manajemen penelitian di Indonesia dan pembentukan jaringan peneliti berasal dari Perancis.        
      Kedua puluh mahasiswa yang hadir berasal dari berbagai universitas ternama di Perancis, seperti Universitas Universitas Aix Marseille, Universitas Strasbourg, Universitas Grenoble-Alpes, Universitas Paris 1 Pantheon-Sorbonne, dan univetsitas lainnya.
           Atdikbud KBRI Paris Surya Rosa Putra kepada Antara London, Selasa menyebutkan pertemuan  digagas Atdikbud KBRI Paris bersama  beberapa mahasiswa doktoral merupakan pertemuan ketiga setelah pertemuan tahun 2014 dan  2016.          
      Pada tahun 2018, pertemuan difokuskan pada manajemen dan jejaring riset yang  untuk mendukung program riset dan inovasi Indonesia dalam era Revolusi Industri 4.0.    
       Pertemuan menampilkan empat pemakalah, masing-masing Giri Wahyu Alam dari INES (Institut National de l¿Energie Solaire) Kevin Marojahan BN dari Universitas Grenoble-Alpes, Rifan Hardian dari Universitas Aix Marseille dan Agus Budi Raharjo juga dari Universitas Aix Marseille. Keempat pemakalah menampilkan makalah  dengan judul Belajar Riset dari INES, Manajemen Sumber Daya di G2Elab Grenoble Alpes, Urgensi Kolaborasi dalam Riset, serta Mempersiapkan Revolusi Industri 4.0 Di Balik Meja Peneliti.
           Dalam presentasinya, Giri menyampaikan INES bisa dijadikan referensi pengembangan lembaga riset dari Indonesia. Sebagai institusi riset bidang energi surya ketiga terbaik dunia (setelah Amerika Serikat dan Jerman), hanya 20 persen anggaran yang berasal dari pemerintah Perancis.
          Senada dengan Giri, Kevin Marojahan  menjelaskan  45 persen anggaran riset G2Elab, memiliki empat poros riset (energi, material, pemodelan dan disain), berasal dari pihak swasta dan kerjasama. Pola ini bisa ditiru oleh institusi riset Indonesia, dengan catatan, Indonesia perlu menyiapkan program riset nasional. Pada bagian lain, Rifan Hardian,  seorang pemenang penghargaan Mahar Schützenberger 2018, berpendapat  kolaborasi riset akan ada jika terdapat kemitraan sejajar antara dua atau lebih institusi.
         Kemitraan ini bisa menyangkut jejaring dan manjemen ilmiah, finansial dan pengembangan kualitas riset. Giri menyarankan  mahasiswa doktoral Perancis bisa berperan sebagai inisiator kolaborasi, baik dengan pihak Perancis, maupun sesama mahasiswa doktoral asal Indonesia.
           Terkait dengan era Revolusi Industri 4.0, pembicara lain, Agus Budi Raharjo berpendapat  Indonesia masih tertinggal jauh dalam bidang IPTEK dan IT. Oleh karena itu,  peneliti Indonesia diharapkan  mengikuti perkembangan IPTEK dan IT terkini, tetapi selektif dalam melaksanakan penelitian. Artinya, peneliti Indonesa tidak perlu latah mengikuti trend dunia apabila tidak seusai dengan kebutuhan dan sumber daya yang ada.  
     Diskusi diikuti dengan perumusan rekomendasi diantara rekomendasi diusulkan peningkatan kolaborasi riset antar peneliti dan institusi, pemetaan pengiriman mahasiswa doktoral ke luar negeri, serta penyusunan riset yang lebih komprehensif.    
    Rekomendasi diikuti beberapa rencana aksi seperti pembuatan media komunikasi antar mahasiswa doktoral Indonesia di Perancis, pemetaan bidang unggulan Perancis, serta membuat kelompok  diskusi keilmuan. Rekomendasi dan rencana aksi  dtulis secara lengkap dalam bentuk buku dan akan disampaikan kepada Kementerian Ristekdikti.(ZG)****4***



Tidak ada komentar: