Rabu, 10 Mei 2017

DWIBAHASA

BAHASA INDONESIA ATAU BAHASA INGGRIS Oleh Zeynita Gibbons
          London, 6/5 (Antara) - Wati merasa sulit mengajak kedua putra hasil perkawinannya dengan Steven Halesworth, yaitu Alex dan William, untuk berbahasa Indonesia. Ini karena kedua putra mereka yang masih berusia di bawah 10 tahun itu sehari-hari di sekolah berbicara bahasa Inggris.
         Begitupun dengan Isabel, putri dari Armenia Listiana, yang kini beranjak remaja, juga sulit untuk diajak komunikasi dengan bahasa Indonesia.
         Lama menetap di negeri orang tidaklah berarti harus melupakan bahasa Ibu atau bahasa Indonesia, sebagai bahasa yang dipenuhi oleh kaitan emosi dan perasaan. Bahasa Ibu atau bahasa pertama akan tetap lebih mampu mengungkapkan rasa ketika bertutur dengan sesama.
         Hal itu terungkap dalam diskusi yang digelar Kantor Atase Pendidikan dan Kebudayaan (Atdikbud) Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) London dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional. Diskusi itu menampilkan pembicara Nick Andon dari King's College London dan Geoff Roberts dari Cambridge University serta Dadang Sudana dan Iwa Lukmana dari Indonesia.
         Dubes RI untuk Inggris Raya dan Irlandia, Dr Rizal Sukma, dalam sambutannya menyatakan saat ini banyak sekali orang tua yang sudah mulai abai terhadap bahasa anak-anaknya. Sudah tidak terlalu jelas lagi bahasa utama yang dipakainya. Tampaknya, prinsip utama mereka adalah kelancaran berkomunikasi di antara mereka sendiri.
         Kekhawatiran Dubes Rizal Sukma sangat beralasan. Oleh karena itu, Dubes menyambut gagasan mengadakan seminar atau diskusi tentang kedwibahasaan yang diprogramkan melalui kantor Atdikbud London untuk  mengingatkan semua tentang makna dan hakikat serta fungsi dari masing-masing bahasa yang dimiliki. "Kita sering kali ambil mudahnya saja dalam berbahasa", ujar Dubes Rizal, seraya menambahkan, "apalagi, dalam kaitan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional, kita betul-betul disadarkan kembali akan pentingnya pengaruh pendidikan secara umum dan pendidikan bahasa khususnya terhadap pembentukan watak generasi mendatang".
         Sebagai bahasa perjuangan dan bahasa nasional, bahasa Indonesia tetap memiliki tempat khusus dalam benak warga Indonesia, khususnya mereka yang lama tinggal di Inggris. Tidak ada alasan untuk tidak mempertahankan kemampuan dalam kedua bahasa itu. Namun, hal ini tidak berarti abai pada kepentingan untuk menguasai bahasa asing.
         Demikian salah satu butir kesimpulan dari Seminar Kedwibahasaan dan Pendidikan Dwibahasa yang diselenggarakan oleh Kantor Atase Pendidikan dan Kebudayaan (Atdikbud) Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) London, Selasa (2/5).
         Acara yang diadakan di gedung KBRI yang tidak jauh dari gedung Parlemen Inggris Westminster itu berkaitan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei. Acara itu diikuti mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan magister dan doktor, keluarga Indonesia di Inggris, istri diplomat KBRI London, pemerhati pendidikan, dan masyarakat Inggris.
         Dubes Rizal Sukma menyatakan saat ini banyak sekali orang tua yang sudah mulai abai terhadap bahasa anak-anaknya. Sudah tidak terlalu jelas lagi bahasa utama yang dipakainya. Tampaknya, prinsip utama mereka adalah kelancaran berkomunikasi di antara mereka sendiri. Oleh karena itu, lanjut Duta Besar, gagasan untuk mengadakan seminar atau diskusi tentang kedwibahasaan yang diprogramkan melalui kantor Atdikbud London ini merupakan upaya untuk mengingatkan semua pihak tentang makna dan hakikat serta fungsi dari masing-masing bahasa yang dimiliki. "Kita sering kali ambil mudahnya saja dalam berbahasa," ujar Dubes Rizal.
         Di sisi lain, Dubes Rizal Sukma mengajak para peserta untuk tidak lupa terhadap jati diri yang paling hakiki sebagai warga Indonesia, yang saat ini kebetulan sedang berada di Inggris. "Toh, suatu saat akan tetap kembali ke Indonesia, atau akan tetap mengingat Indonesia", ujarnya.
         Lebih jauh Dubes Rizal Sukma menyinggung peran penting bahasa yang mestinya bukan hanya sebagai alat komunikasi dan identitas diri, namun dalam konteks kepentingan diplomasi, justru bahasa menjadi sangat instrumental.
         Dalam paparannya Nick Andon dan Geoff Roberts mengungkap model dan praktik pendidikan kedwibahasaan yang terjadi di lingkungan keluarga dan sekolah-sekolah di Inggris. Mereka menyebutkan praktik kedwibahasaan di dalam keluarga Inggris seringkali tergerus kepentingan komunikasi anak-anak di lingkungan yang lebih luas. Dalam keluarga yang melakukan kawin silang atau ayah-ibu dari etnis yang sama pun, mereka lebih terdorong untuk mengutamakan bahasa Inggris sebagai bahasa pergaulan sehari-hari, baik di rumah apalagi di luar rumah. Namun, banyak keluarga seperti ini masih tetap mempertahankan bahasa ibu atau bahasa nasional mereka dengan alasan ikatan emosional dan psikologis dengan tanah leluhur atau keluarga.
         Dari survei yang mereka lakukan, ternyata para keluarga ini masih memiliki harapan kuat untuk bisa menurunkan kemampuan berbahasa ibu atau bahasa nasional kepada generasi berikutnya. "Baik orang tua maupun anak-anak, pada akhirnya akan merasa menyesal kalau mereka tidak mampu berbahasa Ibu atau bahasa nasional orang tuanya," ujar Nick Andon yang juga dosen senior pendidikan bahasa Inggris di King's College ini.
         Sementara itu, sambil menyinggung praktik pendidikan bahasa Inggris di sekolah-sekolah Indonesia, Dadang Sudana dan Iwa Lukmana menyebutkan makna di balik praktik penggunaan bahasa Inggris dalam program rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI).
         Dihapuskannya RSBI bukanlah karena bahasa Inggris tidak penting atau gagalnya model praktik pendidikan kedwibahasaan tersebut. Namun, lebih karena pertimbangan akses ke sekolah dengan label RSBI tersebut yang tidak dapat dikatakan terbuka dan merata untuk seluruh warga negara Indonesia. Padahal, akses yang sama kepada pendidikan yang berkualitas haruslah menjadi bagian hak yang sama bagi semua warga.
         Terkait dengan pendidikan bahasa Inggris di sekolah, survei yang dilakukan Dadang dan Iwa kepada para orang tua dan siswa menunjukkan baik orang tua maupun siswa melihat pengajaran bahasa Inggris di kelas-kelas awal persekolahan memberikan keuntungan baik untuk pengembangan kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), maupun konatif (perilaku) para siswa. Artinya, pendidikan kedwibahasaan pada tahap awal tidak diyakini mengganggu atau menghambat perkembangan intelektual pembelajar, bahkan sebaliknya.
         "Pembelajar akan terangsang untuk semakin kreatif dan berkembang optimal", ujar Dadang. Khusus terkait dengan kekhawatiran pengaruh belajar bahasa asing, terutama bahasa Inggris sejak dini, yang ditengarai dapat menggerus nasionalisme siswa, survei mereka menunjukkan bahwa hal itu tidak terlalu beralasan.
         "Motif belajar bahasa Inggris hanya sampai pada tahap instrumental, bukan motif integratif. Artinya, belajar bahasa Inggris hanya diarahkan untuk mencapai tujuan belajar, mencari pekerjaan, atau tujuan-tujuan lainnya, bukan mengidentifikasi diri sebagai orang atau meniru budaya Inggris," tambah Iwa yang pernah menjadi bagian tim pengembangan bahasa Inggris di sekolah-sekolah tingkat nasional.
         Sementara itu, Atdikbud London, Prof E Aminudin Aziz, menyatakan Seminar ini dilaksanakan selain memperingati Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2017, menyambut permulaan diajarkannya bahasa Indonesia di sekolah-sekolah Inggris.
         Dalam pandangan Aminudin yang juga guru besar Linguistik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, kedwibahasaan merupakan salah satu ciri masyarakat Indonesia pada umumnya. Sejak kecil orang Indonesia dipajankan atau dibiarkan pada situasi dwibahasa. Oleh karena itu, gejala dwibahasa merupakan gejala yang sangat umum di kalangan masyarakat Indonesia.
         Hanya saja, menurut Aminudin, sering kali kita lupa memperlakukan masing-masing bahasa dan menempatkannya sesuai dengan fungsi dan konteks penggunaannya. Dengan demikian, sering sekali kita rancu dalam berbahasa.
         Seminar yang untuk pertama kalinya diselenggarakan ini memperoleh tanggapan luas khususnya dari masyarakat Indonesia yang sudah lama menetap di Inggris. Mereka sering dihadapkan pada pilihan sulit untuk mengajarkan bahasa Ibu atau bahasa Indonesia kepada keturunannya. "Sering sekali saya merasa bingung kalau harus berbicara dengan anak-anak saya dalam bahasa Indonesia. Sepertinya kosakata bahasa Indonesia belum cukup handal untuk mengungkapkan sejumlah konsep," ujar Lenah yang sudah puluhan tahun menetap di London dan lebih banyak menggunakan bahasa Inggris kepada anak-anak dan suaminya.
         Namun, Felicia, seorang warga Indonesia yang juga aktivis pengajaran bahasa Indonesia di sekolah dan juga penulis buku cerita anak dalam bahasa Indonesia dan Inggris, menyatakan bahwa "ketetapan untuk berbahasa Indonesia sesungguhnya lebih banyak ditentukan oleh kesadaran dan kebanggaan kita terhadap bahasa Indonesia itu sendiri. Pilihan ada pada kita".
         Mulai kuartal musim panas 2017 ini ada dua sekolah di London yang secara resmi mengajarkan bahasa dan budaya Indonesia kepada para muridnya. Kedua sekolah itu adalah St Matthew's CE Primary School di wilayah Westminster dan Whitefield School di wilayah Barnet. Keberhasilan melakukan penjajagan pengajaran bahasa Indonesia di kedua sekolah ini tidak terlepas dari usaha keras yang dilakukan Atdikbud KBRI London melobi sekolah-sekolah.

         Menurut Dubes Rizal Sukma, tidak mudah menawarkan pelajaran masuk ke dalam kurikulum sekolah, apalagi untuk bahasa Indonesia yang bukan merupakan bahasa penduduk mayoritas di Inggris. Bersedianya sekolah mengajarkan bahasa dan budaya Indonesia merupakan wujud keberhasilan luar biasa dalam diplomasi bangsa Indonesia di sini, dari sisi budaya. (ZG) ***4***
(T.H-ZG/B/T. Susilo/T. Susilo) 06-05-2017 20:58:11

Tidak ada komentar: