AMNESTY
MINTA DISKRIMINASI TERHADAP PEREMPUAN DIHAPUSKAN
London 25/8 (ANTARA) - Amnesty International dan CEDAW Working
Group Indonesia (CWGI) menyampaikan surat terbuka kepada Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Agum Gumelar
mengenai implementasi kewajiban HAM Indonesia berdasarkan Konvensi
PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan.
Hal itu disampaikan Deputi Direktur Asia-Pasifik Koordinator CEDAW
Working Group Indonesia (CWGI), Isabelle Arradon Estu Fanani dalam
keterangannya kepada Antara London, Minggu .
Surat terbuka Amnesty Internasional yang bermarkas di London juga
diteruskan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Amir
Syamsuddin, Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi serta Menteri
Kesehatan, Nafsiah Mboi dan Ketua Kaukus Perempuan Parlemen RI,
Usmawarnie Peter.
Dalam surat terbuka Amnerty Internasional menyebutkan Komite PBB
tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
(Komite CEDAW), kelompok ahli yang bertugas meninjau implementasi
CEDAW, mengeluarkan kesimpulan pengamatannya setelah meninjau
perkembangan Indonesia dalam melindungi dan mempromosikan hak
perempuan.
Komite mengekspresikan keperihatinannya atas serangkaian hal di mana
Indonesia dinilai gagal dalam memenuhi kewajibannya berdasarkan
Konvensi CEDAW, serta membuat serangkaian rekomendasi untuk
memperbaiki penghormatan dan perlindungan hak-hak perempuan dan anak
perempuan.
Namun, satu tahun kemudian, banyak dari rekomendasi yang bertujuan
memberantas diskriminasi dan kekerasan berbasis jender yang masih
belum diimplementasikan, dan juga, kurangnya pemahaman mengenai
rekomendasi diantara institusi pemerintahan.
Kegagalan mengambil langkah nyata mengatasi diskriminasi dan
kekerasan berbasis jender, yang direkomendasikan Komite, membuat anak
dan perempuan terus terpapar resiko pelanggaran HAM yang terus
menerus, serta komitmen pemerintah melindungi dan mempromosikan
hak-hak mereka patut dipertanyakan.
Di antara banyak kekhawatiran Komite, salah satunya adalah kehadiran
hukum dan peraturan yang diskriminatif di tingkat nasional dan lokal.
Komite mengekspresikan kekhawatiran mengenai aturan dalam
Undang-Undang Perkawinan misalnya terkait poligami dan usia menikah,
serta hadirnya peraturan lokal yang mendiskriminasi perempuan,
termasuk di Provinsi Aceh.
Komite merekomendasikan untuk mencabut atau mengamandemen semua
Undang-Undang dan peraturan semacam itu dalam jangka waktu yang
jelas. Lebih lanjut, Komite secara khusus meminta Indonesia mengirim
laporan dalam kurun waktu dua tahun mengenai langkah yang sudah
diambil untuk meninjau UU Perkawinan dan untuk mencabut tanpa
penundaan peraturan yang diskriminatif di Aceh.
Komite CEDAW juga menyatakan keperihatinannya yang mendalam mengenai
apa yang digambarkan sebagai "kemunduran serius" terkait
praktik mutilasi kelamin perempuan (MKP) dan merekomendasikan pihak
berwenang Indonesia mengadopsi peraturan yang mengkriminalkan praktik
tersebut.
Selain itu Komite CEDAW menyoroti kekhawatiran yang mendalam dengan
masih berlangsungnya kekerasan, penganiayaan dan eksploitasi yang
dialami pekerja migran perempuan secara terus menerus di negara
penerima dan di tangan agen penyalur jasa tenaga kerja yang
memfasilitasi .
Komite membuat serangkaian rekomendasi bertujuan memberikan
perlindungan yang lebih baik pada hak-hak pekerja migran, namun dari
penelitian Amnesty International mengindikasikan banyak pekerja
rumah tangga Indonesia yang terus menjadi korban perdagangan manusia
dan kerja paksa oleh penyalur jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI).
Dan pemerintah gagal dalam menjalankan kewajibannya untuk secara
layak meregulasi dan ketika diperlukan, menghukum mereka yang
merugikan pekerja rumah tangga tersebut, serta mengambil tindakan
terhadap agen penyalur yang terlibat dalam aktivitas tersebut.
***4***
(ZG)
(T.H-ZG/B/E.S.
Syafei/E.S. Syafei) 25-08-2013 06:31:14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar