Jumat, 06 Februari 2009

TKI DI INGGRIS

TKI DI TENGAH MARAKNYA PHK DI INGGRIS

Oleh Zeynita Gibbons

London, 5/2 (ANTARA) - Maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) seiring dengan krisis ekonomi yang melanda Karajaan Inggris (UK) belakangan ini ternyata tidak berimbas pada tenaga kerja Indonesia (TKI) di Britania Raya.

Istilah 'British Job for British People,' tampaknya tidak berlaku bagi TKI yang telah lama bekerja di berbagai perusahaan di Inggris dan juga menjadi staf pengajar di berbagai universitas ternama di Kerajaan Ratu Elizabeth itu.

"Paling tidak ada tujuh staf pengajar Indonesia yang menjadi dosen di Inggris," ujar Dono Widiatmoko yang mengajar di University of Salford, tidak jauh dari kota Manchester, Inggeris.

Selain Dono, Sekretaris ICMI UK, juga ada Hadi Susanto yang menjadi dosen matematika di University of Nottingham yang dikenal dengan kota Robin Hood, serta Yanuar Nugroho yang menjadi staf pengajar di University of Manchester.

Selain menjadi staf pengajar, TKI juga banyak berkecimpung di bidang teknologi informasi (IT), perusahaan penerbitan, serta konsultan yang bergabung dalam IndoExpat UK, Forum Komunikasi Indonesian Expatriate di UK.

Salah satu TKI yang bekerja di bidang konsultan ialah Iswandaru Widyatmoko yang bergabung dengan Scott Wilson, perusahaan konsultan sipil multinational Inggris.

Menurut Iswandaru Widyatmoko, ia merasa beruntung bergabung dengan Scott Wilson, atas rekomendasi dari 'riset supervisor' saat dia lulus S3 pada tahun 1998.

"Kondisi yang menguntungkan, saya memiliki keahlian yang unik dan dibutuhan di UK, sehingga saya langsung diterima sebagai 'engineer' penuh," ujar suami Bety Navitasari yang berdomisili di Notthingham.

Hal yang menarik di perusahaan ini adalah setiap staf dinilai dari sisi kompetensi, komitmen terhadap perannya di perusahaan dan hasil kerjanya, ujar pria kelahiran Desember 1968 itu.

Baik staf lokal maupun tenaga asing semua diperlakukan sama, baik fasilitas maupun penghargaannya, ujar Mas Daru, panggilan akrab Iswandaru Widyatmoko.

Daru yang pernah bekerja sebagai 'Research Assistant' di Sheffield Hallam University itu menilai, orang Inggris di perusahaan di tempat dia bekerja, cukup terbuka dan fair dalam menerima orang dari negara lain.

Tamatan ITB tahun 1992 itu mengakui perusahaan tempat ia bekerja tidak segan untuk mencarikan izin kerja bagi orang asing, bila keahliannya sesuai dengan kebutuhan.

"Teman sekantor saya banyak juga yang bukan orang Inggris, di antaranya dari Malaysia, Singapura, Srilangka, Syria, Pakistan. Paling nggak, cukup multikultural," ujar ayah empat anak yang mengatakan di kantornya ada sekitar 250 staf.

Daru mengakui bahwa karir yang dijalaninya melaju pesat, karena dalam waktu setahun ia sudah dipromosikan untuk menjadi 'senior engineer', tiga tahun kemudian menjadi 'principal engineer' dan tiga tahun berikutnya menjadi 'associate director'.

Etika kerja
"Mungkin hal ini karena etika dan kerja keras dan efisien, di samping langkanya keahlian yang saya miliki. Bahkan saat ini saya duduk di komite pengolahan British Standard untuk material bitumen/aspal," ujar Mas Daru.

Diakuinya, budaya 'learned society' sangat kental di UK. "Kaum profesional saling berbagi pengalaman dan diskusi melalui 'events' seminar atau kongres," ujar Daru yang berhasil menyelesikan PhD, Highway Engineering, Sheffield Hallam University, UK di tahun 1998, dengan tesis "The Performance of Polymer Modified Bituminous Mixtures".

Menurut Daru, perlakukan yang sangat fair itu juga ditunjukkan perusahaan dengan pemberian beberapa kali kesempatan jalan-jalan keluar negeri bagi semua karyawannya, termasuk yang non-Inggris, dengan biaya kantor tentunya.
Menurut dia, kondisi keuangan bidang konstruksi secara umum di Inggris saat ini memang sedang sulit. Karena itu, banyak perusahaan konstruksi yang gulung tikar ataupun terpaksa mem-PHK staf mereka.

Daru mengaku bahwa situasi di perusahaannya pun terimbas oleh resesi ekonomi, sehingga beberapa sektor dari perusahaan terpaksa melakukan PHK.

Namun, ia bersyukur tim yang dikelolanya selalu sibuk, karena proyek di bidang infrastruktur, terutama pemeliharaan jalan raya, jembatan dan airport, selalu ada, meskipun volumenya agak berkurang.

Bahkan, akhir akhir ini menteri transportasi memajukan waktu pelaksanaan proyek 'major maintenance and upgrade' beberapa ruas jalan utama, sehingga proyek di bidang infrastuktur selalu berkesinambungan setidaknya untuk setahun ke depan.

"Meski demikian, saya paham bahwa Inggris saat ini masuk resesi, dan pada saat sulit seperti ini 'flexibility' dan 'versatility' dari etos kerja kita akan teruji," demikian Iswandaru Widyatmoko.

Sementara itu, Agung Mandala, yang bekerja di Colchester, Essex sebagai Hardware Design Engineer mengakui bahwa saat ini di UK profesi 'engineer' bukanlah pilihan utama dari para pencari kerja.

Mereka lebih memilih bekerja di bidang banking, investment bank, dan institusi finansial lain, ujar suami Atu Rosalina Sagita, pemain bulutangkis Indonesia yang hijrah ke Inggeris.

Hal ini menyebabkan kurangnya tenaga engineer pada akhir dekade 1990, di mana Inggris sedang mulai bangkit dari krisis ekonomi di awal tahun 1990.

Akibatnya, tenaga enginering diberikan kepada tenaga kerja dari luar UK dan Uni Eropa, terutama untuk tenaga medis seperti dokter, perawat dan juga dokter gigi, serta engineer, IT programmer, ujar pria kelahiran Banjarnegara pada bulan Mei 1978 itu.

Untuk bisa masuk UK sebagai tenaga professional, pada saat itu seseorang harus mendapat tawaran pekerjaan dari perusahaan di UK, ujar Agung.
Dari tawaran tersebut, perusahaan akan mengajukan pembuatan 'Working Permit' yang hanya berlaku untuk bekerja di perusahaan itu saja. Dengan bekal surat 'Working Permit' dari 'Home Office' seseorang bisa mengajukan visa (izin tinggal) ke kedutaan Inggris.

Perusahaan harus memenuhi persyaratan tertentu untuk bisa mengajukan 'Working Permit' untuk pegawai professional dari negara lain, terutama yang bukan berasal dari Uni Eropa.

Agung mengakui bahwa saat ini pengajuan 'Working Permit' sudah semakin dipersulit karena kebutuhan tenaga kerja tidak sebesar pada awal dekade ini.
Sebagai gantinya, seseorang bisa mengajukan izin tinggal dan bekerja berdasarkan profesi dan sistem poin tingkat pendidikan, gaji di negara asal, kemampuan bahasa, dan sebagainya, ujar Agung yang pernah bekerja di Switchlab Ltd., London di awal tahun 2001.

Diskiriminasi
Secara profesional, manajemen perusahaan UK tidak akan mendiskriminasi pekerja dari luar Inggris, ujar Agung yang juga pernah bekerja di Automatrix Ltd Bandung (1998-2000). Hal itu juga diakui oleh Daru.
Baik Agung muapun Daru sepakat bahwa orang Inggeris menghargai ide-ide baru yang diberikan, memberikan beban pekerjaan yang proporsional, dan juga memberikan penghargaan yang sesuai.

Hanya saja, ujar Agung lagi, kesulitan utama untuk masuk dalam level manajemen, sesorang tidak hanya harus memiliki latar belakang profesi yang bagus, tetapi juga terampil dalam melakukan pendekatan kepada pihak perusahaan dan staf lainnya.

Selain itu, batasan kultur juga menjadi kendala bagi TKI untuk bisa lebih berbaur dengan rekan kerja di Inggris, ujar peraih Master in Electronic Systems Engineering dari ITB Bandung itu.

Dalam kondisi krisis ekonomi, banyak perusahaan di Inggris belakangan ini mengalami kesulitan keuangan. Karena itu sebagian di antaranya terpaksa menghapuskan bonus, mengurangi jam kerja, mengurangi rekrutmen, dan bahkan sampai mem-PHK karyawannya.

Untunglah hal tersebut tidak sampai berimbas secara langsung kepada sejumlah TKI yang bekerja di Inggris.

(U-ZG)

(T.H-ZG/B/H-KWR/H-KWR) 05-02-2009 22:11:52

Tidak ada komentar: