AMNESTY MINTA RI BATALKAN TUDUHAN PENODAAN AGAMA
London, 19/4
(ANTARA) - Amnesty internasional minta Indonesia membatalkan tuduhan penodaan
agama atas pemimpin Syiah dan percaya tuduhan tersebut hanya berdasarkan pada
aktifitas damainya menggunakan hak kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama.
Pihak berwenang
Indonesia harus membatalkan tuduhan terhadap Tajul Muluk, pemimpin keagamaan
Muslim Syiah dari Jawa Timur, demikian keterangan pers Amnesty Internasional
yang diterina ANTARA London, Kamis.
Tajul Muluk
mengungsi dengan lebih dari 300 warga Syiah lainnya pada 29 December 2011,
ketika sekitar 500 massa anti-Syiah menyerang dan membakar rumah, pesantren dan
rumah ibadah Syiah di Desa Nangkrenang, Sampang, Pulau Madura.
Walaupun
Kepolisian Sektor (Polsek) Omben telah mengetahui akan adanya penyerangan
sebelumnya, mereka tidak mengambil langkah yang memadai untuk mencegahnya atau
melindungi warga desa.
Akibat serangan
tersebut banyak dari warga Syiah mengungsi
dari Desa Nangkrenang.
Namun Tajul Muluk dan
20 warga desa lainnya, termasuk keluarganya, dihalangi untuk kembali ke desanya
oleh penyerang, dilaporkan mengancam membunuh bila mereka kembali, serta
dicegah kembali pulang oleh pihak kepolisian.
Majelis Ulama
Indonesia cabang Sampang mengeluarkan fatwa mengenai "ajaran sesat"
Tajul Muluk, dan dua hari kemudian dilaporkan adanya pengaduan ke polisi
atasnya.
Kepolisian
Daerah (Polda) Jawa Timur menuduh Tajul Muluk dengan penodaan agama berdasarkan
Pasal 156(a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan dengan tuduhan
¿perbuatan tidak menyenangkan¿ berdasarkan Pasal 335 KUHP, pada 16 Maret lalu.
Saat ini ia
ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Sampang menunggu pengadilan dan pengacaranya
khawatir ia tidak akan menerima pengadilan yang adil di Sampang karena kuatnya
kehadiran kelompok-kelompok anti-Syiah .
Mereka meminta
pengadilannya dipindahkan ke ibukota provinsi Jawa Timur, Surabaya.
Mengajukan
tuduhan terhadap Tajul Muluk karena kepercayaan agamanya dan menjalankan agamanya
bertentangan dengan kewajiban Indonesia berdasarkan Kovenan Internasional
tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and
Political Rights -ICCPR).
Pasal 18 dari
ICCPR melindungi hak individu atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan
beragama, termasuk hak menjalankan agama atau kepercayaannya dalam beribadah,
mempraktikkan agama dan mengajar ajaran mereka.
Pasal 27 dari
ICCPR menyatakan orang yang termasuk dalam kelompok agama minoritas tidak boleh
diingkari hak-haknya, bersama dengan anggota kelompok lainnya, beribadah dan
mempraktikkan agama mereka.
Hak kebebasan
beragam juga dijamin dalam Pasal 28E Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia dan
Pasal 22 Undang-Undang (UU) 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Amnesty
International menerima laporan yang dapat dipercaya sejak penyerangan, warga
Syiah di Sampang terus menghadapi intimidasi dan ancaman yang berusaha memaksa
mereka mengganti kepercayaan.
Kepolisian
Indonesia harus memastikan komunitas Syiah menerima perlindungan yang memadai
dan melakukan penyidikan yang cepat, independen, imparsial dan efektif atas
semua laporan kekerasan dan ancaman.
Berdasarkan
ICCPR, Indonesia harus memastikan hak hidup, keamanan seseorang dan kebebasan
dari penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya.
Perlindungan
semacam itu harus disediakan tanpa diskriminasi, termasuk dari yang berdasarkan
agama.
Amnesty
International mendesak pihak berwenang Indonesia untuk mencabut UU Nomor
tentang pencegahan penyalahgunaan agama dan/atau penodaan agama, dan Pasal
156(a) KUHP yang dibuat berdasarkan Peraturan Presiden.
Pasal 156(a)
menyandang hukuman maksimal lima tahun penjara bagi "barang siapa dengan
sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau perbuatan yang pada pokoknya
bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang
dianut di Indonesia".
Ketentuan dengan
penyusunan kata-kata yang tidak jelas itu membuat pihak berwenang bisa
mengkriminalkan aktivitas damai, termasuk praktik keagamaan.
Peraturan
penodaan agama pada dasarnya tidak sesuai dengan kewajiban internasional HAM
Indonesia untuk melindungi dan menghormati kebebasan berekspresi, dan kebebasan
berpikir, berkeyakinan, beragama dan kesetaraan.
Hukum tersebut
terus digunakan untuk memenjarakan orang selama lima tahun, hanya karena
menjalankan hak atas kebebasan berekspresi atau kebebasan beragama.
Peraturan
tersebut sering kali digunakan untuk menargetkan individu yang tergabung dalam kelompok minoritas
keagamaan, kepercayaan dan pendapat, khususnya mereka yang mengikuti
interpretasi Islam yang tidak disetujui pemerintah.***1***
(ZG)
(T.H-ZG/B/E001/E001) 19-04-2012 10:32:27
Tidak ada komentar:
Posting Komentar