Rabu, 13 Maret 2013

TEOLOGI




                PROF SCHIRRMACHER: ISLAM-EROPA PERLU PENDEKATAN TEOLOGI

    
Oleh Zeynita Gibbons   

    London, 1/3 (Antara) - Guru Besar dari Universitas Bonn dan Universitas Leuven di Jerman Prof Dr Christine Schirrmacher menegaskan sudah saatnya masyarakat Eropa berdiskusi dengan masyarakat Muslim dengan menggunakan pendekatan teologi dan bukan sekularisme.

         "Hal itu diungkapkan Prof Dr Christine Schirrmacher dalam konferensi di Goethe Institute Brussel dengan tajuk 'Islam and Europe: Politicization and Integration'," kata Dubes RI di Brussel, Arif Havas Oegroseno kepada Antara London, Jumat.

         Dalam konferensi yang diikuti ratusan peserta itu, katanya, profesor dari Jerman itu menyebutkan bahwa selama ini terkesan "arogan" apabila masyarakat Eropa beranggapan masyarakat Muslim di Eropa harus sepenuhnya berubah menjadi seperti Europeans.

         Di hadapan akademisi dan wakil dari berbagai institusi di Uni Eropa yang bergerak dalam bidang politik, pertahanan dan keamanan, serta HAM itu, Dubes Arif Havas Oegroseno yang juga berbicara dalam konferensi itu merujuk pada buku "The Illusion of an Islamic State" yang dipublikasikan Wahid Institute, Maarif Institute dan Yayasan Libforall.

         "Pengalaman Indonesia membuktikan nilai-nilai moderasi yang disuarakan tokoh agama Islam moderat termasuk akademisi dan LSM di Indonesia yang memiliki pandangan moderat, memberikan kontribusi yang besar dalam menangkal radikalisme di Indonesia," katanya.

         Ia mengatakan dalam buku yang merupakan hasil penelitian dari "think-tank" terkemuka di Indonesia dan luar negeri itu  mengedepankan aspek akademik dan teologi yang disebutkan sebagai pintu keluarnya Indonesia dari krisis politik dan ekonomi dalam waktu yang relatif singkat.

         "Dengan stature Indonesia saat ini menunjukkan Islam sesungguhnya kompatibel dengan modernisasi, demokrasi, dan HAM," katanya.

         Bahkan, adanya ratusan forum kerukunan umat beragama yang terdiri dari pemimpin di seluruh pelosok di Indonesia, serta keberadaan dua organisasi berbasiskan Islam seperti NU dan Muhammadiyah merupakan karakteristik masyarakat Muslim yang hanya ada di Indonesia.

         "Hal ini memberikan dampak yang positif dari upaya Indonesia dalam menjaga kerukunan umat beragama di Indonesia," ujar Dubes Havas.

         Sebagaimana negara-negara majemuk lainnya di dunia, Indonesia tidak sepenuhnya luput dari masalah yang terjadi antarumat beragama dan berbudaya.

         "Justru tantangannya di era globalisasi teknologi informasi dan komunikasi ini semakin besar," ujarnya.

         Selain memahami masalah mendasar yang dihadapi oleh masyarakat Muslim di Uni Eropa sekarang lebih dihadapkan pada masalah imigrasi, adaptasi sosial, kesenjangan ekonomi dan budaya.

         Pembicara dalam konferensi tersebut Prof Dr Michael Kohler dari Komisi Eropa, Malika Hamidi, General Manager dari European Muslim Network, dan bertindak sebagai moderator yaitu Dr Christian Gsodann dari Committee of the Regions.

         Dalam kesempatan itu, Malika Hamidi menilai bahwa Eropa hanya selalu menyoroti sisi negatif Muslim di Eropa. "Sudah saatnya masyarakat Eropa melihat bahwa kontribusi Muslim di Eropa nyata dan signifikan," ujarnya.

         Menurut dia, situasi ini terjadi karena media dimana pun tidak pernah tertarik untuk mengamati perkembangan positif tersebut,  bahkan kampanye yang dilakukan European Muslim Network jarang diliput media di Eropa.

         Sementara itu, Prof Koehler menegaskan bahwa Muslim di Eropa terbukti telah menciptakan ketakutan dari masyarakat Eropa meskipun jumlahnya di Uni Eropa hanya 19 juta atau kurang dari empat  persen  dari populasi Uni Eropa yang berjumlah lebih dari 500 juta.

         Transformasi demokrasi di negara tetangga seperti di Tunisia juga menciptakan kekhawatiran masyarakat Eropa akan timbulnya partai politik yang berlandaskan Islam garis keras/radikal dan akibatnya berimbas ke Eropa.

         Konferensi ditutup dengan tetap menekankan perlunya dialog dengan masyarakat Muslim dilakukan oleh tokoh agama Islam yang mampu mengangkat nilai-nilai moderasi Islam.

         Dialog itu diharapkan dapat menangkal radikalisme, serta menciptakan rasa saling memahami dan menghargai diantara sesama komunitas beragama. ***4*** (ZG) (Edy M Ya'kub)
(T.H-ZG/B/E.M. Yacub/E.M. Yacub) 01-03-2013 08:32:43

Tidak ada komentar: