London (Antara) - Pengamat Hubungan Internasional dari Australian National University Yasmi Adriansyah mengatakan para calon presiden tidak perlu fobia terhadap pandangan-pandangan kritis dari dunia internasional terhadap dinamika politik di Indonesia.
Dalam konstelasi hubungan internasional yang sudah sangat terbuka khususnya derasnya arus informasi baik melalui media konvensional maupun media sosial, tidak ada negara manapun yang dapat terlepas dari observasi dunia internasional, demikian Yasmi Adriansyah, pengamat Hubungan Internasional Kandidat PhD, Australian National University itu kepada Antara London, Jumat.
Dari sisi teori, hal ini dikenal dengan konsep `intermestik`. Artinya, antara isu-isu nasional dan internasional memiliki keterkaitan dan bahkan dapat saling memengaruhi.
Sebagai misal di dunia diplomasi, lazimnya norma-norma internasional yang diputuskan secara multilateral akan memengaruhi sikap atau pengambilan kebijakan di dalam negeri suatu negara.
Di sisi lain, posisi atau kebijakan nasional suatu negara dapat pula memengaruhi terbentuknya sebuah norma internasional, sejauh negara tersebut memiliki kapabilitas dan kecakapan diplomasi.
Dalam konteks tersebut di atas dan khususnya mengenai dibukanya sejumlah informasi off-the-record dari jurnalis internasional, Allan Nairn atas jati diri capres Prabowo Subianto, mantan diplomat itu berpandangan Prabowo dan tim suksesnya tidak perlu menganggap Allan sebagai ancaman.
Para capres jangan sampai terkesan menjadi fobia dunia internasional. Hal ini pun seyogianya berlaku untuk capres yang lain, Joko Widodo, ujar Director, Projecting Indonesia.
Allan Nairn, jurnalis senior yang terkenal dengan reportase investigatifnya, membuka fakta hasil wawancara di masa lalu dengan Prabowo bahwa salah satu kandidat presiden tersebut terkesan antidemokrasi. Prabowo juga pernah mengeluarkan kalimat kurang pantas terhadap Abdurrahman Wahid yang saat itu menjadi Presiden RI.
"Saya berpandangan, catatan kritis dari jurnalis atau media internasional terhadap capres manapun lebih merupakan catatan atas seorang politisi, bukan terhadap simbol negara, misalnya presiden," ujarnya.
Sekiranya Prabowo kelak terpilih menjadi presiden dan ternyata masih mendapatkan catatan kritis dari sejumlah media internasional khususnya untuk konteks rekam jejak masa lalu, hal itu baru dapat dianggap sebagai masalah negara. Berbagai komponen resmi negara perlu memberikan klarifikasi resmi.
Di sisi lain, fenomena ini sebenarnya justru menjadi peluang bagi Prabowo dan timsesnya untuk membersihkan nama baik beliau sendiri. Sejatinya, ada banyak catatan dimana Prabowo dan timsesnya perlu melakukan klarifikasi atas sejumlah isu.
Pertama, rekam jejak HAM. Kedua, informasi kritis seperti yang dibuka oleh Allan Nairn. Ketiga, pola-pola kampanye yang potensial menyinggung bangsa lain, seperti video ala Nazi yang dirilis Ahmad Dhani.
Kritisisme dunia internasional atas hal-hal di atas sangat wajar bahkan valid. Isu HAM adalah isu universal dan tidak mengenal sekat negara. Isu demokrasi sudah menjadi `bahasa dunia`, kecuali kalau Indonesia ingin kembali ke zaman otoritarianisme seperti di masa lalu.
Isu nazisme atau fasisme sendiri merupakan catatan kelam dunia, sehingga membangkitkan memori atas hal tersebut potensial melukai bangsa lain.
"Saya berpandangan, Indonesia akan menjadi negara yang besar dalam arti sebenarnya ketika para pemimpin dan rakyatnya memiliki sikap dan jiwa yang besar, termasuk dalam menghadapi dunia internasional, " Yasmi Adriansyah.(ma)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar