Senin, 10 Mei 2010

PENGAMAT POLITIK: SISTEM POLITIK INGGRIS PUNYA KELEMAHAN

PENGAMAT POLITIK: SISTEM POLITIK INGGRIS PUNYA KELEMAHAN

London, 9/5 (ANTARA) - Pengamat politik Syahrul Hidayat mengatakan Pemilu di Inggris tahun ini menggambarkan betapa sistem politik di Kerajaan Ratu Elizabeth itu memiliki beberapa kelemahan yang selama ini dianggap kurang mendapat perhatian yang serius.

Hal itu disampaikan kandidat Doktor University of Exeter UK ketika diminta tanggapannya mengenai pemilihan umum yang tengah berlangsung di Inggris yang dalam beberapa hari ini menghiasi media masa Inggris seperti televisi dan surat kabar.

Kepada koresponden Antara London, Minggu, mantan Ketua Pengawas Pemilu di Inggris dan Irlandia itu mengatakan bahwa sistem "first past the post" berbasiskan constituency yang dianut selama ini membuat sistem kepartaian cenderung mengarah kepada sistem dwi partai.

Syahrul Hidayat mengatakan mereka yang mewakili setiap constituency adalah mereka yang memperoleh suara terbanyak dan selama ini selalu menghasilkan dua partai yang selalu saja bergantian untuk berkuasa yaitu Conservative atau partai konservatif dan Labour atau Partai Buruh.

"Tak banyak peluang yang bisa diraih oleh partai di luar keduanya untuk memenangkan constituency dan melenggang ke parlemen di Westminster," ujar pengajar di Departemen Ilmu Politik FISIP UI.

Menurut dia, hanya partai yang memiliki reputasi panjang dan memiliki reputasi luas secara nasional yang mampu membangun jaringan di pelosok negeri yang memberikan harapan untuk memberikan perubahan signifikan terhadap kebijakan di Westminster.

"Kegagalan Partai Liberal Demokrat untuk mengirim wakil, pertanda dua partai (konservatif dan buruh) tersebut masih sulit untuk diganggu dan membuat sistem politik Inggris hanya terpaku pada keduanya," ujar mantan Ketua Pengawas Pemilu di Inggris dan Irlandia
Ia menjelaskan, kegagalan Partai Liberal Demokrat itu juga menandai adanya keterwakilan pemilih yang kurang seimbang, dimana jumlah pemilih partai itu secara nasional bisa mencapai 23 persen namun pemilih sebanyak itu hanya diwakili secara nyata di Westminster oleh 57 wakilnya atau tak mencapai 10 persen dari total 650 kursi di Parlemen.

Sementara Partai Konservatif yang hanya meraih 37 persen suara secara total justru meraih 47 persen kursi parlemen.

Masalah kedua itu juga memberi kontribusi terhadap "tak mulusnya" demokrasi ala Inggris ini, ujar Syahrul yang tengah melakukan riset mengenai Manajemen Dampak Moderasi Partai-partai Politik di Turkey dan Indonesia di Institute of Arab and Islamic Studies University of Exeter UK.

Syahrul Hidayat mengakui bahwa hal itu semakin menguatkan desakan dari berbagai pihak, bahkan dari beberapa partai sendiri untuk melakukan perubahan sistem pemilihan umum.

"Sebenarnya masalah ini tidak melulu menjadi masalah jika partai-partai tersebut terbiasa melakukan koalisi. Walaupun telah menjadi suatu ketentuan yang memungkinkan, toh tradisi politik Inggris tak terbiasa dengan tradisi koalisi," katanya.

Sejarah koalisi
Menurut Syahrul Hidayat, sebelum 2010, Inggris hanya mengenal sejarah koalisi pada tahun 1974 dan itupun berakhir dengan "kegagalan" yang memaksa diadakannya pemilu ulang beberapa bulan kemudian hanya untuk kembali bertanya kepada rakyat: siapa yang pantas membentuk pemerintahan dan menjadi perdana menteri.

"Tradisi ini seolah-olah berkata bahwa mereka yang tidak memperoleh kursi mayoritas tidaklah pantas memimpin negara itu," ujarnya .

Ia mengatakan, saat ini terjadi dimana Partai Konservatif yang memenangkan kursi terbanyak diputuskan belum mendapat mandat penuh dari rakyat untuk menjadi perdana menteri.

Nampaknya, menurut dia, yang membuat parlemen menjadi menggantung (hung parliament) bukanlah komposisi yang dihasilkan dalam pemilu kali ini namun sistem itu sendiri yang memberikan peluang terjadinya situasi itu.

"Tetapi jika tabu-tabu politik tertentu yang selama ini ada dapat dihilangkan komposisi parlemen hasil pemilu ini tak selamanya menghasilkan ketidakpastian," katanya.

Ketika ruang negosiasi terjadi antara Partai Konservatif atau Partai Buruh, dengan Liberal Demokrat maupun beberapa partai kecil termasuk anggota parlemen pertama dari Green Party, menjadi sesuatu yang biasa bukan tidak mungkin parlemen segera menemukan komposisi baru yang mendapat dukungan mayoritas dari parlemen, ujarnya.

Syahrul mengatakan yang perlu dibiasakan nampaknya adalah melakukan negosiasi "platform" politik.

"Jika ini sudah menjadi sesuatu yang biasa, tanpa adanya partai mayoritas sebenarnya istilah 'hung parliament' tidak perlu menjadi hantu politik yang perlu dihindari, melainkan perlu dihadapi dan dibiasakan," kata Syahrul Hidayat.

(T.H-ZG/B/B013/B013) 09-05-2010 05:53:52

Tidak ada komentar: