LULUSAN LUAR NEGERI BIMBANG
TENTUKAN LOKASI KARIR
Oleh Zenyta Gibbon
London, 7/2 (ANTARA) - Berkarir di
Industri atau akademik menjadi dilema bagi sebagian besar para pelajar
Indonesia di luar negeri setelah
menyelesaikan tugas belajar dan kebimbanganpun mulai menghinggapi para
lulusan muda yang harus memilih antara mengembangkan diri di luar negeri atau
kembali ke tanah air.
"Dilema ini harus ditemukan
solusinya," kata Koordinator Pusat
Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Swedia , Muhammad Mufti Azis kepada ANTARA
London, Kamis.
Azis mengemukakan hal itu dalam loka
karya yang diadakan pelajar Indonesia yang tergabung dalam PPI Swedia dalam
rangkaian acara Winter Gathering PPI Swedia 2013 yang diadakan di Stockholm, juga dihadiri oleh Dubes RI di
Swedia Dewa Made Juniarta Sastrawan.
Dia mengatakan acara workshop yang mendapat dukungan KBRI
Swedia diikuti sekitar 50 pelajar yang
tengah menuntut ilmu diberbagai daerah di Swedia seperti Stockholm, Gothenburg,
Uppsala, Lund, Karlstad, Linköping, Borås, Borlange dan juga datang dari Jerman
, Belanda , Barcelona, Spanyol, dan Copenhagen, Denmark.
Menurut
Muhammad Mufti Azis, belajar ke luar negeri merupakan impian sebagian besar pemuda
Indonesia karena akan membuka wawasan
pengetahuan dan mengejar impian. "Beragam usaha dilakukan diantaranya
dengan berkompetisi mengejar beasiswa ke luar negeri atau dengan biaya
sendiri," ujarnya.
Dikatakannya dalam acara workshop yang
diadakan PPI Swedia menghadirkan lima
nara sumber yang malang melintang dalam berkarir di luar negeri, khususnya
Swedia.
Bahkan beberapa diantaranya pernah bekerja
di Indonesia baik dalam industri maupun akademik. Kelima narasumber yang
dihadirkan dal diskusi kali ini adalah: Denny Tjahjanto, Setia Pramana,
Muhammad Reza, Yudi Pawitan dan Yusak Susilo.
Dalam diskusi terungkap salah satu
kebimbangan yang umumnya melanda lulusan master atau PhD di luar negeri adalah
memilih antara berkarir di dunia industri atau akademik.
Narasumber pertama, Denny Tjahjanto yang berlatar belakang peneliti
akademik mengungkapkan dunia penelitian akademik adalah dunia yang sangat
menarik dan tidak pernah membosankan karena permasalahan baru kerap muncul.
Selain itu dunia akademik memberi
kesempatan networking yang luas dapat diperoleh melalui kegiatan mengajar dan
konferensi, dan tak kalah penting adanya kebebasan dalam menentukan arah dan
topik penelitian.
Denny yang juga peneliti mekanika
benda padat di Kungliga Tekniska Högskolan (KTH) Stockholm mengungkapkan
berkarir akademik di luar negeri juga sarat tantangan antara lain sulitnya
mendapatkan status kerja , kebanyakan peneliti harus puas dengan status kontrak
atau sementara, ujarnya.
Gaji yang ditawarkan umumnya lebih
rendah dibanding gaji bila bekerja di industri, selain adanya tuntutan kerja
yang tinggi di beberapa negara.
Sementara itu Doktor lulusan TU Delft
Belanda menyarankan agar setiap lulusan luar negeri tetap membuka peluang di
akademik atau industri. Terkait dengan melanjutkan S3 bagi lulusan S2, program
S3 umumnya kurang diminati orang lokal dibanding karir di industri.
Dikatakannya mengambil program S-3
tidak membutuhkan otak pintar; yang penting ketekunan dan keseriusan.
Konsistensi tekad itu diperlukan untuk mengatasi semangat yang sering kali
naik-turun, ujarnya.
Sementara itu pembicara lainnya Setia
Tio Pramana memaparkan perbedaan budaya dunia akademik dan industri. Dalam hal
jam kerja, akademisi lebih fleksibel dan mandiri dalam menentukan lokasi dan
cara bekerja.
Dikatakannya karyawan industri tidak perlu
memikirkan dana untuk bekerja, sedangkan akademisi perlu mencari dana sebelum
bisa melakukan penelitian. Namun jangan khawatir, ujar Tio, sebab peneliti bisa mendapat dana
sampingan sebagai konsultan.
Perbedaan mengenai dampak dari produk yang
dihasilkan. Produk yang dihasilkan akademisi umumnya bersifat tidak langsung
dan berbentuk ide sehingga dampaknya tidak terlalu cepat, sedangkan industri
lebih tertarik untuk menghasilkan produk yang bersifat langsung dalam bentuk
produk jadi.
Di akhir presentasinya, peneliti
biostatistik di Karolinska Institute (KI) Stockholm ini menyampaikan potensi
kolaborasi antara kedua dunia yang sifatnya berbeda itu.
Jadi Dosen
Pembicara lainnya Muhammad Reza yang
bekerja sebagai pemimpin grup kerja di salah satu perusahaan peralatan listrik
raksasa dunia menekankan bahwa banyak mahasiswa Indonesia di dalam maupun luar
negeri berpikir bahwa lulusan S-3 pasti jadi dosen.
Alasan yang pertama adalah sedikitnya
teladan dari lulusan program doktor pendahulu mereka yang akhirnya berkarir di
industri. Kebanyakan di antara mereka pulang dan ingin menjadi dosen, ujar Mas
Reza,begitu Muhammad Reza akrab disapa.
Menurut Reza, jarang industri di
Indonesia yang menerima lulusan S-3. Karena banyak dosen di Indonesia akhirnya
diangkat menjadi pejabat tinggi seperti halnya Budiono, Sri Mulyani, dan Fauzi
Bowo.
Para narasumber setuju bahwa industri
di Indonesia umumnya hanya menerapkan prinsip dagang tanpa memberikan perhatian
yang besar terhadap penelitian dan pengembangan produk secara ilmiah.
Sebagai akibatnya, industri di
Indonesia tidak mampu berinovasi karena absennya budaya penelitian. Akibatnya
bagi dunia akademik, para peneliti mengalami kemacetan untuk menyalurkan
ide-idenya dan bahkan jarang sekali hasil penelitian yang akhirnya
dikomersialkan. Keduanya berjalan sendiri-sendiri dan menjauhi satu sama lain,
demikian Mas Reza. (ZG)
(T.Z. Gibbons/B/M. Sunyoto/M.
Sunyoto) 07-02-2013 16:41:24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar