MENGAPA
MESTI MALU PUNYA ANAK GAY
Oleh
Zeynita Gibbons
Peneliti masalah gender, sosiologi keluarga, migrasi
serta studi LGBT (lesbian, gay, biseksual, transeksual) terutama
studi gay, Wisnu Adihartono Reksodirdjo mengakui keluarga yang
mempunyai anak dengan kelainan, tidak perlu merasa malu.
Wisnu Adihartono Reksodirdjo yang tengah menyelesaikan
PhD bidang sosiologi di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales
(EHESS) Marseille, Prancis, mengemukakan hal itu sehubungan dengan
peringatan International Day Againts Homophobia and Transphobia
(IDAHO) pada 17 Mei.
Penerima beasiswa Pemerintah Prancis (BGF) dan Beasiswa
Unggulan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia itu
sangat tertarik dengan sosiologi gender, sosiologi keluarga,
sosiologi migrasi, studi LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transeksual)
terutama studi Gay.
Wisnu Adihartono Reksodirdjo saat ini sedang menulis
disertasi tentang gay Indonesia yang tinggal di Paris, berkenaan
dengan migrasi dan dukungan keluarga.
Dikatakannya, tidak bisa dipungkiri bahwa sebuah sistem
kepercayaan gender (Gender Belief System) ada di hampir semua negara.
Bahkan sistem ini sudah sangat membudaya dan dipraktikkan dalam
keseharian.
Dinamika ini menciptakan perbedaan seksual yang cukup
tajam antara laki-laki dan perempuan, yang pada akhirnya kelompok
selain laki-laki dan perempuan yaitu kelompok homoseksual dipaksa
mengadopsi sistem ini, karena dianggap paling cocok dan sempurna
dengan norma heteroseksualitas.
Hal itu menurut sosiolog Gagnon dan Simon dinamakan
Naskah Seksual (Sexual Scripts), di mana seksualitas diproduksi,
dibagi, dan dipaksakan sebagai norma sosial dan dijadikan cetak biru
(blue print) untuk perilaku yang benar.
Menurut Wisnu, seorang sosiolog Perancis, Emile
Durkheim, pernah mengatakan, di dalam sebuah aksi sosial terdapat
cara-cara sebuah 'society' dalam bertindak, berpikir dan merasakan,
di mana cara-cara ini berada di luar individu dan bersifat cukup
memaksa.
Dari pemikirannya tersebut muncul orientasi-orientasi
normatif yang terdiri atas peraturan-peraturan yang terstruktur, yang
harus diikuti oleh 'society', di mana yang tidak mengikuti peraturan
tersebut akan dikenakan sanksi.
Bagi kelompok homoseksual, hal ini berdampak pada
berlakunya stigmatisasi di dalam diri mereka yang merupakan hasil
dari ekspresi hubungan yang hierarkis dan terstruktur pada tatanan
'society' yang heteroseksual.
Menurut dia, apa yang dirasakan kelompok minoritas
seksual, membuat sebagian dari mereka dan atau teman-teman mereka
bermigrasi ke luar negeri, salah satunya ke Paris.
"Beberapa responden yang saya temui di Paris
menceritakan bagaimana mereka dapat sampai di Paris," katanya.
Kepindahan para gay Indonesia ke Perancis, dalam hal ini
ke Paris, dipicu oleh globalisasi karena memang tidak bisa dipungkiri
bahwa globalisasi membawa efek migrasi besar-besaran umat manusia
dari satu kota ke kota lain, dari satu provinsi ke provinsi lain,
bahkan sampai dari satu negara ke negara lain.
Ada tiga alasan kepindahan mereka ke Prancis, yaitu
melanjutkan studi sarjana strata 1, master atau doktoral dengan atau
tanpa beasiswa, tidak sengaja berwisata ke Prancis, ataus engaja
pergi ke Prancis karena stres dan depresi dengan alasan perceraian
orang tua.
Ketiga alasan ini dibarengi dengan pertemuannya dengan
laki-laki Prancis yang mengajak untuk pindah dan hidup bersama di
Paris.
Sementara di Belanda banyaknya migrasi LGBT Indonesia ke
Belanda karena alasan keterikatan batin secara historis dengan
Belanda.
Belanda bagi kelompok LGBT Indonesia sebagai negara yang
sangat permisif terhadap semua orientasi seksual, bahkan pernikahan
sesama pun juga dilegalkan di Belanda.
Tidak ada alasan khusus yang membuat mereka tidak
berfikir untuk bermigrasi ke Belanda. "Semua hanya kebetulan
saja," kata
mereka,
padahal komunitas LGBT Indonesia yang bermukim di Belanda cukup
banyak.
Pada kenyataannya, setelah tinggal di Prancis dengan
pasangan masing-masing (dengan atau tanpa PACS, sebuah peraturan
legal yang mengizinkan pasangan sesama hidup serumah), mereka dapat
beradaptasi dengan budaya dan masyarakat Prancis, tanpa meninggalkan
asal di mana mereka dilahirkan.
Yang kemudian menjadi penting dalam penelitian Wisnu
adalah bagaimana hubungan mereka dengan keluarga di Indonesia, dalam
hal ini keluarga nuklir ayah, ibu, kakak/adik, dalam kerangka
dukungan keluarga.
Dalam sistem keluarga di dalam masyarakat Indonesia,
anak adalah sebuah anugerah sekaligus harta. Posisi anak dari bayi,
kecil hingga dewasa dan tua, tidak dapat dilepaskan begitu saja dari
pola interaksi dengan keluarga inti.
Menyikapi dukungan keluarga yang dilakukan, terdapat
hubungan bidireksionalitas di dalamnya antara profider (keluarga inti
di Indonesia) dan 'receiver' (gay Indonesia di Paris).
Kecanggihan tekhnologi masa kini dengan kecepatan
internet, membuat interaksi-interaksi terus berjalan melalui chatting
skype, YM, Whatsapp, Line, FB Message, dan Twitter.
Sampai tahap ini dari 20 gay Indonesia yang ditemui,
hanya ada beberapa yang sudah memutuskan hubungan dengan keluarga di
Indonesia.
Inisiatif pemutusan interaksi dilakukan oleh keluarga di
Indonesia karena mereka malu memiliki anak laki-laki yang gay.
Menurut Wisnu, yang dapat diambil dari persoalan migrasi
dan pemaknaan interaksi-interaksi ini yaitu bahwa masyarakat
Indonesia kontemporer semakin khawatir tentang homoseksualitas,
adalah benar adanya.
Stigma ini menjadi begitu kuat tertancap di dalam diri
mereka, sehingga kelompok homoseksual tidak diberi kesempatan
(hampir) sama sekali untuk berkontribusi terhadap negara.
Ruang bagi mereka sudah (seperti) tertutup sehingga apa
yang mereka lakukan selalu dipersalahkan. Maka tidak begitu
mengherankan apabila mereka berusaha bermigrasi ke luar negeri untuk
mencari penghidupan yang baik.
Sayang tidak ada data statistik yang dikeluarkan lembaga
nasional dan internasional tentang berapa persen kelompok minoritas
seksual Indonesia yang sudah bermigrasi. Data statistik hanya
terbatas pada persentase migrasi perempuan, bukan LGBT.
Sebagai sumber ketenangan hidup, nampaknya bagi mereka
sebagai individu Indonesia, peran keluarga tidak dapat dikesampingkan
sama sekali.
Hidup di negeri orang dengan orientasi seksual yang
menurut masyarakat Indonesia sarat dengan atmosfir ketabuan, membuat
mereka membutuhkan dukungan keluarga.
Yang menarik adalah bahwa sebenarnya ada dari sebagian
dari mereka yang ingin pulang ke Indonesia dan berkumpul dengan
keluarga, tetapi apa daya.
Indonesia kontemporer semakin tidak mengizinkan
keberadaan mereka, padahal pada masa Indonesia kuno (sewaktu
Indonesia masih bernama Nusantara), homoseksualitas diizinkan
keberadaannya, bahkan disakralkan, seperti Bissu di masyarakat Bugis
di Sulawesi Utara.
Bahkan ada beberapa tradisi di Indonesia yang menyerupai
pederasti, seperti Warok Gemblak dalam tradisi tari Reog di Ponorogo,
Jawa Timur.
Dia berharap, penelitian yang dilakukannya akan membuka
pemikiran masyarakat Indonesia untuk tidak langsung memberi stigma
terhadap kelompok homoseksual.
"Kita tidak tahu, mungkin saja ada sahabat kita
yang homoseksual. Bagi negara, permasalahan banyaknya migrasi
kelompok minoritas seksual Indonesia ke luar negeri, merupakan
masalah yang cukup pelik, karena kepergian mereka berdampak
ketidakinginan pemerintah untuk merangkul mereka sebagai warga negara
Indonesia.
***4***
(ZG)
Kaswir
(T.H-ZG/B/Kaswir/Kaswir)
17-05-2013 20:14:26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar