PPI
DENHAAG BAHAS NASIONALISME ANAK MUDA
Oleh
Zeynita Gibbons
London, 20/2 (Antara) - Para pelajar Indonesia yang tergabung dalam
PPI Den Haag mengelar diskusi ilmiah bertema "Nasionalisme Anak
Muda di Era Globalisasi," dalam upaya membuka wacana
nasionalisme mahasiswa Indonesia yang ada di luar negeri.
Diskusi menampilkan Sekjen PPI Belanda Ridwansyah Yusuf Achmad dan
dua mahasiswi Jurusan "International and European Law di Haagse
Hogeschool", yaitu Ivy Londa dan Gina Bestari, demikian Ketua
Bidang Media Informasi dan Komunikasi PPI Belanda, Ryvo Octaviano
kepada Antara London, Rabu.
Ridwansyah Yusuf menyebutkan istilah "nasionalisme" itu
sangat abstrak dan sulit untuk diukur. Namun, negara bisa berkembang
jika rakyatnya memiliki nasionalisme, yaitu kesadaran bahwa mereka
memiliki identitas dan berkeinginan untuk mengembangkan identitas
tersebut.
Menurut Ridwansyah, justru di luar negeri, jiwa nasionalisme
mahasiswa Indonesia diuji. Untuk itu disampaikannya hal-hal kecil
yang bisa dilakukan sebagai perwujudan nasionalisme.
Misalnya berbicara, menulis, bernyanyi, membuat puisi dan lainnya
yang dapat menjadi perwujudan rasa nasionalisme itu. Sekecil apapun
itu, jika berniat untuk melakukannya buat Indonesia, hal itu sudah
merupakan nasionalisme.
Diakuinya setiap manusia memiliki potensi dan tujuan yang
berbeda-beda. Namun yang penting adalah bagaimana menggunakan potensi
untuk mengekspresikan nasionalisme.
Sementara itu, Gina Bestarimengajak mahasiswa Indonesia di Den Haag
untuk berkarya secara sederhana, yaitu dengan belajar dan
menyelesaikan tugas dengan baik. "Selama kita memegang identitas
sebagai orang Indonesia, kemanapun kita pergi, apapun prestasi yang
kita dapat, nantinya akan mengharumkan nama Indonesia," ujarnya.
Gina menekankan peran "silent nationalism" dibandingkan
dengan nasionalisme yang harus berkoar-koar di luar sana.
Menurut Gina, pemuda Indonesia harus siap dengan globalisasi yang
terus berjalan dan menuturkan generasi muda mempunyai peran untuk
mengubah keadaan bangsa. "Oleh sebab itu, apa yang menjadi
kontribusi para pemuda akan menentukan nasib Indonesia ke depannya,"
katanya.
Sedangkan Ivy Londa memulai pembahasannya mengenai "cyber
nationalism" yang merasa bahwa meskipun hanya duduk di depan
komputer dan meng'update' status tentang Indonesia di facebook atau
twitter, hal itu sudah merupakan awal yang baik.
Meskipun di dalam kehidupan nyata, mungkin pengguna sosial media
tidak melakukan banyak hal. Tetapi, Ivy merasa "cyber
nationalism" itu sudah merupakan awal yang baik yang perlu juga
dihargai agar dunia luar bisa lebih mengenal Indonesia.
Di
akhir penuturannya, Ivy mengajak audiens untuk berpikir apakah "cyber
nationalism" bisa disebut "true nationalism".
Dalam diskusi yang berjalan hangat ditengah musim dingin di Eropa,
para peserta mengajukan pertanyaan serta memberikan masukan yang
diantaranya setuju nasionalisme banyak bentuknya dan tergantung
identitas.
Setelah selesai kuliah di Belanda ini apakah akan pulang atau tidak,
itu harus kembali lagi ke pribadi masing-masing. Rama Manusama
misalnya, mengatakan dia bisa lebih mengembangkan diri di Belanda,
tetapi bukan berarti dia tidak peduli sama Indoenesia.
Dia aktif melakukan transfer ilmu kepada rekan-rekan di Indonesia.
Rama percaya bahwa ini sudah termasuk nasionalisme, karena diaspora
Indonesia seperti ini memiliki andil yang luar biasa dalam
pengembangan bangsa.
Selanjutnya audiens mengenalkan istilah global village. Ketika
ditanyakan dimana penempatan nasionalisme Indonesia dalam keadaan
seperti ini. Audiens dan pembicara sepakat bahwa Indonesia perlu
terbuka terhadap globalisasi.
Hal ini ditunjukkan keberhasilannya Bung Karno ketika mengumpulkan
negara-negara berkembang di Konferensi Asia Afrika di Bandung.
Intinya memang kita tidak bisa menutup diri dan mencoba berdiri
sendiri. Kita perlu terbuka terhadap globalisasi¿ demikian
Ridwansyah Yusuf. ***1***
(T.H-ZG/C/S.
Muryono/S. Muryono) 20-02-2013 13:45:39
Tidak ada komentar:
Posting Komentar