Masyarakat Desa jadi frontier Pembangunan SDM
News ID: 336821
London (ANTARA) - Masyarakat Desa bisa dijadikan frontier dalam melakukan rekonstruksi pasca Firehose of Falsehood (FoF) karena dalam konteks masyarakat desa “less corrupted,” dari pada masyarakat perkotaan.
Hal itu terungkap dalam seminar Big Question Forum digelar Forum Inovator 4.0 untuk jaringan Eropa yang diadakan di University of Cambridge, Inggris,akhir pekan.
Acara bertema mengenai pembangunan sumber daya manusia yang dibagi dalam dua sesi. Sesi pertama adalah mengenai Pembangunan SDM pasca Firehose of Falsehood (FoF) yang diisi Ketua Umum Inovator 4.0 Indonesia, Budiman Sudjatmiko,
Dalam sesi ini dibahas langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk rekonstruksi pasca Firehose of Falsehood.
Acara yang dipandu, Ketua jaringan Eropa Inovator 4.0 Indonesia, Ahmad Mukhlis Firdaus membahas mengenai apa yang terjadi pada masa pilpres kemarin.
Seperti yang sudah sering dibahas, Teknik Firehose of Falsehood patut diduga digunakan di Pilpres 2019 kemarin. Setelah menjabarkan mengenai faksi-faksi masyarakat seperti apa saja yang kemarin bertarung dalam Pilpres kemarin, ditinjau dari ideology dissemination matrix (incentive models dan new values).
Budiman membagi kelompok masyarakat tersebut dalam empat quadrant, Transformed Society, Subordinated Society, Pragmatism Driven Society dan Stagnated Society.
Teknik FoF membuat masyarakat menjadi tersegregasi (segregated society). Teknik FoF ini membuat kebencian menadikan masyarakat tersekat-sekat. “Dampak FoF ini akan menjadi permanent ketika isu-isu keadilan dan kesejahteraan tidak berhasil di perbaiki,” ujar Budiman .
Dalam paparannya, Budiman mengatakan kalau masyarakat Desa bisa dijadikan frontier dalam melakukan rekonstruksi karena dalam konteks masyarakat desa less corrupted dari pada masyarakat perkotaan dan menjelaskan mengenai faksi social dalam masyarakat.
Dalam sesi berikutnya adalah mengenai peningkatan layanan kesehatan di Indonesia. Sesi ini diisi Muhammad Hanifi, kandidat Doktor untuk bidang rekayasa genetic di University of Oxford dan Vincentius Aji, kandidat Doktor untuk bidang Structural Biology di University of Cambridge.
Keduanya membahas mengenai potensi penggunaan informasi Genomic dalam layanan kesehatan di Indonesia. Hanifi memaparkan mengenai informasi Genomic seperti BRCA1 dan BRCA2 yang diidentifikasi berkaitan erat dengan kanker payudara.
BRCA1 dan BRCA2 adalah gen manusia menghasilkan protein penekan tumor. Orang yang mewarisi mutasi pada BRCA1 dan BRCA2 cenderung mengembangkan kanker payudara dan ovarium pada usia yang lebih muda daripada orang yang tidak memiliki mutasi ini. Mutasi BRCA1 atau BRCA2 yang berbahaya dapat diwarisi dari ibu atau ayah seseorang.
Untuk itu Hanifi memaparkan ketika sesorang diidentifikasi memiliki BRCA1 dan BRCA2 biasanya dokter akan merekomendasikan untuk melakukan pemeriksaan secara berkala meskipun ia dalam keadaan sehat pada saat tersebut.
Hanifi menjabarkan pada saat ini pemerintah UK sedang menginisiasi whole genome sequencing untuk mendapatkan data-data genomic dari masyarakat UK.
Menurut Hanafi, tindakan ini dapat menekan biaya universal health care yang harus ditanggung oleh pemerintah dari NHS.
Hanafi mengusulkan untuk pemerintah Indonesia melakukan langkah yang sama. Mengingat tanggungan BPJS untuk kanker adalah kedua tertinggi setelah Kanker.
Sementara Aji menyampaikan pemaparan mengenai kompleksnya informasi genomic ini. Sehingga ada baiknya pemerintah berhati-hati sebelum mengambil langkah ini.(ZG)
Hal itu terungkap dalam seminar Big Question Forum digelar Forum Inovator 4.0 untuk jaringan Eropa yang diadakan di University of Cambridge, Inggris,akhir pekan.
Acara bertema mengenai pembangunan sumber daya manusia yang dibagi dalam dua sesi. Sesi pertama adalah mengenai Pembangunan SDM pasca Firehose of Falsehood (FoF) yang diisi Ketua Umum Inovator 4.0 Indonesia, Budiman Sudjatmiko,
Dalam sesi ini dibahas langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk rekonstruksi pasca Firehose of Falsehood.
Acara yang dipandu, Ketua jaringan Eropa Inovator 4.0 Indonesia, Ahmad Mukhlis Firdaus membahas mengenai apa yang terjadi pada masa pilpres kemarin.
Seperti yang sudah sering dibahas, Teknik Firehose of Falsehood patut diduga digunakan di Pilpres 2019 kemarin. Setelah menjabarkan mengenai faksi-faksi masyarakat seperti apa saja yang kemarin bertarung dalam Pilpres kemarin, ditinjau dari ideology dissemination matrix (incentive models dan new values).
Budiman membagi kelompok masyarakat tersebut dalam empat quadrant, Transformed Society, Subordinated Society, Pragmatism Driven Society dan Stagnated Society.
Teknik FoF membuat masyarakat menjadi tersegregasi (segregated society). Teknik FoF ini membuat kebencian menadikan masyarakat tersekat-sekat. “Dampak FoF ini akan menjadi permanent ketika isu-isu keadilan dan kesejahteraan tidak berhasil di perbaiki,” ujar Budiman .
Dalam paparannya, Budiman mengatakan kalau masyarakat Desa bisa dijadikan frontier dalam melakukan rekonstruksi karena dalam konteks masyarakat desa less corrupted dari pada masyarakat perkotaan dan menjelaskan mengenai faksi social dalam masyarakat.
Dalam sesi berikutnya adalah mengenai peningkatan layanan kesehatan di Indonesia. Sesi ini diisi Muhammad Hanifi, kandidat Doktor untuk bidang rekayasa genetic di University of Oxford dan Vincentius Aji, kandidat Doktor untuk bidang Structural Biology di University of Cambridge.
Keduanya membahas mengenai potensi penggunaan informasi Genomic dalam layanan kesehatan di Indonesia. Hanifi memaparkan mengenai informasi Genomic seperti BRCA1 dan BRCA2 yang diidentifikasi berkaitan erat dengan kanker payudara.
BRCA1 dan BRCA2 adalah gen manusia menghasilkan protein penekan tumor. Orang yang mewarisi mutasi pada BRCA1 dan BRCA2 cenderung mengembangkan kanker payudara dan ovarium pada usia yang lebih muda daripada orang yang tidak memiliki mutasi ini. Mutasi BRCA1 atau BRCA2 yang berbahaya dapat diwarisi dari ibu atau ayah seseorang.
Untuk itu Hanifi memaparkan ketika sesorang diidentifikasi memiliki BRCA1 dan BRCA2 biasanya dokter akan merekomendasikan untuk melakukan pemeriksaan secara berkala meskipun ia dalam keadaan sehat pada saat tersebut.
Hanifi menjabarkan pada saat ini pemerintah UK sedang menginisiasi whole genome sequencing untuk mendapatkan data-data genomic dari masyarakat UK.
Menurut Hanafi, tindakan ini dapat menekan biaya universal health care yang harus ditanggung oleh pemerintah dari NHS.
Hanafi mengusulkan untuk pemerintah Indonesia melakukan langkah yang sama. Mengingat tanggungan BPJS untuk kanker adalah kedua tertinggi setelah Kanker.
Sementara Aji menyampaikan pemaparan mengenai kompleksnya informasi genomic ini. Sehingga ada baiknya pemerintah berhati-hati sebelum mengambil langkah ini.(ZG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar