KONFERENSI ISLAM TAWARKAN ISLAM SEBAGAI SOLUSI
Colchester, 9/2 (ANTARA) - Konferensi Islam ke-3 yang digelar Islamic Society, sebuah lembaga mahasiswa Muslim di University of Essex, menawarkan Islam sebagai solusi.
Konferensi itu merupakan kelanjutan dua konferensi sebelumnya pada 2008: A journey to Islamic values dan 2007: Islam as a moderate religion, ujar Amika Wardana, dosen jurusan Pendidikan Sejarah dari Universitas Negeri Yogyakarta yang mengambil program Doktor Sosiologi di University of Essex, kepada koresponden Antara London, Minggu.
Amika mengatakan, konperensi yang mengusung tema "Islam beyond the veil?" itu menampilkan lima pembicara di mana empat di antaranya merupakan British Muslim dan seorang ahli psikologi pendidikan dari Kerajaan Saudi Arabia.
Sekretaris Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Inggris Raya itu menyatakan apresiasinya pada kegiatan yang digelar University of Essex dan juga mempertanyakan apakah Islam betul-betul memberikan solusi untuk berbagai masalah dalam kehidupan masyarakat Barat sekarang ini.
Amika, yang mengkaji interaksi antarkomunitas Muslim di Inggris Raya khususnya antara yang berasal dari Indonesia, Pakistan dan Arabia, mengatakan bahwa setiap Muslim baik secara individu maupun sebagai sebuah komunitas harus menyadari bahwa mereka adalah bagian dari kompleksitas dunia ini.
Dikatakannya, untuk terlibat aktif dalam menyelesaikan masalah dunia ini, bukan saatnya lagi menerapkan strategi konfrontasi, membuat perbedaan yang tidak tersatukan antara Islam dan barat yang tidak Islami.
"Model Clash of Civilisation yang digunakan oleh mantan Presiden George W. Bush dan juga Osama Bin Laden adalah bukan cara yang tepat untuk menghadirkan kedamaian di bumi ini," ujar suami Norma Sari Wardana itu.
Menurut Amika yang menyelesaikan master di University of Nottingham Graduate pada 2007 itu, cara berpikir semacam itu hanya akan menciptakan kehancuran dan pertentangan yang tidak akan pernah terselesaikan dalam kehidupan manusia.
Ia juga mengharapkan komunitas Muslim di Indonesia yang mayoritas mengambil pelajaran dari komunitas-komunitas Musim yang minoritas di Eropa.
Muslim harus mampu menampilkan Islam sebagai nilai lebih dalam kehidupan pribadi dan masyarakatnya baik itu ketika menjadi kelompok mayoritas maupun minoritas, ujarnya.
Slogan
Ketua Islamic Society University of Essex Abdullah Al-sheddy mengatakan, konferensi dengan polemik yang di sampaikan sejarahwan Bernard Lewis, menempatkan Islam yang bukan saja sebagai agama tapi juga sebagai way of life (pandangan hidup) yang berkembang dalam keseluruhan materi konferensi.
Dubes RI untuk Qatar Rozi Munir tahun lalu diundang khusus untuk mengikuti konperensi yang tahun ini dihadiri lebih dari 300 undangan yang separuhnya adalah warga Inggeris.
British Muslim Abdul Raheem Green sebagai pembicara pertama mengatakan, pernyataan Islam sebagai solusi kehidupan manusia modern masih tampak sebagai slogan belaka dan membutuhkan kerja keras dari kalangan muslim untuk mewujudkannya.
"Nilai solutes Islam juga harus lebih realistis pada beberapa masalah tertentu saja bukan untuk semua masalah," ujar pria kelahiran Daar-es-Salaam Tanzania dari keluarga Agnostik-Katolik.
Menurut Abdul Green, menempatkan Islam sebagai satu-satunya solusi bagi semua masalah adalah sebuah kesalahan yang dikemudian hari malah menjadi boomerang bagi masa depan Islam.
Dikatakannya apabila Muslim menginginkan sikap toleran dari masyarakat Kristen-Katolik dan juga pro-sekularisme di Inggris, maka Islam juga harus menunjukkan toleransinya kepada agama-agama yang lain.
Sedangkan pembicara lainnya Khola Hasan dan Dr. Yahya Al-Baheth, masing-masing membahas tentang pentingnya implementasi atau diakuinya Hukum Islam khususnya berkaitan dengan perkawinan dan warisan di Inggris dan peran penting keluarga dalam menciptakan generasi Muslim yang kuat.
Khola, penyandang master dalam bidang Perbandingan Hukum Internasional dari SOAS (School of Oriental and African Studies) ini mengingatkan perempuan Muslim adalah kelompok yang rentan menjadi korban tidak diakuinya Hukum Islam dalam sistem hukum di Inggris.
Banyak perempuan yang pernikahannya tidak terdaftar di Civil Magistrate tidak mendapatkan bagian pensiun dari suaminya yang meninggal atau tidak bisa menuntut cerai karena suaminya melakukan tindak kekerasan, ujar Khola Hasan.
Sementara itu Tarek El-Diwany, konsultan di bidang perbankan dan keuangan Islam ini mengkritik merajalelanya riba dalam sistem keuangan dan perbankan dunia.
Menurutnya, resesi ekonomi global yang terjadi saat ini adalah satu dampak dari masih dipertahankannya riba. Akibatnya, semua orang dari seluruh negara di dunia ini, dan khususnya negara dunia ketiga memiliki beban hutang dan tidak mungkin bisa dilunasinya karena adanya praktek riba dalam sistem keuangan dunia.
Secara khusus alumni program studi Akuntasi dan keuangan dari University of Lancaster ini mencontohkan Indonesia yang harus sekuat tenaga menguras seluruh sumber daya alamnya untuk membayar hutang ke negara-negara maju Eropa barat dan Amerika utara.
Diakhir ceramahnya, Tarek menegaskan Sistem Perbankan Syariah pun masih mempraktekkan sistem riba ini meskipun dengan nama lain. Ini hanya permainan semantik saja, tapi keduanya (sistem perbankan konvensional dan syariah) masih berdasarkan riba.
Konferensi ini ditutup dengan paparan Dr. Muhammad Abdul Bari, Sekretaris Jendral Muslim Council of Britain yang menuding media Barat yang terus menerus menampilkan narasi teror dalam pemberitaan media berkenaan dengan Islam dan Muslim.
Adalah menjadi kewajiban setiap Muslim di manapun dia berada untuk bekerja keras menunjukkan bahwa keislamannya bukanlah ancaman bagi orang lain.
Pernyataan ini ditanggapi Abdul Raheem Green yang mengingatkan bahwa setiap Muslim di Inggris selayaknya mengenal semua tetangga di mana dia tinggal, mengunjungi ketika ada yang terkena musibah dan menawarkan bantuan apabila ada yang membutuhkan.
"Bukankah ini diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW," katanya.
(U.H-ZG/B/A041)
(T.H-ZG/B/A041/A041) 09-02-2009 03:47:11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar