Film “Nyanyian Akar Rumput” tarik perhatikan Di London
News ID: 623140
London (ANTARA) - Film Nyaniyan Akar Rumput (2018) yang mengambil judul dari salah satu puisi Wiji Thukul dibuat tahun 1988 mengisahkan haru biru istri dan kedua anak Thukul dalam menjalani hidup setelah suami dan/atau ayah mereka dinyatakan hilang menarik perhatian penonton memenuhi gedung bioskop, Curzon Sinema London, Sabtu.
Film Nyanyian Akar Rumput film dokumenter yang disutradarai Yuda Kurniawan Premier pertama kali di Inggris dengan judul The Song of Grassroots menceritakan kisah anak muda Fajar Merah yang berusia 21 tahun adalah putra Wiji Thukul, seorang aktivis penyair dan hak asasi manusia yang terkenal dan dihormati yang 'dihilangkan' oleh rezim diktator Soeharto pada tahun 1998.
Setelah 16 tahun, Fajar masih tidak memiliki petunjuk mengenai nasib ayahnya, dan tidak tahu apakah ayahnya bahkan masih hidup. Tidak ingin melupakan ayahnya, Fajar, dengan bantuan anggota bandnya membuat album musik dengan lirik lagu yang diambil dari puisi ayahnya sebagai cara untuk mengingatnya, dan menyinari pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Film Nyaniyan Akar Rumput (2018) merupakan salah satu dari lima film diputar dalam Festival film Indonesia yang diadakan Indonesian Film Society (IFS) dibuka dengan film Dua Garis Biru , Turah, 27 Steps of May dan ditutup dengan pemutaran Bumi Manusia yang diangkat dari novel Pramoedya Ananta Toer berlangsung selama tiga hari dari 22 hingga 24 November
Usai pemutaran film Nyanyian Akar Rumput digelar diskusi menghadirkan Dr. Gareth Stanton, pengajar di Goldsmiths College, University of London dan Lenah Susianty, mantan wartawan BBC Seksi Indonesia di London dimoderatori kritikus film dan direktur program LMIFF Eric Sasono
Menuruh pembicara film Nyanyian Akar Rumput sangat relevan dan bikin sedih karena banyak PR soal HAM belum dikerjakan. “Soal penghilangan Wiji Thukul dan penculikan serta pembunuhan aktivis Indonesia yang sampai sekarang masih belum dituntaskan adalah noda besar untuk Indonesia,” ujar Lenah Susianty.
Dikatakannya percuma ada kemajuan ekonomi, infrastruktur dan lain kalau tidak diimbangin dengan penghargaan terhadap HAM.
Pemerintah saat ini selain masih tidak bisa menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di masa lalu, juga sekarang malah mendukung impunitas dengan mengangkat orang yang diduga kuat sebagai otak di balik penculikan dan pembunuhan aktivis menjadi menteri, ujar Lenah Susianty.
Film Nyanyian Akar Rumput ini mengingatkan semua pelanggaran itu tercatat dan terdokumentasikan. Film dokumenter semacam ini harus diperbanyak dan ditonton semua orang, agar kita tidak pernah lupa apa yang terjadi dan menagih pertanggungjawaban pemerintah. Jangan sampai pengorbanan orang seperti Wiji Thukul sia-sia, demikian Lenah.
Direktur program LMIFF Eric Sasono mengatakan tema yang menyatukan film-film dalam festival ini adalah perlawanan para karakter dalam film terhadap struktur yang menekan mereka, apakah itu masyarakat, rezim, ataupun kapitalisme. “Tema semacam ini relatif akrab bagi orang dari berbagai latar belakang budaya, karena tekanan ekonomi politik yang besar merupakan sesuatu yang dialami oleh banyak orang di berbagai belahan dunia,” ujar Eric Sasono.
Film lain nya menarik perhatian para pengamat film Indonesia di London adalah film Turah yang sempat mewakili Indonesia ke ajang Oscar 2016 dan meraih Asian Feature Film Special Mention dalam Singapore International Film Festival 2016. Turah menceritakan tentang kehidupan masyarakat Kampung Tirang, Tegal yang mengalami isolasi selama bertahun-tahun yang kemudian memunculkan berbagai problema. Sedangkan 27 Steps of May berkisah tentang proses seorang perempuan korban perkosaan dan ayahnya dalam mengatasi trauma dan luka-luka batin karena kejinya tragedi yang mereka alami juga menarik pengamat film di London. Film ini meraih New Hope Award dan penghargaan aktor terbaik (Lukman Sardi) di Malaysia International film Festival.
Profesional muda di London, Amina Cali, yang menonton film 27 Steps of May menyatakan tidak menyangka film yang ditontonnya sangat menarik. "Saya belum pernah menonton film Indonesia. Selama inI film dari Asia yang saya tahu hanya Korea. Saya kagum sekali, tidak menyangka film Indonesia sebagus dan semenggugah ini, " ujar Amina proyek manager dan juga seorang graphic designer tentang film 27 Steps of May.
Sementara itu Rayya Makarim, mengatakan sebagai filmmaker ia mencoba mengangkat tema-tema yang relevan yang mungkin susah dibicarakan di Indonesia. Karena itu saya sangat senang “27 Steps of May” diputar di London dan juga di negara-negara lainnya karena isu kekerasan seksual dan trauma adalah isu universal yang dialami oleh perempuan di seluruh penjuru dunia.
LMIFF berlangsung atas prakarsa Indonesian Film Society (IFS ) dengan dukungan dari KBRI Inggris. Sejak 2018, IFS rutin memutarkan film-film Indonesia untuk masyarakat Inggris yang melibatkan baik publik internasional maupun masyarakat Indonesia yang berbasis di London. (ZG)
Film Nyanyian Akar Rumput film dokumenter yang disutradarai Yuda Kurniawan Premier pertama kali di Inggris dengan judul The Song of Grassroots menceritakan kisah anak muda Fajar Merah yang berusia 21 tahun adalah putra Wiji Thukul, seorang aktivis penyair dan hak asasi manusia yang terkenal dan dihormati yang 'dihilangkan' oleh rezim diktator Soeharto pada tahun 1998.
Setelah 16 tahun, Fajar masih tidak memiliki petunjuk mengenai nasib ayahnya, dan tidak tahu apakah ayahnya bahkan masih hidup. Tidak ingin melupakan ayahnya, Fajar, dengan bantuan anggota bandnya membuat album musik dengan lirik lagu yang diambil dari puisi ayahnya sebagai cara untuk mengingatnya, dan menyinari pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Film Nyaniyan Akar Rumput (2018) merupakan salah satu dari lima film diputar dalam Festival film Indonesia yang diadakan Indonesian Film Society (IFS) dibuka dengan film Dua Garis Biru , Turah, 27 Steps of May dan ditutup dengan pemutaran Bumi Manusia yang diangkat dari novel Pramoedya Ananta Toer berlangsung selama tiga hari dari 22 hingga 24 November
Usai pemutaran film Nyanyian Akar Rumput digelar diskusi menghadirkan Dr. Gareth Stanton, pengajar di Goldsmiths College, University of London dan Lenah Susianty, mantan wartawan BBC Seksi Indonesia di London dimoderatori kritikus film dan direktur program LMIFF Eric Sasono
Menuruh pembicara film Nyanyian Akar Rumput sangat relevan dan bikin sedih karena banyak PR soal HAM belum dikerjakan. “Soal penghilangan Wiji Thukul dan penculikan serta pembunuhan aktivis Indonesia yang sampai sekarang masih belum dituntaskan adalah noda besar untuk Indonesia,” ujar Lenah Susianty.
Dikatakannya percuma ada kemajuan ekonomi, infrastruktur dan lain kalau tidak diimbangin dengan penghargaan terhadap HAM.
Pemerintah saat ini selain masih tidak bisa menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di masa lalu, juga sekarang malah mendukung impunitas dengan mengangkat orang yang diduga kuat sebagai otak di balik penculikan dan pembunuhan aktivis menjadi menteri, ujar Lenah Susianty.
Film Nyanyian Akar Rumput ini mengingatkan semua pelanggaran itu tercatat dan terdokumentasikan. Film dokumenter semacam ini harus diperbanyak dan ditonton semua orang, agar kita tidak pernah lupa apa yang terjadi dan menagih pertanggungjawaban pemerintah. Jangan sampai pengorbanan orang seperti Wiji Thukul sia-sia, demikian Lenah.
Direktur program LMIFF Eric Sasono mengatakan tema yang menyatukan film-film dalam festival ini adalah perlawanan para karakter dalam film terhadap struktur yang menekan mereka, apakah itu masyarakat, rezim, ataupun kapitalisme. “Tema semacam ini relatif akrab bagi orang dari berbagai latar belakang budaya, karena tekanan ekonomi politik yang besar merupakan sesuatu yang dialami oleh banyak orang di berbagai belahan dunia,” ujar Eric Sasono.
Film lain nya menarik perhatian para pengamat film Indonesia di London adalah film Turah yang sempat mewakili Indonesia ke ajang Oscar 2016 dan meraih Asian Feature Film Special Mention dalam Singapore International Film Festival 2016. Turah menceritakan tentang kehidupan masyarakat Kampung Tirang, Tegal yang mengalami isolasi selama bertahun-tahun yang kemudian memunculkan berbagai problema. Sedangkan 27 Steps of May berkisah tentang proses seorang perempuan korban perkosaan dan ayahnya dalam mengatasi trauma dan luka-luka batin karena kejinya tragedi yang mereka alami juga menarik pengamat film di London. Film ini meraih New Hope Award dan penghargaan aktor terbaik (Lukman Sardi) di Malaysia International film Festival.
Profesional muda di London, Amina Cali, yang menonton film 27 Steps of May menyatakan tidak menyangka film yang ditontonnya sangat menarik. "Saya belum pernah menonton film Indonesia. Selama inI film dari Asia yang saya tahu hanya Korea. Saya kagum sekali, tidak menyangka film Indonesia sebagus dan semenggugah ini, " ujar Amina proyek manager dan juga seorang graphic designer tentang film 27 Steps of May.
Sementara itu Rayya Makarim, mengatakan sebagai filmmaker ia mencoba mengangkat tema-tema yang relevan yang mungkin susah dibicarakan di Indonesia. Karena itu saya sangat senang “27 Steps of May” diputar di London dan juga di negara-negara lainnya karena isu kekerasan seksual dan trauma adalah isu universal yang dialami oleh perempuan di seluruh penjuru dunia.
LMIFF berlangsung atas prakarsa Indonesian Film Society (IFS ) dengan dukungan dari KBRI Inggris. Sejak 2018, IFS rutin memutarkan film-film Indonesia untuk masyarakat Inggris yang melibatkan baik publik internasional maupun masyarakat Indonesia yang berbasis di London. (ZG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar