DALANG MATTHEW YANG BERGELAR PROFESOR
Oleh Zeynita Gibbons
London,
16/5 (ANTARA) - Gedung pertemuan di kampus York Universitas menjelang tengah
malam masih dipenuhi penonton yang menyaksikan pagelaran wayang kulit semalam
suntuk dengan dalang Matthew Isaac Cohen, dalang kelahiran Amerika bergelar
professor.
Tidak
kurang dari 500 penonton memenuhi gedung Roger Kirk, Universitas York, di kota
York, Inggris termasuk Dubes RI untuk Kerajaan Inggris Raya dan Republic
Irlandia dan Lastry Hamzah Thayeb serta Atase pendidikan KBRI London, Fauzi Soelaiman
dan istri untuk menyaksikan pementasan wayang kulit semalam suntuk dengan lakon
Lokananta, The Gamelan of the God.
Selama
seminggu Universitas York, mengelar hajatan
Gamelan Gathering, perayaan 30 tahun keberadaan gamelan Sekar Petak di
Universitas York yang dihadiri sekitar
30 kelompok gamelan yang berada di Kerajaan Inggris dengan puncak acara
pagelaran wayang kulit semalam suntuk.
Pagelaran
wayang kulit semalam suntuk dengan dalang bule Ki Matthew Cohen yang telah menetap
di Inggris sejak tahun 2000 lalu berhasil mempesona pengemar wayang di adakan
di Universitas York, Inggris, yang sebagian besar masyarakat Inggris.
"Tidak
ada persiapan khusus, seperti layaknya para dalang yang mengelar pagelaran
wayang semalam suntuk," ujar Ki Dalang Matthew kepada ANTARA London,
menjelang pementasan.
Kalau
biasanya sebelum pementasan umumnya
dalang melakukan persiapan seperti mutih atau puasa, tapi tidak bagi dalang
Matthew.
Kecintaannya terhadap gamelan dan wayang semakin bertambah. Selain
belajar, selama kuliah dia juga mulai belajar mendalang. Akhirnya dia
memutuskan mengambil program Doktor Antropologi Budaya Yale University dengan
daerah penelitian di Cirebon, Jawa Barat.
Ki Matthew
Cohen mengaku belajar banyak dari para seniman-seniman setempat untuk menggali
pengetahuannya dalam seni wayang. Tak heran, Ki Matthew Cohen bukan cuma
mengerti pakem wayang tapi juga paham filosofi wayang.
Mengenai
kisahnya menjadi dalang, Matthew, yang beristrikan wanita Indonesia, Aviva
Kartiningsih, seorang penari bercerita bahwa ia belajar mendalang sejak tahun
1988.
"Saya mulai belajar pedalangan dengan sungguh pada tahun 1988 di
ISI Solo jurusan pedalangan sebagai Fulbright Scholar," ujar dosen di
Universitas Royal Holloway, London.
Menurut ayah
satu putri, sebelumnya ia ikut main di salah satu rombongan gamelan di Boston
(AS) dan juga pernah membantu dalang Amerika, Marc Hoffman selagi belajar
Bahasa Indonesia di Hawaii .
Ia
melanjutkan pendidikannya praktis di Cirebon antara tahun 1993 dan 2000 saat
melakukan penelitian doktor dan postdoctoral pada wayang kulit di bagian Jawa
Barat. Sebelum ke Indonesia tahun 1988, Matthew tidak punya bayangan bisa
menjadi dalang sungguhan.
Dulu ia
hanya ingin sekadar tahu tentang kesenian ini supaya bisa menjadi dasar untuk
teater yang diciptakannya sebagai penulis dan komponis serta sutradara.
Namun
atas dorongan dari dosennya di ISI Solo, terutama Ki Dalang Joko Susilo dan
juga dengan belajar dengan Ki Oemartopo almarhum dari Wonogiri, Matthew pun terjun ke praktik pedalangan.
"Malah semenjak saya main wayang jarang-jarang saya kembali ke
bidang teater murni," ujar Matthew.
Matthew
mengakui bahwa ia sudah mendalang di berbagai negara termasuk Indonesia seperti
di Malaysia, Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Belanda, Yunani, Israel. Sampai
saat ini, Matthew sudah membawakan lebih dari 25 lakon .
"Saya sudah membawakan lakon di atas 25 jumlahnya, ada yang lama
adapun yang baru," ujarnya.
Matthew
mengakui bahwa ia sering mendalang keluar dari pakem karena memadukan dengan seni
musik kontemporer dan juga paduan dengan alat musik serta tarian.
Seperti
yang dilakukannya dalam acara pagelaran wayang semalam suntuk dengan lakon
Lokananta, Matthew meramu pagelaran wayang menjadi lebih meriah dengan masuknya
berbagai seni musik seperti bagpipe dari Skotlandia , trompet, clarinet dan musik elektronik serta diiringi dengan nyanyian jenis opera
dan sinden Esther.
Menurut
Matthew, perpaduan semacam ini sudah sering terjadi di dunia pewayangan selama
20 tahun di Indonesia maupun di luar negeri.
Namun, Matthew mengakui dalam pertunjukan Lokapala memang ia punya
maksud untuk menampilkan berbagai macam lagu gamelan yang diciptakan di Inggris
Raya, baik lagu yang lama maupun yang baru dari Indonesia.
Pengalaman
Mendalang
Bercerita
mengenai pengalamannya selama mendalang, Matthew mengakui bahwa pengalaman
menarik memang banyak sekali.
Namun
dengan rendah diri ia mengatakan bahwa ia masih belajar wayang, saya pernah
diajak main di acara pertunjukan semalam suntuk di Sriwedari, Solo berdampingan
dengan spiker yang menjual berbagai macam barang (seperti sabun cuci) sehingga
tidak bisa dengar suara sendiri apalagi gamelan yang mengiringinya.
Tapi
malah pertunjukannya sukses besar karena tidak ada rasa ragu, tidak
"nervous" sama sekali, ujarnya mengenang.
Menurut
Matthews, meskipun sering main di luar negeri, namun ia juga sering tampil
mendalang di tanah air, dan bahkan di
hadapan pembesar negeri Indonesia termasuk beberapa kali diundang oleh menteri.
"Sebenarnya saya paling senang main wayang untuk masyarakat Cirebon
di plosok desa," ujarnya.
Hal ini
diakuinya karena penghargaan rakyat Cirebon untuk wayang kulit masih tinggi
sekali, dan mereka sangat tajam dalam apresiasi. Ditambah lagi senggakan dari
musisi yang bikin suasana panggung sangat meriah.
Matthews
mengatakan bahwa dalam kurun waktu lebih dari 10 tahun belakangan ini ia banyak
mendapatkan untung dari kolaborasi dengan dalang Indonesia seperti Ki Joko
Susilo (dengan karya Wayang Cuchulain), Catur Kuncoro (Berlian Ajaib) dan lain
sebagainya.
"Saya
juga sempat mempelajari dari dekat gaya wayang yang baru dari Ki Enthus
Susmono, Ki Slamet Gundono, Ki Jlitheng Suparman dan lainnya dan bergaul dengan dalang ternama yang membawa
angin segar ke dunia pewayangan," kisahnya.
Berbicara mengenai dunia pewayang di
Indonesia, Matthews mengatakan bahwa ada kaitan erat dengan kemajuan seni
teater boneka di dunia.
Dalam
mendalang, Matthew yang menerima gelar PhD di bidang antropologi dari
Universitas Yale, sangat mahir melagukan tembang dan bahwa cengkokannya begitu
kental.
"Saya
dulu belajar sulukan dari guru besar ISI Solo Ki Blacius Subono dan cengkok
beliau masih nempel di suara saya," ujar Matthew menambahkan bahwa
ternyata ia mempunyai bakat untuk ini.
Memang ini
satu-satu mata kuliah yang saya ambil di ISI Solo pada tahun 1988-1989 yang
saya rasa tidak kalah jauh ketimbang teman-teman dari Jawa. Cuman kalau mata
kuliah yang lain saya angkat tangan, bukan lawanan, ujar Matthew.
Dikatakannya selain belajar sulukan dari
Solo , ia juga lama di Cirebon sehingga
gaya vocalnya terutama untuk dialog karakter lebih ke arah Cirebon daripada
Jawa Tengah.
Pada tahun
2009, Matthew mendapat gelar kerajaan Ki
Ngabehi dari Sultan Kraton Kacirebonan, salah satu istana Cirebon, bersama
dengan nama panggungnya Kanda Buwana
yang berarti "Dia Yang Bercerita
Tentang Dunia" dalam bahasa Jawa.
Kini
kesibukan Ki Matthew Cohen adalah sebagai staf pengajar senior di Departemen
Drama dan Teater, Royal Holloway University of London, Inggris. Selain
mengajar, menulis buku, Ki Matthew Cohen masih kerap bolak-balik ke Indonesia
untuk mendalang.
Mengenai
digelarnya gathering gamelan dari berbagai kota di Inggris , Matthew mengakui
bahwa sangat menarik karena membuktikan beraneka warna "approach", ke
gamelan yang ada di UK.
"Gamelan digunakan untuk mengajar pengetahuan tentang musik pada
umumnya. Ada yang pakai untuk alat komposisi. Ada juga yang yang menggunakan
untuk forum kumpul riung hal ini
terlihat dalam acara Gamelan Gathering di York dimana berkumpul para pemain
gamelan yang datang dari seluruh Inggris," tambahnya.
***3***
(ZG/B/Z003)
(T.H-ZG/B/Z003/Z003) 16-05-2012 12:46:59
Tidak ada komentar:
Posting Komentar