AKADEMISI : PERLU PENDEKATAN
TEOLOGI DISKUSI ISLAM DAN EROPA
London, 1/3 (ANTARA) - Akamedisi
dari Universitas di Jerman menegaskan sudah saatnya masyarakat Eropa berdiskusi
dengan masyarakat Muslim dengan mengunakan pendekatan teologi dan bukan
sekularisme.
Hal itu diungkapkan Prof. Dr.
Christine Schirrmacher, dari Universitas
Bonn dan Universitas Leuven dalam konferensi yang diadakan di Goethe Institute
Brussel yang menyebutkan selama ini
terkesan "arogan" apabila masyarakat Eropa beranggapan masyarakat
Muslim di Eropa harus sepenuhnya berubah menjadi seperti Europeans.
Dubes RI di Brusel , Arif Havas
Oegroseno kepada ANTARA London, Kamis mengatakan konferensi dengan tajuk
"Islam and Europe: Politicization and Integration", diikuti ratusan peserta antara lain
akademisi, 'think-tank' dan wakil dari berbagai institusi di Uni Eropa yang
bergerak dalam bidang politik, pertahanan dan keamanan, serta HAM .
Dubes Arif Havas Oegroseno, merujuk
pada buku The Illusion of an Islamic State yang dipublikasikan Wahid Institute, Maarif Institute dan Yayasan
Libforall, mengatakan pengalaman
Indonesia membuktikan nilai-nilai moderasi yang disuarakan tokoh agama Islam
moderat termasuk akademisi dan LSM di Indonesia yang memiliki pandangan
moderat, memberikan kontribusi yang besar dalam menangkal radikalisme di
Indonesia.
Dikatakannya dalam buku yang
merupakan hasil penelitian dari 'think-tank' terkemuka di Indonesia dan luar
negeri itu mengedepankan aspek akademik
dan teologi disebutkan keluarnya Indonesia dari krisis politik dan ekonomi dalam waktu yang relatif singkat, dan dengan
stature Indonesia saat ini, menunjukkan Islam sesungguhnya kompatibel dengan
modernisasi, demokrasi dan HAM.
Adanya ratusan forum kerukunan umat
beragama yang terdiri dari pemimpin di seluruh pelosok di Indonesia, serta
keberadaan dua organisasi berbasiskan Islam seperti NU dan Muhammadiyah
merupakan karakteristik masyarakat Muslim yang hanya ada di Indonesia. Hal ini
memberikan dampak yang positif dari upaya Indonesia dalam menjaga kerukunan
umat beragama di Indonesia, ujar Dubes Havas.
Dubes Havas mengatakan sebagaimana
negara-negara majemuk lainnya di dunia, Indonesia tidak sepenuhnya luput dari
masalah yang terjadi antar umat beragama dan berbudaya. "Justru
tantangannya di era globalisasi teknologi informasi dan komunikasi semakin
besar saat ini," ujarnya.
Selain memahami masalah mendasar yang
dihadapi oleh masyarakat Muslim di Uni Eropa sekarang lebih dihadapkan pada
masalah imigrasi, adaptasi sosial, kesenjangan ekonomi dan budaya.
Pembicara dalam konferensi tersebut
Prof. Dr. Michael Kohler dari Komisi Eropa, Ms. Malika Hamidi, General Manager
dari European Muslim Network, dan bertindak sebagai moderator yaitu Dr.
Christian Gsodann dari Committee of the Regions.
Ms. Malika Hamidi menilai bahwa Eropa hanya
selalu menyoroti sisi negatif Muslim di Eropa. Sudah saatnya masyarakat Eropa
melihat bahwa kontribusi Muslim di Eropa nyata dan signifikan, ujarnya.
Dikatakannya, situasi ini terjadi
karena media dimana pun, tidak pernah tertarik untuk mengamati perkembangan
positif tersebut, ujar Malika menambahkan bahkan kampanye yang dilakukan
European Muslim Network jarang diliput media di Eropa.
Sementara itu Prof. Koehler
menegaskan Muslim di Eropa terbukti telah menciptakan ketakutan dari masyarakat
Eropa meskipun jumlahnya di Uni Eropa hanya 19 Juta atau kurang dari empat persen
dari populasi Uni Eropa yang berjumlah lebih dari 500 Juta. Transformasi
demokrasi di negara tetangga seperti di Tunisia juga menciptakan kekhawatiran
masyarakat Eropa akan timbulnya partai politik yang berlandaskan Islam garis
keras/radikal, dan akibatnya berimbas ke Eropa.
Konferensi ditutup dengan tetap
menekankan perlunya dialog dengan masyarakat Muslim dilakukan tokoh agama Islam yang mampu mengangkat
nilai-nilai moderasi Islam. Diharapkan dapat menangkal radikalisme, serta
menciptakan rasa saling memahami dan menghargai diantara sesama komunitas
beragama.
(ZG)
(T.H-ZG/B/E.S. Syafei/E.S.
Syafei) 01-03-2013 09:25:10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar