AMNESTY INTERNASIONAL
PUJI KOMNAS HAM SOAL ACEH
Oleh Zeynita
Gibbons
London, 16/8
(Antara) - Amnesty International memuji temuan Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM) terkait persoalan konflik di Aceh, karena
temuan itu menawarkan harapan bagi para korban konflik Aceh.
Hal itu
diungkapkan Josef Roy Benedict, Campaigner - Indonesia &
Timor-Leste, Amnesty International Secretariat dalam keterangannya
yang diterima Antara London, Jumat, terkait peringatan ulang tahun
kedelapan berakhirnya konflik Aceh pada 15 Agustus 2013.
Dalam
publikasi terbaru, Amnesty Internasional yang bermarkas di London itu
menyebut "Tiada Perdamaian Tanpa Keadilan (No Peace without
Justice)" dengan adanya masih adanya korban dan anggota keluarga
yang dibiarkan tanpa mengetahui kebenaran tentang konflik.
Terkait
sejumlah kasus pelanggaran HAM oleh pasukan keamanan yang disoroti
Amnesty itu, ada beberapa perkembangan positif dalam menyelesaikan
warisan konflik, seperti investigasi kunci potensial oleh Komnas HAM
terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan pasukan keamanan di Aceh.
Konflik Aceh
antara gerakan pro-kemerdekaan bersenjata Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
dan pemerintah Indonesia berlangsung sejak 1976, dan memuncak selama
operasi militer antara 1989 hingga 2005.
Konflik
tersebut menelan korban begitu besar bagi penduduk, meninggalkan
korban jiwa antara 10.000 dan 30.000 orang, di antaranya adalah
penduduk sipil.
Temuan baru
Komnas HAM, diluncurkan awal Agustus menduga "pelanggaran HAM
yang berat" dilakukan militer selama konflik.
Sementara itu,
Deputi Direktur Asia Pasifik Amnesty International, Isabelle Arradon,
menyebutkan delapan tahun setelah konflik Aceh berakhir, para korban
dan keluarga menyambut baik situasi keamanan yang lebih baik.
Namun, mereka
tidak bisa memahami mengapa tuntutan akan kebenaran, keadilan, dan
reparasi masih diabaikan, karena itu Presiden Yudhoyono yang mengawal
perjanjian damai pada tahun 2005 untuk mengakhiri konflik itu harus
menunjukan komitmennya bagi perdamaian jangka panjang dengan memenuhi
tuntutan para korban sebelum berakhir di tahun depan.
Sebuah langkah
penting ke depan, katanya, adalah dengan mengajukan suatu pernyataan
maaf secara formal dan publik kepada semua korban-korban pelanggaran
HAM masa lalu.
Apalagi,
Komnas HAM memeriksa lima kasus penting dari masa konflik Aceh,
termasuk kasus insiden Simpang KKA 1999 ketika militer menembak mati
21 pengunjuk rasa, dan penyiksaan dan perlakuan kejam terhadap
tahanan di pos militer Rumoh Geudong di Pidie pada 1997-1998.
Komnas HAM
akan melanjuti investigasi dengan meluncurkan penyelidikan yang
berujung pada proses penyidikan dan penuntutan di Pengadilan HAM.
Menurut
Isabelle Arradon, perkembangan terbaru dalam Komnas HAM itu merupakan
hal yang positif dan menunjukkan bahwa urusan ini masih hidup dan
memerlukan perhatian.
Amnesty
mendesak Komnas HAM untuk menjamin temuan-temuan yang menawarkan
beberapa harapan nyata bagi akuntabilitas. "Kami melihat
Parlemen Aceh menganggap serius pembentukan komisi kebenaran, secara
khusus di hadapan situasi dimana nyaris kehendak politik tidak ada di
tingkat nasional," ujarnya.
"Parlemen
Aceh harus memastikan rancangan qanun ini dibahas, disahkan, dan
diimplementasikan sesegera mungkin dan komisi kebenaran bekerja
sesuai dengan standar dan hukum internasional. Sebuah produk hukum
tersebut bisa merupakan suatu langkah besar menuju keadilan bagi para
korban konflik Aceh".
Komnas HAM
juga, menurut laporan, menemukan bahwa para penyintas dan keluarga
mereka belum menerima reparasi yang efektif dan menyeluruh dari
pemerintah.
Hal ini
mencerminkan penelitian Amnesty Internasional dalam laporan berjudul
"Saatnya Menghadapi Masa Lalu: Keadilan bagi pelanggaran HAM di
Provinsi Aceh, Indonesia" menemukan langkah terbatas untuk
mengompensasikan para korban tidak cukup memadai. ***2*** (ZG)
(T.H-ZG/B/E.M.
Yacub/E.M. Yacub) 16-08-2013 06:12:53
Tidak ada komentar:
Posting Komentar